“Dari zaman saya di Eropa, isunya sama: brain
drain. Tapi, realistis saja, bagaimana orang pintar mau pulang ke
Indonesia kalau tidak ada lapangan pekerjaan di sana,” kata B.J. Habibie lugas.
Sabtu (30/07) Dr. Ing. B.J. Habibie, mantan presiden
Indonesia sekaligus bapak teknologi tanah air, memberikan kuliah umum di kota
Aachen, Jerman. Ia berbicara banyak soal IPTEK, ekonomi, brain drain,dan
kenangan masa mudanya di kota teknik Jerman, Aachen.
Kuliah umum ini digelar oleh Ikatan Ilmuwan Indonesia
Internasional bekerja sama dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Aachen,
Jerman. Tujuan awal mereka: mencari cara terbaik agar ilmuwan Indonesia di luar
negeri bisa berkontribusi untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di
tanah air.
Potensi
“Ide awal menggelar kuliah umum ini adalah karena kami melihat banyak sekali potensi mahasiswa Indonesia di Eropa, hanya saja mereka terpecah-pecah, tidak ada sinergi,” jelas Feby Kumara Adi, ketua panitia kuliah umum di Aachen.
“Ide awal menggelar kuliah umum ini adalah karena kami melihat banyak sekali potensi mahasiswa Indonesia di Eropa, hanya saja mereka terpecah-pecah, tidak ada sinergi,” jelas Feby Kumara Adi, ketua panitia kuliah umum di Aachen.
Ketika ditanya mengapa mereka malah menggelar kuliah umum
dan bukan kegiatan yang lebih konkret, Feby menjawab diplomatis, “Kuliah ini
kan bukan tujuan, melainkan titik awal yang semoga saja nanti melahirkan
gagasan konkret di kalangan intelektual Indonesia di Eropa.”
Antusiasme masyarakat (intelektual) Indonesia memang
terlihat di acara ini. Sekitar 470 mahasiswa di daratan Eropa menyempatkan diri
datang ke Aachen, walaupun dengan motivasi beragam. Kebanyakan mengaku
penasaran dan ingin ikut berkontribusi untuk negara tercinta.
SDM
Habibie sendiri terlihat segar, antusias dan – seperti biasa – penuh senyum. Ia memulai dua sesi kuliah umum dengan menceritakan pengalamannya berkuliah di Aachen pada tahun 50-an. Ketika panitia mengisyaratkan bahwa waktu yang diberikan terbatas, kakek yang pandai melucu ini berseloroh, “Kekurangan saya memang itu: tidak bisa berhenti kalau sudah ngomong.”
Habibie sendiri terlihat segar, antusias dan – seperti biasa – penuh senyum. Ia memulai dua sesi kuliah umum dengan menceritakan pengalamannya berkuliah di Aachen pada tahun 50-an. Ketika panitia mengisyaratkan bahwa waktu yang diberikan terbatas, kakek yang pandai melucu ini berseloroh, “Kekurangan saya memang itu: tidak bisa berhenti kalau sudah ngomong.”
Tidak hanya bercanda, di depan publik Habibie dengan fasih
membeberkan fakta. Ia membandingkan Uni Eropa dan ASEAN, dengan Jerman dan
Indonesia sebagai macannya. “Indonesia di ASEAN bisa dibandingkan dengan Jerman
di Uni Eropa, karena dilihat dari kuantitas mereka sama-sama punya potensi
terbesar.”
“Indonesia adalah pasar besar dengan konsumsi domestik yang
tinggi,” kata Habibie. “Dan untuk mengembalikan Indonesia ke posisi puncak
dunia, kuncinya hanya satu: sumber daya manusia.”
Selain sumber daya manusia, Habibie melanjutkan, Indonesia
juga harus pintar berhitung. Dalam arti, kita harus dengan matang
memperhitungkan energi yang dikeluarkan dan menggunakan berbagai strategi
“jual-beli.”
Habibie: “Banyak caranya. Misalnya, ketika membeli pesawat,
alih-alih membayar dengan uang, kita membayar pesawat tersebut dengan jam kerja
para ahli. Semacam barter. Jadi selain dapat pesawat, ilmuwan Indonesia juga
bisa mempraktikkan keahlian mereka di dunia internasional.”
Optimis
Pada sesi tanya-jawab, seorang mahasiswi sempat mempertanyakan, bagaimana mungkin kualitas sumber daya manusia Indonesia bisa ditingkatkan jika sekolah pun belum terjamin untuk semua anak Indonesia. Habibie menanggapi dengan ringan, “Indonesia kan punya banyak sekali sumber daya alam. Harusnya SDA itu yang dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kemajuan otak manusianya.”
Pada sesi tanya-jawab, seorang mahasiswi sempat mempertanyakan, bagaimana mungkin kualitas sumber daya manusia Indonesia bisa ditingkatkan jika sekolah pun belum terjamin untuk semua anak Indonesia. Habibie menanggapi dengan ringan, “Indonesia kan punya banyak sekali sumber daya alam. Harusnya SDA itu yang dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kemajuan otak manusianya.”
Sangat optimis, memang. “Ya, jangan pesimis, dong. Nggak
maju-maju kita kalau pesimis terus,” katanya ceplas-ceplos. “Saya yakin
Indonesia bisa. Soal kemampuan sih, nggak usah dipertanyakan lagi,” tambahnya.
Brain drain
Masalah brain drain pun, Habibie tak cemas. “Bohong itu kalau bilang, orang Indonesia yang di luar negeriare lost people yang nggak punya nasionalisme.” Menurutnya, pilihan yang realisitis untuk (sementara) bertahan di luar negeri — apalagi untuk para ilmuwan — mengingat kondisi dalam negeri tidak mendukung mereka melakukan riset atau mengembangkan keahlian.
Masalah brain drain pun, Habibie tak cemas. “Bohong itu kalau bilang, orang Indonesia yang di luar negeriare lost people yang nggak punya nasionalisme.” Menurutnya, pilihan yang realisitis untuk (sementara) bertahan di luar negeri — apalagi untuk para ilmuwan — mengingat kondisi dalam negeri tidak mendukung mereka melakukan riset atau mengembangkan keahlian.
“Tapi saya yakin, jika ada kesempatan, tak ada orang
Indonesia yang tidak ingin berbakti pada tanah air,” katanya. “Nggak masalah
kalau sekarang mereka ingin ‘mencari bekal’ dulu di luar negeri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar