Bagian 1: Tabir Hitam dan Putih
Di bawah kubah masjid yang megah, suara lantang seorang penceramah menggema, membelah keheningan malam. Cahaya lampu temaram memantulkan bayangan jamaah yang duduk bersila, menyimak setiap kata yang terucap. Ramadhan, di antara mereka, menatap sang penceramah dengan mata yang tajam, mencoba mencerna setiap makna yang tersirat.
Malam itu, tema pengajian adalah amar ma'ruf nahi munkar—seruan untuk menegakkan kebajikan dan memberantas kemungkaran.
"Dunia ini, saudara-saudaraku, adalah panggung pertarungan abadi antara hak dan batil, antara cahaya dan kegelapan!" seru sang ustadz dengan suara berapi-api. "Tidak ada wilayah abu-abu, tidak ada jalan tengah. Kita harus tegas memilih: menjadi pejuang kebenaran, atau menjadi budak kebatilan!"
Nada suaranya bergetar dengan keyakinan mutlak. Sorot matanya tajam, seolah menusuk setiap pendengarnya, menuntut mereka memilih sikap. Ia menggambarkan dunia dalam sapuan kuas hitam dan putih, tanpa celah bagi warna lain. Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi mengalir dari lisannya, kisah para sahabat dan ulama terdahulu diceritakan dengan semangat berkobar, seakan sejarah adalah bukti bahwa kehidupan hanyalah medan perang tanpa akhir.
"Lihatlah di sekeliling kita!" serunya, tangannya menunjuk ke arah jamaah. "Kemungkaran merajalela, maksiat bertebaran di mana-mana. Perzinahan, perjudian, korupsi, keserakahan... semua itu adalah wajah-wajah iblis yang harus kita perangi!"
Sang ustadz kemudian mengutip ayat suci dengan lantang:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali 'Imran: 104)
Sebagian jamaah mengangguk penuh semangat. Beberapa bahkan menggumamkan takbir. Ramadhan tetap diam. Kata-kata itu sudah akrab di telinganya. Ia tumbuh dalam lingkungan pesantren, diajari untuk membedakan dengan jelas antara yang halal dan haram, antara surga dan neraka. Namun, entah mengapa, ada sesuatu dalam ceramah malam ini yang terasa terlalu mutlak—terlalu sederhana untuk dunia yang ia kenal.
Ustadz itu melanjutkan ceramahnya dengan mengutip hadits:
"Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim: 49)
Nada suaranya semakin berapi-api. Ia kemudian mengutip Ihya 'Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali:
"Sesungguhnya amar ma’ruf nahi munkar adalah pilar utama dalam agama ini. Jika ia diabaikan, maka kehancuranlah yang akan datang." (Ihya 'Ulumuddin, Jilid 2, Hal. 245)
Sang ustadz menutup ceramahnya dengan mengutip tafsir Ibnu Katsir tentang ayat:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali 'Imran: 110)
Ia menjelaskan:
"Umat Islam memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Namun, hal ini harus dilakukan dengan ilmu dan pemahaman yang benar, bukan dengan kebencian atau kedzaliman." (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, Hal. 90)
"Kita harus menjadi tentara Allah di muka bumi ini!" serunya, tinjunya mengepal di udara. "Kita harus memerangi setiap bentuk kezaliman, setiap bentuk kemaksiatan, sampai dunia ini bersih dari noda-noda hitam!"
Romo menghela napas pelan. Ia mengingat pesan ayahnya, seorang pria sederhana yang selalu menekankan pentingnya berpikir kritis, membuka diri terhadap pandangan yang berbeda. Apakah dunia benar-benar sesederhana itu? pikirnya. Apakah semua yang berbeda dengan keyakinanku adalah kemungkaran yang harus diperangi?
Takbir menggema di seluruh ruangan, suara-suara penuh keyakinan bersatu dalam harmoni. Namun, di tengah gelombang keimanan itu, Ramadhan justru merasakan sesuatu yang lain. Bukan keteguhan, bukan kobaran semangat jihad—melainkan keraguan yang perlahan tumbuh dalam dirinya.
Ia sadar, malam ini telah menanamkan sebuah pertanyaan dalam hatinya. Pertanyaan yang tak bisa ia abaikan begitu saja.
Bagian 2: Pergeseran
Ruang keluarga yang hangat itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu temaram memancarkan cahaya lembut ke wajah dua lelaki yang duduk berhadapan. Ramadhan menatap ayahnya, Pak Hasan, yang menghela napas panjang sebelum akhirnya memecah keheningan.
"Rama, Bapak ingin kamu kuliah filsafat."
Romo mengerutkan dahi. Itu bukan sesuatu yang pernah ia pikirkan. "Filsafat, Pak? Tapi, selama ini saya belajar agama di pesantren. Saya rasa itu sudah cukup."
Pak Hasan menatap putranya dengan mata yang menyiratkan kebijaksanaan. "Nak, hidup bukan hanya tentang apa yang sudah kamu pelajari. Dunia ini luas, lebih luas dari yang bisa kamu bayangkan. Dan Bapak ingin kamu melihatnya dengan mata yang lebih terbuka."
Romo terdiam, mencoba memahami maksud ayahnya. "Tapi, Pak… apa gunanya filsafat? Bukankah ilmu agama sudah cukup untuk membimbing saya?"
Pak Hasan tersenyum tipis, lalu menatap ke luar jendela, seakan melihat sesuatu yang jauh di balik malam. "Kamu tahu, dulu Bapak juga berpikir seperti itu. Hidup ini sesederhana hitam dan putih. Sampai akhirnya Bapak menyadari, kenyataan tidak sesederhana itu. Ada banyak abu-abu di antaranya."
Romo mulai merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik ucapan ayahnya. "Maksud Bapak?"
Pak Hasan menatapnya kembali, kali ini dengan mata seorang ayah yang ingin anaknya siap menghadapi dunia. "Kamu akan menemui orang-orang yang berbeda pandangan, keyakinan, dan cara berpikir. Tidak semua orang hidup di dalam batasan yang sama seperti yang kamu jalani di pesantren. Filsafat akan mengajarkanmu untuk bertanya, memahami, dan tidak sekadar menilai."
"Tapi, Pak, saya takut tersesat..." suara Romo melemah.
Pak Hasan tersenyum, kali ini lebih hangat. "Nak, Bapak tidak pernah takut kamu tersesat. Bapak lebih takut kamu tidak berani melangkah. Kamu punya iman yang kuat, dan justru karena itu, kamu harus memperluas wawasanmu. Jika keyakinanmu benar, ia tidak akan runtuh hanya karena kamu mempertanyakannya. Justru, ia akan semakin kokoh."
Romo terdiam. Kata-kata ayahnya mengguncang sesuatu di dalam hatinya.
Pak Hasan melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih lirih. "Bapak ingin kamu jadi orang yang bisa memahami, bukan hanya menghakimi. Orang yang bisa melihat kebaikan, bukan hanya mencari kesalahan. Dunia ini butuh lebih banyak orang yang bisa menjembatani perbedaan, bukan memperbesar jurang di antaranya."
Ramo menatap ayahnya. Sosok yang selama ini ia hormati, yang selalu memberinya nilai-nilai kehidupan, kini memintanya untuk keluar dari zona nyamannya.
"Baiklah, Pak," ucapnya akhirnya. "Saya akan mencoba belajar filsafat."
Pak Hasan tersenyum penuh kebanggaan. Ia menepuk pundak putranya. "Bapak tahu kamu akan menjadi orang yang lebih besar dari yang kamu bayangkan, Nak. Tidak harus hari ini, tidak harus besok. Tapi suatu saat nanti, kamu akan mengerti mengapa Bapak memintamu melakukan ini."
Di kemudian hari, di kampus, Rama mulai dikenal dengan panggilan "Romo"—seorang pemikir yang tenang, seorang pencari kebenaran yang selalu berusaha memahami.
Bagian 3: Menemukan Cakrawala Baru
Di lingkungan kampus yang riuh, Ramadhan, yang kini akrab dipanggil Romo, merasa seakan terlempar ke dalam dunia yang benar-benar asing. Bising suara mahasiswa yang berdiskusi di sudut-sudut taman kampus, perdebatan panjang di ruang kelas, dan humor-humor sarkastik yang diselipkan dalam setiap argumen membuatnya harus beradaptasi lebih cepat dari yang ia duga.
Dunia akademik ini jauh berbeda dari lingkungan yang ia kenal di pesantren. Jika dulu kebenaran bersifat mutlak, kini ia menghadapi banyak pemikiran yang seolah-olah bisa dibolak-balik. Diskusi-diskusi tentang filsafat dan moralitas menjadi santapan sehari-hari, menggugah rasa ingin tahunya yang selama ini terpendam, namun juga menantangnya untuk mempertahankan prinsip-prinsip yang ia yakini.
Salah satu diskusi yang paling membekas terjadi di kantin kampus, tempat Romo duduk bersama beberapa teman sekelasnya yang berasal dari jurusan filsafat dan sosiologi.
"Romo, menurutmu, apakah ada kebenaran mutlak?" tanya Fajar, mahasiswa filsafat yang kritis dan terkenal suka menjebak lawan bicaranya dalam argumen yang membingungkan.
Romo mengangkat alis. "Tentu saja ada," jawabnya yakin. "Kebenaran ada dalam kitab suci, dalam ajaran agama."
"Oke, fair enough," sahut Fajar. "Tapi, bagaimana kalau ada orang dengan keyakinan berbeda yang juga mengklaim memiliki kebenaran mutlak? Apa mereka semua salah?"
Romo terdiam. Ia terbiasa melihat dunia dengan dikotomi yang jelas: benar dan salah. Tapi di kampus ini, semua orang tampaknya punya versi mereka sendiri tentang apa itu kebenaran. Ia mengaduk teh manisnya perlahan, mencoba mencari jawaban yang tidak akan membuatnya terlihat goyah.
"Kalau begitu, apa yang membuat suatu kebenaran bisa dianggap benar?" sela Yuni, mahasiswa sosiologi yang lebih suka mengamati sebelum akhirnya menjatuhkan pertanyaan yang menusuk.
"Ya... karena wahyu," kata Romo, sedikit ragu. "Kebenaran yang datang dari Tuhan pasti benar."
"Tapi manusia yang menafsirkan wahyu, kan? Bisa saja ada bias dalam penafsirannya," kata Fajar sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Atau, jangan-jangan, kebenaran itu nggak sehitam-putih itu?"
Romo menghela napas. Diskusi ini semakin berat. Di satu sisi, ia ingin mempertahankan pendiriannya, tetapi di sisi lain, ia mulai menyadari bahwa jawaban-jawaban yang dulu terasa sederhana kini menjadi lebih kompleks.
"Aku... aku nggak tahu," jawabnya akhirnya, sesuatu yang jarang ia akui.
"Wah! Catat, catat! Romo akhirnya bilang 'aku nggak tahu'! Ini sejarah, saudara-saudara!" seru Fajar sambil menepuk meja. Teman-teman yang lain tertawa.
Romo hanya menggeleng, ikut tersenyum kecil. Meski awalnya merasa canggung, ia menyadari bahwa teman-temannya tidak berniat menyerangnya. Mereka hanya ingin mendiskusikan berbagai sudut pandang.
Seiring berjalannya waktu, Romo mulai membuka diri terhadap ide-ide baru. Ia belajar mendengarkan, memahami, dan menghargai perbedaan. Ia tidak lagi sekadar melihat dunia dalam hitam dan putih, tetapi mulai menyadari bahwa ada banyak spektrum warna di antaranya.
Namun, bukan berarti ia kehilangan jati dirinya. Ia tetap berpegang pada nilai-nilai yang ia yakini, tetapi dengan pendekatan yang lebih fleksibel. Ia belajar bahwa mempertanyakan bukan berarti kehilangan iman, dan memahami sudut pandang lain bukan berarti harus mengorbankan keyakinannya sendiri.
"Aku belajar banyak dari kalian," kata Romo suatu hari ketika diskusi selesai. "Aku belajar berpikir kritis, mempertanyakan segala sesuatu, dan menghargai perbedaan. Tapi aku juga belajar bahwa aku nggak perlu meninggalkan keyakinanku untuk melakukan itu."
Fajar tersenyum sambil menyesap kopinya. "Nah, itu dia! Sekarang lo lebih seperti filsuf, tapi tetap jadi Romo yang kami kenal."
Mereka tertawa bersama. Di kampus ini, Romo tidak hanya menemukan ilmu baru, tetapi juga komunitas yang menghargainya sebagai individu. Perjalanan akademiknya bukan hanya soal menambah wawasan, tetapi juga memahami diri sendiri lebih dalam.
Dan perjalanan itu baru saja dimulai.
bagian 4 : keraguan yang mencair
Kafe itu telah sepi. Hanya tersisa Romo yang duduk termenung, menatap cangkir kopi yang sudah dingin. Aroma kopi yang tadinya menggoda kini terasa hambar, seperti pikirannya yang sedang berkecamuk.
Kata-kata Marlon dan Riri masih menggema di kepalanya. "Penelitian ini bisa mengubah cara pandang kita, Romo," kata Marlon dengan keyakinan yang hampir mengintimidasi. "Kita bisa melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda, yang selama ini tersembunyi."
Romo menghela napas panjang. Ia teringat ceramah di masjid tentang dunia yang terbagi dua: hitam dan putih, baik dan buruk, benar dan salah. Konsep itu sudah tertanam kuat dalam dirinya sejak kecil. Tapi di sini, di kafe yang pencahayaan redupnya membentuk bayangan di dinding, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Ada nuansa abu-abu yang selama ini ia abaikan. Sebuah area tak bernama di antara hitam dan putih, tempat segala sesuatu bercampur dan saling mempengaruhi.
"Apakah mungkin?" bisiknya. "Apakah mungkin ada kebenaran di luar apa yang selama ini aku yakini?"
Ia teringat ayahnya yang dulu sering berkata, "Dunia ini lebih luas dari yang kau bayangkan, Nak. Jangan hanya melihatnya dari satu sudut." Waktu kecil, ia menganggap kata-kata itu sebagai nasihat umum seorang ayah. Tapi sekarang, kata-kata itu terasa seperti petunjuk.
Ia mengusap wajahnya. Kepalanya penuh dengan pertanyaan. Jika dunia ini memang penuh nuansa abu-abu, berarti ada kemungkinan bahwa keyakinannya selama ini hanya sebagian kecil dari kebenaran yang lebih besar.
Romo tersenyum miris. "Mungkin aku ini katak dalam tempurung yang bahkan nggak sadar kalau dia ada di dalam tempurung."
Tiba-tiba, suara dari meja seberang menyela lamunannya. Seorang barista yang tengah membersihkan meja menoleh dan berkata santai, "Mas ngomong sendiri? Kalau butuh teman curhat, saya bisa pura-pura dengerin."
Romo mengerjap. "Eh, nggak, nggak. Saya cuma... berpikir keras."
Barista itu terkekeh. "Sering-sering mikir keras, Mas. Nanti bisa nemuin jawaban yang selama ini dicari. Atau malah makin pusing. Salah satunya."
Romo hanya bisa tersenyum tipis. Ia kembali menatap ponselnya, jari-jarinya melayang di atas keyboard virtual. Dalam dirinya, ada dua suara yang saling bertarung. Satu menyuruhnya tetap berada di zona nyaman, mempertahankan keyakinan yang selama ini membentuk dirinya. Satu lagi membisikkan sesuatu yang menakutkan sekaligus menggoda: keluar dari zona itu dan melihat dunia dengan perspektif baru.
Ia menutup matanya sejenak, lalu mengetik pesan untuk Marlon dan Riri.
"Aku ikut. Aku ingin bergabung dalam penelitian ini."
Sebelum ia sempat berubah pikiran, ia menekan tombol kirim.
Di layar, tanda centang muncul. Pesan terkirim.
Romo meneguk kopinya, lupa kalau minuman itu sudah dingin. Ia meringis. "Kayak aku ya. Udah dingin tapi masih berharap bisa menghangatkan diri sendiri."
Barista dari tadi memperhatikan dan hanya bisa menahan tawa. "Mas, besok kalau ke sini lagi, kopinya jangan sampai dingin. Kayak keputusan hidup, kalau kelamaan ragu-ragu, bisa basi."
Romo tertawa kecil. Mungkin, perjalanan ini memang sudah ditakdirkan untuknya. Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan, tapi satu hal yang ia sadari: ia harus melangkah. Karena jawaban hanya bisa ditemukan oleh mereka yang berani mencarinya.
Malam itu, Romo duduk berhadapan dengan ayahnya, Pak Hasan, di ruang keluarga yang remang-remang. Ia menceritakan rencananya untuk melakukan penelitian bersama Marlon dan Riri, dan tinggal bersama para narasumber.
"Bapak, aku ingin meminta izin," kata Romo, suaranya terdengar ragu. "Aku ingin melakukan penelitian bersama teman-teman, dan kami berencana tinggal bersama para narasumber."
Pak Hasan mengerutkan kening. "Penelitian apa? Dan tinggal bersama narasumber? Itu terdengar berbahaya."
Romo menjelaskan tentang penelitian mereka, tentang keinginan mereka untuk memahami realitas yang tersembunyi di balik fenomena sosial. "Kami ingin meneliti bagaimana nilai-nilai moral dan etika diterapkan di dunia nyata, Pak. Bagaimana orang menghadapi dilema antara dosa dan kebajikan, serta bagaimana mereka menyeimbangkannya dalam kehidupan sehari-hari."
Pak Hasan mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya semakin serius. "Rama, Bapak mengerti keinginanmu untuk mencari kebenaran," kata Pak Hasan, "tapi kamu harus berhati-hati. Dunia ini tidak selalu seperti yang kamu bayangkan."
"Maksud Bapak?" tanya Rama.
"Pertama, kamu harus ingat, kejujuran itu mahal harganya," kata Pak Hasan. "Tidak semua orang mau membuka diri, apalagi jika menyangkut hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan mereka. Kamu mungkin akan menemui banyak kebohongan, manipulasi, dan kemunafikan. Orang sering kali menutupi keserakahan dengan alasan kemajuan, menutupi iri hati dengan dalih keadilan, atau membenarkan kemalasan dengan dalih penerimaan diri."
Romo terdiam. Ia teringat akan kata-kata Marlon, tentang kebenaran yang tersembunyi di balik topeng. Apakah mereka akan mampu menembus topeng itu dan menghadapi kenyataan yang pahit?
"Kedua," lanjut Pak Hasan, "di dunia nyata, batas antara dosa dan kebajikan itu tidak selalu jelas. Misalnya, kemurahan hati bisa berubah menjadi kebodohan jika dilakukan tanpa perhitungan. Kerja keras bisa berubah menjadi keserakahan jika tidak ada batasannya. Kesabaran bisa menjadi kelemahan jika hanya membuatmu terus menerus ditindas. Kamu akan melihat sendiri bagaimana nilai-nilai itu diterapkan, dan mungkin kamu akan mulai mempertanyakan banyak hal."
Romo merinding. Ia mulai menyadari bahwa penelitian ini bukan hanya tentang mengamati, tetapi juga tentang menghadapi realitas yang mungkin mengguncang keyakinannya sendiri.
"Dan yang paling penting," kata Pak Hasan, "kamu harus ingat, keselamatanmu adalah yang utama. Jangan pernah mengambil risiko yang tidak perlu. Dunia ini tidak hanya tentang teori, Ramadhan. Dunia ini penuh dengan kepentingan, tipu daya, dan kadang-kadang, kebajikan yang disalahgunakan."
Romo mengangguk, tetapi keraguan kembali menyelimutinya. Penelitian ini terdengar semakin kompleks. Apakah mereka benar-benar siap menghadapi segala kemungkinan?
"Bapak tidak melarangmu melakukan penelitian ini," kata Pak Hasan, "tapi Bapak ingin kamu berjanji, kamu akan selalu berhati-hati. Kamu akan selalu mengutamakan keselamatanmu."
"Aku janji, Pak," kata Romo, suaranya terdengar lebih yakin.
Keesokan harinya, Romo mengajak Marlon dan Riri bertemu di kafe yang sama. Suasana kali ini tidak seceria sebelumnya. Romo menceritakan percakapannya dengan sang ayah, tentang kekhawatiran dan peringatan yang diberikan.
"Ayahku bilang, penelitian ini berbahaya," kata Romo, suaranya terdengar serius. "Dia mengingatkan kita bahwa di dunia nyata, batas antara dosa dan kebajikan sering kali kabur."
Marlon dan Riri saling pandang. Mereka tahu, penelitian ini tidak akan mudah, tetapi mereka tidak menyangka akan menghadapi tantangan semacam ini.
"Contohnya?" tanya Riri, alisnya terangkat.
"Misalnya," kata Romo, "seorang pebisnis sukses. Apakah dia mencapainya dengan kerja keras atau keserakahan? Apakah dia berbagi karena tulus atau karena ingin terlihat baik? Apakah seorang pemimpin menekan bawahannya karena disiplin atau karena amarah?"
Marlon tertawa kecil. "Ayolah, Romo. Tidak semua orang seburuk itu."
"Aku tidak bilang semua orang buruk," kata Romo. "Tapi ayahku bilang, kita harus siap melihat kenyataan bahwa tidak ada orang yang sepenuhnya suci atau sepenuhnya berdosa. Kita harus paham bahwa dalam setiap kebajikan, ada potensi kejatuhan, dan dalam setiap dosa, ada alasan mengapa orang melakukannya."
Riri menghela napas. "Jadi, bagaimana kita menghadapi ini?"
"Kita harus ekstra hati-hati," kata Romo. "Kita tidak bisa menelan mentah-mentah apa yang kita lihat atau dengar. Kita harus berpikir kritis."
"Dan tentang bagaimana kita menghindari terjebak dalam keburukan?" tanya Marlon, kini mulai serius.
"Itu yang sulit," kata Romo. "Kita tidak bisa hanya berkata, ‘Aku akan menjadi orang baik.’ Kita harus memahami kapan kita harus berbuat baik, kapan kita harus tegas, kapan kita harus mundur, dan kapan kita harus maju. Itulah yang akan kita pelajari dari penelitian ini."
Riri tersenyum tipis. "Aku suka ini. Ini seperti permainan moral dalam kehidupan nyata."
Marlon tertawa. "Ya, dan seperti semua permainan, ada jebakannya. Jadi, bagaimana kita memastikan kita tidak terjebak?"
"Kita bisa mencari referensi tentang penerapan nilai-nilai ini dalam kehidupan nyata," kata Romo. "Kita bisa melihat sejarah, wawancara dengan orang-orang yang pernah mengalami dilema moral, dan yang paling penting, kita harus jujur pada diri sendiri."
Marlon mengangguk. "Baiklah, jadi ini bukan hanya tentang mengamati orang lain, tapi juga menguji diri kita sendiri. Menarik."
Riri tersenyum. "Kalau begitu, kita mulai dari mana?"
Romo menghela napas panjang, lalu tersenyum. "Kita mulai dengan membuka mata dan melihat dunia dengan cara yang belum pernah kita lakukan sebelumnya."
Mereka bertiga saling pandang. Meskipun ada rasa takut, mereka juga merasakan semangat petualangan yang semakin membara.
Setelah berdiskusi panjang lebar, Romo, Marlon, dan Riri memutuskan untuk menemui Pak Hasan, ayah Romo. Mereka ingin meminta nasihatnya tentang bagaimana menghadapi tantangan di lapangan, terutama dalam menghadapi orang-orang yang mungkin tidak jujur atau enggan berbagi cerita.
Di rumah Pak Hasan, suasana terasa tegang namun penuh harap. Aroma teh melati yang baru diseduh mengisi ruangan, memberi sedikit ketenangan di tengah pembicaraan serius yang akan dimulai.
"Om Hasan, kami ingin meminta bantuan Om," kata Romo, membuka pembicaraan. "Kami ingin tahu, bagaimana cara menghadapi orang-orang yang mungkin tidak mau jujur atau bahkan menutupi sesuatu dalam penelitian kami?"
Pak Hasan mengangguk, meletakkan cangkirnya dengan tenang. "Itu memang tantangan besar," katanya. "Orang tidak selalu ingin terbuka, apalagi kalau itu menyangkut hal-hal yang membuat mereka merasa tidak nyaman. Tapi ada beberapa cara untuk menghadapi itu."
"Seperti apa, Om?" tanya Marlon, bersandar di kursinya dengan penasaran.
Pak Hasan tersenyum kecil. "Pertama, kalian harus membangun kepercayaan. Jangan langsung bertanya hal yang berat. Mulailah dengan obrolan ringan, seperti teman lama yang bertemu kembali. Kalau mereka sudah nyaman, baru mereka akan lebih terbuka."
"Jadi, semacam pemanasan dulu?" Riri menimpali.
"Tepat," kata Pak Hasan. "Jangan buru-buru. Kalau kalian langsung menanyakan sesuatu yang sensitif, mereka bisa defensif. Misalnya, kalau kalian ingin tahu tentang keserakahan dalam dunia bisnis, jangan langsung bertanya, 'Pak, menurut Anda, apakah Anda serakah?' Itu bisa berujung pada penolakan total. Coba dekati dengan cara lain, seperti bertanya tentang tantangan terbesar dalam pekerjaan mereka. Dari situ, percakapan bisa mengalir."
"Hmm... masuk akal," gumam Marlon. "Tapi gimana kalau tetap nggak mau cerita?"
Pak Hasan terkekeh. "Ah, itu ada dua kemungkinan. Satu, mereka memang nggak mau cerita. Dua, kalian kurang menarik."
Riri tertawa. "Oke, kalau gitu, kita harus jadi lebih menarik dulu?"
"Nah, itu dia," kata Pak Hasan, tersenyum. "Gunakan humor, gunakan empati. Jangan cuma datang sebagai peneliti yang ingin menggali informasi. Jadilah pendengar yang baik. Kadang orang hanya butuh merasa didengar sebelum mereka berbicara lebih banyak."
Romo mengangguk, merenung sejenak. "Jadi intinya, kita harus lebih banyak mendengar daripada berbicara."
"Betul," kata Pak Hasan. "Dan satu lagi, jangan pernah menghakimi. Kalau ada orang yang mengakui pernah melakukan sesuatu yang kurang baik, jangan menunjukkan ekspresi seolah kalian sedang menilai mereka. Itu bisa membuat mereka menutup diri lagi."
Marlon berpikir sejenak. "Berarti kita harus lebih banyak mengontrol ekspresi juga ya? Harus latihan wajah netral."
Pak Hasan tertawa. "Ya, tapi jangan sampai kelihatan seperti patung juga. Tetap tunjukkan ketertarikan. Yang penting, buat mereka merasa aman saat bercerita."
Riri menghela napas. "Baiklah, ini bukan sekadar penelitian, tapi juga soal seni membangun koneksi dengan orang lain."
"Tepat sekali," kata Pak Hasan. "Dan jangan lupa, bersiaplah untuk kecewa. Tidak semua orang akan mau berbicara, dan itu wajar. Kalian harus sabar dan terus mencoba."
Mereka bertiga mengangguk, merasa lebih siap setelah mendengar nasihat Pak Hasan. Mereka tahu, penelitian ini akan penuh tantangan, tetapi mereka juga tahu bahwa pendekatan yang tepat bisa membuat perjalanan mereka lebih lancar.
Setelah itu, mereka bertiga memutuskan untuk menemui Pak Herman, sopir taksi online yang mereka kenal, untuk mendiskusikan ke mana dan siapa narasumber pertama yang harus mereka pilih. Mereka merasa Pak Herman, dengan pengalamannya bertemu berbagai macam orang setiap hari, mungkin tahu di mana Seven Deadly Sins dan Heavenly Virtues bekerja dengan baik dalam kehidupan nyata.
Malam itu, Romo, Marlon, dan Riri berkumpul di rumah Pak Herman. Ruang tamu kecil itu terasa hangat, diterangi lampu temaram yang memberikan suasana akrab. Aroma kopi hitam yang baru diseduh melayang di udara, bercampur dengan suara jangkrik dari luar jendela yang sedikit terbuka.
Pak Herman duduk di kursinya yang sudah agak usang, mengenakan kaus oblong dan sarung. Sementara itu, ketiga mahasiswa tersebut duduk di seberangnya, siap menerima wejangan dari mentor mereka.
"Pak Herman," Romo membuka pembicaraan sambil menyesap kopinya. "Kami ingin meminta pendapat Bapak tentang lokasi yang cocok untuk penelitian kami."
"Penelitian?" Pak Herman mengangkat alisnya, tersenyum tipis. "Penelitian tentang apa ini, sampai kalian mau repot-repot minta saran dari saya?"
"Tentang bagaimana Seven Deadly Sins dan Seven Heavenly Virtues termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari," jelas Marlon dengan antusias. "Kami mencari tempat yang penuh interaksi manusia, tempat di mana berbagai karakter bertemu dan berbenturan."
Pak Herman menatap mereka bertiga dengan ekspresi geli. "Oh, kalian mencari panggung drama kehidupan manusia?" katanya sambil tertawa kecil.
"Tepat sekali, Pak!" Riri menimpali dengan semangat. "Kami ingin melihat bagaimana keserakahan, iri hati, kemurahan hati, dan sifat-sifat lain muncul dalam kehidupan nyata."
Pak Herman mengangguk-angguk, lalu tersenyum seolah mendapat ide cemerlang. "Kalau begitu, saya punya satu tempat yang mungkin cocok untuk kalian. Pasar."
"Pasar?" Romo mengerutkan kening. "Maksud Bapak, pasar tradisional?"
"Ya, pasar," Pak Herman menegaskan. "Pasar adalah miniatur kehidupan. Kalian akan menemukan segala macam orang di sana. Dari yang kaya sampai yang pas-pasan, dari yang jujur sampai yang licik, dari yang dermawan sampai yang perhitungan. Ada yang sabar, ada yang emosian. Kalian juga akan melihat bagaimana orang bernegosiasi, bersaing, dan bekerja sama."
"Wah, itu menarik juga!" Marlon mulai membayangkan suasana pasar yang riuh, penjual yang berteriak menawarkan dagangan, dan pembeli yang sibuk menawar harga.
"Jangan lupa," lanjut Pak Herman, "di sana juga ada banyak drama. Ada ibu-ibu yang saling berebut harga murah, ada bapak-bapak yang pura-pura nggak lihat dompetnya kosong biar nggak dimintai jajan anaknya, ada penjual yang pura-pura tidak mendengar pertanyaan kalau harga barangnya kemahalan."
Riri tertawa. "Pak, jangan-jangan Bapak sendiri yang suka pura-pura nggak dengar kalau disuruh beli sesuatu?"
Pak Herman terkekeh. "Saya? Ah, saya mah sudah ahli dalam diplomasi domestik. Kalau istri minta beli sayur, saya pasti beli. Tapi kalau dia minta beli skincare, saya pura-pura tanya harga dulu, lalu bilang, 'Duh, duitnya pas-pasan buat beli beras.'"
Mereka tertawa bersama. Percakapan malam itu terasa semakin hangat.
"Tapi serius, Pak," kata Romo setelah tawa mereka mereda, "apakah Bapak pernah mengamati hal-hal seperti itu di pasar?"
Pak Herman mengangguk. "Tentu saja. Pasar adalah laboratorium kehidupan. Saya sering ke sana bukan cuma buat belanja, tapi juga buat mengamati. Kalian akan melihat betapa liciknya manusia, sekaligus betapa baiknya mereka. Seven Deadly Sins dan Seven Heavenly Virtues itu benar-benar nyata di sana."
"Kalau begitu, apakah Bapak bersedia menjadi narasumber pertama kami, Pak?" tanya Romo, matanya berbinar penuh harap.
Pak Herman terdiam sejenak, menatap mereka bertiga dengan tatapan penuh arti. Ia lalu menghela napas dan tersenyum. "Tentu saja. Saya akan dengan senang hati membantu kalian."
Marlon dan Riri saling berpandangan, tak menyangka mentor mereka sendiri yang akan menjadi narasumber pertama.
"Ini pasti menarik!" Marlon berseri-seri. "Pasar adalah tempat yang sempurna untuk memulai penelitian kita."
Pak Herman mengangguk, tetapi wajahnya sedikit berubah serius. "Tapi ada satu hal yang perlu kalian ingat. Pasar bukan hanya tempat berkumpulnya manusia. Kalian mungkin akan melihat hal-hal yang... aneh di sana."
"Aneh?" Riri mengerutkan kening. "Maksud Bapak?"
Pak Herman mengusap dagunya. "Hal-hal yang sulit dijelaskan dengan logika. Pasar adalah tempat di mana kepercayaan dan praktik tertentu bertemu. Ada orang-orang yang percaya pada hal-hal gaib, dan ada juga yang mempraktikkannya."
Romo menelan ludah. "Maksud Bapak, seperti perdukunan?"
Pak Herman mengangguk. "Saya pernah melihat penjual yang menyimpan benda-benda aneh di lapaknya, atau orang-orang yang datang tengah malam untuk ritual tertentu. Ada yang percaya kalau dagangan mereka bisa laris kalau diberi sesajen. Ada yang tiba-tiba marah-marah tanpa alasan. Bahkan ada cerita tentang pembeli yang menawar harga serendah-rendahnya lalu pergi, dan keesokan harinya si penjual sakit tanpa sebab."
Riri bergidik. "Pak, jangan nakut-nakutin, dong. Saya jadi mikir ulang buat ikut penelitian ini."
Pak Herman tertawa. "Tenang saja. Kalian hanya perlu berhati-hati dan menghormati kepercayaan orang lain. Ingat, kalian ini peneliti, bukan hakim. Tugas kalian mengamati, bukan menghakimi."
Marlon mengangguk mantap. "Baik, Pak. Kami akan berhati-hati."
Pak Herman tersenyum puas. "Bagus. Saya yakin kalian akan menemukan banyak hal menarik di pasar. Tapi ingat, keselamatan kalian adalah yang utama. Kalau ada sesuatu yang terasa janggal, jangan coba-coba nekat."
Riri mendesah. "Jadi selain meneliti manusia, kita juga harus siap menghadapi hal-hal yang nggak kelihatan, ya? Ini penelitian atau uji nyali, sih?"
Mereka semua tertawa, tapi di balik canda itu, mereka menyadari satu hal: perjalanan mereka baru saja dimulai, dan di depan sana, dunia abu-abu yang mereka cari akan semakin nyata di hadapan mereka.
Romo menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Pak Herman sambil menyeringai kecil.
"Pak Herman tahu nggak, sebenarnya sebelum kami secara resmi meminta Bapak jadi narasumber, Bapak tuh udah jadi narasumber duluan buat Marlon dan Riri," katanya, nada suaranya santai namun penuh makna.
Marlon dan Riri spontan menoleh ke arah Romo dengan dahi berkerut. Mereka jelas tidak mengerti maksudnya.
"Hah? Maksudnya gimana, Mo?" Marlon bertanya, nadanya penuh kebingungan.
Romo mengangkat bahunya santai. "Kita sudah tahu banyak tentang Bapak, Pak. Kita sudah melihat bagaimana Seven Deadly Sins dan Seven Heavenly Virtues itu bertarung dalam hidup Bapak. Bahkan tanpa Bapak sadari, Bapak sudah menunjukkan semuanya kepada kami."
Pak Herman menaikkan alisnya, kini gilirannya yang bingung.
"Loh, kok bisa? Kalian tahu dari mana?"
Romo mencondongkan tubuhnya ke depan, berusaha terlihat misterius. "Pak Herman ini bukan orang biasa. Kami tahu Bapak pernah punya usaha sendiri, pernah merasakan jatuh bangun di dunia bisnis. Kami juga tahu Bapak sempat merasa sukses... sampai akhirnya semua berubah."
Marlon dan Riri saling berpandangan, lalu mengangguk pelan. Benar juga. Mereka sudah mendengar berbagai cerita tentang Pak Herman dari banyak sumber, bahkan tanpa mereka sadari, mereka sudah menjadikannya contoh nyata dalam penelitian mereka.
Riri menatap Pak Herman dengan antusias. "Tapi yang kami tahu itu baru permukaannya, Pak. Kami ingin dengar langsung dari Bapak. Gimana rasanya menghadapi godaan keserakahan? Gimana rasanya ketika iri hati mulai tumbuh? Dan... gimana caranya Bapak bisa bangkit lagi setelah semua itu?"
Pak Herman menghela napas panjang. Matanya menerawang sesaat, seperti melihat ke masa lalu. Kemudian, ia tersenyum kecil—senyum yang penuh makna.
"Kalian ini ya, masih muda tapi penasaran banget sama hal-hal yang bikin hidup tambah berat," katanya sambil terkekeh.
Marlon ikut tertawa. "Ya mau gimana lagi, Pak? Penasaran ini penyakit yang belum ada obatnya."
Pak Herman mengangguk, lalu menatap mereka satu per satu. Ada sedikit kilau nostalgia di matanya.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Kalau kalian memang ingin tahu, saya akan cerita. Tentang perjalanan saya, kesalahan-kesalahan yang saya buat, dan pelajaran yang akhirnya saya petik."
Marlon, Riri, dan Romo saling melirik, kemudian tersenyum lebar. Mereka tahu, cerita ini akan menjadi bagian penting dari perjalanan mereka.
Pak Herman berdiri dari kursinya, menepuk-nepuk celananya, lalu menoleh ke arah dalam rumah.
"Nah, sebelum kita ngobrol panjang, saya kenalin dulu istri dan anak saya ya. Biar kalian tahu siapa aja penghuni kerajaan kecil ini," katanya dengan nada bercanda.
Marlon, Riri, dan Romo saling melirik. Marlon berbisik, "Gawat, kalau ada perkenalan keluarga gini biasanya ada tes wawancara juga."
Riri mendelik. "Ini bukan acara lamaran, Marlon."
Pak Herman tertawa kecil, lalu berseru ke dalam rumah. "Bu! Anak-anak yang saya ceritakan udah datang nih."
Tak lama kemudian, seorang wanita keluar dari dalam rumah, usianya sekitar akhir 40-an, dengan wajah ramah dan mata yang terlihat bijaksana. Di belakangnya, seorang anak laki-laki kecil sekitar delapan tahun mengintip malu-malu.
"Nah, ini istri saya, Bu Santi," kata Pak Herman. "Dan yang ini calon penerus dinasti keluarga, namanya Dika."
Bu Santi tersenyum sambil mengusap tangan di celemeknya. "Oh, ini yang namanya Marlon, Riri, sama... satu lagi siapa tadi?"
"Romo, Bu," jawab Romo cepat.
Dika tiba-tiba menyela dengan mata berbinar. "Romo kayak nama di film superhero ya!"
Marlon langsung menimpali, "Betul! Dia Romo-man, pahlawan keadilan yang suka debat di grup WhatsApp keluarga!"
Riri menahan tawa sementara Romo mendesah panjang. "Kenapa kalau ada aku pasti ada roasting session?"
Pak Herman terkekeh sambil mengusap kepala anaknya. "Dika ini emang hobi nonton film. Maaf ya, Romo, kalau dia bandingin nama kamu sama tokoh fiksi."
Romo mengangkat bahu. "Nggak apa-apa, Pak. Saya lebih baik dianggap pahlawan daripada dianggap admin grup arisan."
Bu Santi tertawa, lalu menatap Pak Herman. "Jadi, mereka ini yang mau wawancara soal penelitian itu?"
Pak Herman mengangguk. "Iya, Bu. Mereka penasaran sama cerita hidup saya. Tentang naik-turunnya usaha, jatuh-bangunnya manusia menghadapi dosa dan kebajikan. Nah, saya pikir... mungkin Ibu juga bisa bantu kasih perspektif dari sisi istri."
Bu Santi melirik suaminya dengan tatapan istri yang sudah hafal kebiasaan suaminya. "Herman, ini kamu beneran mau cerita jujur, atau mau kasih versi yang udah disaring dulu?"
Pak Herman terbatuk kecil. "Eh... jujur dong, Bu. Jujur dalam batas wajar."
Marlon menyikut Riri dan berbisik, "Fix, kalau ada istri yang ikut cerita, pasti lebih seru."
Riri tersenyum. "Iya, biasanya suami cerita kayak pahlawan, tapi istri yang kasih plot twist."
Bu Santi terkekeh. "Ya sudah, silakan duduk lagi. Saya bikinin teh dulu. Kalau cerita ini mau serius, setidaknya harus ada teh manis biar nggak terasa pahit."
Dika tiba-tiba berseru, "Ayah suka teh, tapi kalau ngobrol biasanya makin lama makin basi!"
Pak Herman menatap anaknya dengan ekspresi dramatis. "Dika... kamu menusuk ayah dari belakang!"
Semua tertawa, sementara Bu Santi menggeleng-geleng sambil menuju dapur.
Pak Herman menghela napas dan duduk kembali. "Baiklah, anak-anak. Kalian siap dengar kisah seorang lelaki yang pernah merasa di puncak dunia, lalu jatuh, bangkit lagi, dan jatuh lagi?"
Marlon mengangkat tangan. "Pak, kalau kisahnya jatuh-bangun terus, apakah kita butuh helm dulu?"
Pak Herman tergelak. "Nggak perlu helm, tapi siapkan mental. Karena hidup itu kadang lebih kejam dari jalanan berlubang."
Mereka tertawa lagi, sebelum akhirnya suasana menjadi lebih tenang. Sekarang, cerita sesungguhnya akan dimulai.
Komentar
Posting Komentar