Dunia Abu-Abu Chapter 3 - Status Quo

Marlon dan Riri duduk di salah satu sudut perpustakaan, dikelilingi tumpukan buku yang mereka kumpulkan sejak pagi. Cahaya matahari yang menyelinap melalui jendela tinggi menerangi lembaran-lembaran halaman yang terbuka di depan mereka. Di luar, dunia terus bergerak dalam ritmenya yang tak henti-henti. Tapi di dalam sini, mereka mencoba menghentikan waktu, berusaha memahami sesuatu yang selama ini terasa samar: mengapa dunia ini selalu digambarkan dalam dua warna yang kontras—hitam dan putih?


Sebelum mulai membaca, Riri membuka bungkus roti dari kantongnya. "Mau? Aku beli di kantin tadi. Masih hangat."


Marlon menggeleng. "Aku masih kenyang. Tapi nanti kalau kamu nggak habis, aku bantu."


Riri terkekeh. "Selalu begitu. Nggak mau ambil duluan, tapi kalau sisa, langsung diambil."


Marlon hanya tersenyum, lalu mulai membolak-balik halaman buku The Way of Heaven karya Xiaoping Wang. Ia membaca pelan, membiarkan setiap kata meresap ke dalam pikirannya.


"Kenapa, ya, orang-orang lebih suka membagi dunia ini secara sederhana? Baik dan buruk. Salah dan benar. Seakan-akan tidak ada ruang di antara keduanya," gumamnya tanpa mengalihkan pandangan dari halaman yang sedang dibacanya.


Riri mengunyah pelan, menatap saudaranya dengan sorot mata yang penuh pemikiran. "Padahal, kita sendiri sudah mulai melihat bahwa hidup ini tidak sesederhana itu. Kenapa orang-orang lebih memilih untuk menyembunyikan kompleksitasnya?"


Marlon membaca salah satu paragraf yang menarik perhatiannya:


"Bukan kita yang salah, tapi dunia. Tapi akhirnya, kita bingung siapa yang salah dan siapa yang benar."


Kutipan itu menggema dalam pikirannya. Dunia telah membentuk narasi bahwa segala sesuatu harus dikategorikan dengan jelas. Jika sesuatu baik, maka harus diterima. Jika sesuatu buruk, maka harus ditolak. Tapi bagaimana dengan hal-hal yang berada di antara keduanya?


"Mungkin karena lebih mudah begitu," Riri akhirnya berkata. "Bayangkan kalau dari kecil kita diajarkan bahwa dunia ini rumit. Mungkin kita akan selalu ragu dalam mengambil keputusan. Dan orang-orang nggak suka keraguan."


Marlon meletakkan bukunya sejenak, menatap langit-langit perpustakaan. "Jadi, ini bukan karena mereka nggak tahu, tapi karena mereka lebih suka cara yang lebih gampang?"


Riri mengambil sebuah buku lain, Moral Tribes karya Joshua Greene. "Lihat ini," katanya, menunjuk pada sebuah paragraf. "Dia menjelaskan bagaimana manusia cenderung berpikir dalam kategori moral yang sederhana karena otak kita memang dirancang untuk itu. Ketika dihadapkan pada dilema kompleks, orang lebih suka memilih jawaban yang mudah dimengerti daripada menggali lebih dalam."


Marlon membaca cepat bagian itu. "Jadi, bisa dibilang ini lebih karena naluri kita daripada kesengajaan menyembunyikan sesuatu?"


Riri mengangkat bahu. "Mungkin sebagian besar iya, tapi nggak menutup kemungkinan ada alasan lain. Bisa jadi, konsep hitam dan putih ini sengaja dijaga agar dunia tetap stabil. Kalau orang-orang mulai mempertanyakan semuanya, mungkin sistem yang ada akan goyah."


"Seperti yang dikatakan di buku The Righteous Mind karya Jonathan Haidt," tambah Marlon, meraih buku itu dari tumpukan. "Dia bilang bahwa manusia secara alami terbagi dalam kelompok-kelompok moral yang berbeda, dan setiap kelompok mempertahankan narasi sederhana agar loyalitas tetap terjaga. Jika semuanya menjadi abu-abu, batas antara kelompok itu akan memudar. Mungkin itu yang ditakuti oleh banyak orang."


Riri menatap jam di pergelangan tangannya. "Udah hampir jam empat. Kita masih mau lanjut baca di sini atau mau cari suasana lain?"


Marlon menimbang sejenak. "Bagaimana kalau kita cari kopi dulu? Terlalu banyak teori bikin otak panas."


"Setuju," Riri menutup bukunya dan merapikan tumpukan yang mereka ambil dari rak. "Ayo ke kafe di sebelah kampus. Aku mau es kopi."


Mereka berjalan keluar dari perpustakaan, menyusuri lorong kampus yang mulai sepi. Beberapa mahasiswa masih terlihat duduk di bangku taman, sibuk dengan catatan mereka atau sekadar menikmati sore yang perlahan berubah warna.


Saat mereka tiba di kafe, aroma kopi yang khas langsung menyambut mereka. Riri segera memesan es kopi kesukaannya, sementara Marlon memilih kopi hitam tanpa gula.


"Kau masih suka kopi pahit, ya?" Riri mengangkat alis.


Marlon mengangkat bahu. "iyah dong, apa yang dasarnya pait, biarlah tetap pahit, tidak perlu dimanipulasi dengan gula untuk merubahnya menjadi manis."


"Puitis sekali," Riri terkekeh.


Mereka duduk di pojokan kafe, menikmati kopi mereka dalam diam sejenak. Kemudian, Marlon kembali membuka pembicaraan.


"Tapi yang paling aneh bagiku adalah, kenapa ketika kita mulai memahami bahwa dunia ini abu-abu, kita justru merasa semakin bingung? Bukankah seharusnya ini membuat kita lebih bijak?"


Riri menatap Marlon dengan serius. "Karena sejak kecil kita diajarkan sesuatu yang berlawanan. Begitu kita menyadari bahwa pelajaran itu tidak sejalan dengan kenyataan, kita kehilangan pegangan. Kita ingin menolak hitam dan putih, tapi kita sendiri belum tahu bagaimana memahami dunia yang abu-abu ini dengan baik."


Hening sejenak. Suara orang-orang berbincang dan denting sendok yang menyentuh gelas terdengar di sekitar mereka.


Marlon mengaduk kopinya perlahan. "Jadi, kalau bukan dunia yang salah, dan bukan juga kita yang salah, lalu siapa yang benar?"


Riri menghela napas. "Mungkin, nggak ada yang benar atau salah. Mungkin, yang benar adalah bagaimana kita mencoba memahami dunia ini, bukan sekadar menerima apa yang diajarkan kepada kita."


Marlon tersenyum kecil. "Jadi, kita harus terus mencari jawaban, ya?"


Riri mengangguk. "Dan mungkin kita nggak akan pernah menemukan jawaban yang mutlak. Tapi setidaknya, kita nggak akan berhenti bertanya."


Di sebuah kafe kecil dengan nuansa klasik, Riri dan Marlon duduk di meja dekat jendela. Aroma kopi hitam yang pekat dan alunan musik akustik menemani diskusi mereka. Di hadapan mereka, dua cangkir kopi masih mengepul, dan di antara mereka tergeletak buku-buku filsafat dan agama yang baru saja mereka pinjam dari perpustakaan.


Riri menghela napas. "Dari kecil kita diajarkan untuk nggak banyak bertanya soal agama. Alasannya? Biar nggak kayak Bani Israil yang terlalu banyak tanya dan akhirnya malah menyusahkan diri sendiri, Dalam Al-Qur'an, khususnya surat Al-Baqarah, terdapat kisah Bani Israil yang banyak bertanya kepada Nabi Musa AS terkait perintah Allah SWT untuk menyembelih seekor sapi betina. Sikap mereka yang terlalu banyak bertanya dan berbelit-belit ini kemudian menyulitkan diri mereka sendiri."


Marlon mengangguk. "Iya. Katanya kalau terlalu banyak bertanya, malah bikin ragu. Jadi, lebih baik nurut aja, gitu katanya."


Riri mengambil sendok kecil dan mengaduk kopinya pelan. "Tapi, aku baru baca di salah satu buku tadi. Sebenarnya Islam nggak melarang kita buat bertanya, apalagi soal akidah. Justru, kita harus banyak bertanya biar paham. Yang harus kita patuhi tanpa banyak bertanya itu syariat, bukan akidah."


Marlon mengangkat alis. "Bentar, bentar. Jadi, yang kita nggak boleh banyak tanya itu soal syariat? Sedangkan soal akidah malah harus banyak bertanya? Aku baru dengar ini."


Riri tersenyum. "Iya. Misalnya gini, dalam akidah, kita harus yakin dulu bahwa Allah itu ada, Maha Esa, dan agama Islam itu benar. Itu nggak bisa sekadar ikut-ikutan orang tua atau budaya. Harus ada keyakinan yang datang dari pemahaman sendiri, makanya kita harus banyak bertanya. Bahkan di dalam Al-Qur'an, Allah sering menyuruh manusia berpikir dan bertanya."


Marlon mengangguk. "Berarti kalau tentang keyakinan, kita boleh kritis, ya? Ada contohnya di Al-Qur’an?"


Riri membuka catatannya. "Banyak! Salah satunya di Surah Al-Baqarah ayat 260, kisah Nabi Ibrahim yang bertanya kepada Allah bagaimana cara menghidupkan kembali orang mati."


Marlon terkejut. "Nabi Ibrahim? Bukannya dia sudah beriman?"


Riri tersenyum. "Iya, dia sudah beriman, tapi dia ingin menambah keyakinannya dengan melihat langsung bagaimana Allah menghidupkan makhluk yang mati. Ayatnya begini:


'Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan yang mati." Allah berfirman, "Apakah kamu belum beriman?" Ibrahim menjawab, "Tentu (aku telah beriman), tetapi agar hatiku semakin mantap."' (QS. Al-Baqarah: 260)


Marlon berpikir sejenak. "Jadi, bertanya dalam Islam itu wajar, bahkan buat nabi sekalipun?"


Riri mengangguk. "Betul! Nah, yang nggak boleh banyak ditanya itu syariat. Kalau syariat, kita harus patuh. Contohnya di Surah Al-Maidah ayat 101, Allah berfirman:


'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu...' (QS. Al-Ma’idah: 101)


Marlon menyesap kopinya. "Jadi, syariat itu aturan teknis dalam Islam yang kita harus terima begitu saja tanpa banyak protes?"


Riri mengangguk. "Iya. Contohnya, perintah shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadan, zakat, dan haji. Itu semua perintah langsung dari Allah, kita tinggal patuh."


Marlon tertawa kecil. "Jadi, misalnya ada orang yang tanya, 'Kenapa shalat Subuh dua rakaat, tapi Maghrib tiga?', itu termasuk pertanyaan yang dilarang?"


Riri ikut tertawa. "Nah, itu contoh pertanyaan yang nggak perlu diperdebatkan. Itu aturan yang sudah Allah tentukan, bukan sesuatu yang harus kita ragukan. Makanya, kalau soal akidah kita didorong untuk bertanya, tapi kalau soal syariat, kita harus patuh."


Marlon tersenyum. "Aku suka cara Islam berpikir. Jadi sebenarnya bukan Islam yang melarang kita bertanya, tapi kita sendiri yang salah paham."


Riri menyesap kopinya. "Tepat! Bertanya itu bagian dari mencari kebenaran. Yang salah itu kalau kita asal patuh tanpa memahami dasar keyakinan kita sendiri."


Malam sudah mulai turun ketika Riri dan Marlon berdiri di tepi trotoar, menunggu taksi online yang mereka pesan. Hari itu cukup melelahkan setelah seharian di perpustakaan kota, menelusuri berbagai buku tentang Seven Deadly Sins dan Seven Heavenly Virtues.


"Lama juga ya," keluh Riri sambil menatap layar ponselnya. "Padahal tadi katanya tinggal satu menit lagi."


"Mungkin nyari parkiran," sahut Marlon santai. "Atau mungkin dia lupa cara ke sini."


Tak lama kemudian, sebuah mobil berhenti di depan mereka. Riri melirik layar ponselnya untuk memastikan plat nomor dan model mobil. Begitu jendela mobil terbuka, mereka langsung terkejut.


"Lho? Kalian lagi?" seru pria tua di balik kemudi dengan suara penuh keakraban.


"Pak... Pak Herman?" Riri menatap tak percaya. "Bapak sopir taksi online juga?"


Pak Herman tertawa kecil sambil membuka kunci pintu mobil. "Ya namanya hidup, Nak. Harus fleksibel. Kalau usaha gagal, ya cari jalan lain buat tetap jalan. Udah, masuk aja. Jangan bengong di pinggir jalan, nanti dikira patung."


Marlon dan Riri tertawa kecil sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil.


"Kebetulan banget ketemu Bapak lagi," ujar Marlon sambil mengenakan sabuk pengaman. "Padahal kita baru aja dari perpustakaan, baca-baca soal dosa dan kebajikan."


Pak Herman melirik mereka lewat kaca spion sambil tersenyum. "Oh? Jadi kalian beneran serius sama topik itu? Keren juga. Terus, dapet pencerahan apa?"


Riri menghela napas panjang. "Banyak banget. Tapi makin banyak baca, makin banyak pertanyaan yang muncul. Kayak... kenapa keserakahan dianggap dosa, padahal kalau dipikir-pikir, orang yang serakah justru banyak yang sukses?"


Pak Herman mengangguk pelan, lalu menjawab dengan nada bercanda, "Nah itu dia! Saya dulu serakah, sukses. Pas coba hidup sederhana, malah bangkrut. Jadi gimana tuh?"


Marlon dan Riri saling berpandangan lalu tertawa.


"Jadi kesimpulannya, lebih baik serakah aja ya, Pak?" canda Marlon.


"Bukan gitu juga!" Pak Herman tertawa keras. "Makanya, hal kayak gini nggak bisa dipandang hitam putih. Kadang yang kelihatan buruk ada gunanya, yang kelihatan baik bisa bikin celaka."


Riri mengangguk. "Setuju, Pak. Itu juga yang bikin kita penasaran. Kita pengen ngobrol lebih dalam tentang ini."


Marlon menatap Pak Herman dengan serius. "Tapi Pak, kenapa ya, sejak kecil kita seperti dipaksa untuk berpikir bahwa dunia ini cuma hitam dan putih? Kenapa dunia abu-abu ini seakan disembunyikan? Rasanya seperti ada kekuatan atau kepentingan yang ingin kita terus berpikir begitu. Kenapa status quo yang sekarang ini seolah berusaha dipertahankan mati-matian?"


Pak Herman melirik Marlon melalui kaca spion dan tersenyum kecil. "Hmm... pertanyaan bagus, Nak. Jawabannya panjang dan nggak sederhana. Tapi kalau mau bahas itu, nggak cukup cuma di dalam mobil."


Pak Herman mengusap dagunya seolah berpikir. "Gini aja. Besok sore saya ada waktu luang. Kita ketemuan di kedai kopi dekat taman kota. Saya traktir teh hangat. Ngobrol santai sambil ngebahas dunia abu-abu kalian. Gimana?"


Marlon dan Riri langsung mengangguk semangat. "Setuju, Pak!" seru mereka bersamaan.


Pak Herman tersenyum puas. "Sip. Besok kita ngobrol panjang. Sekarang duduk manis, saya anter kalian pulang. Jangan lupa kasih bintang lima ya!"


Mobil melaju di jalanan malam, membawa serta tiga orang dengan pikiran yang semakin penuh dengan pertanyaan-pertanyaan menarik tentang dunia yang tidak sekadar hitam dan putih.


Marlon dan Riri duduk di sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan, menunggu kedatangan Pak Herman. Mereka sudah membuat janji untuk bertemu dengan pria paruh baya itu, seorang mantan pengusaha yang kini menjadi sopir taksi online. Tak lama kemudian, sebuah mobil tua berhenti di depan mereka, dan seorang pria berkumis tebal dengan perut sedikit buncit keluar dari dalamnya.


"Waduh, maaf ya, telat sedikit. Tadi ada macet gara-gara pengendara motor mendadak berhenti buat foto kucing tidur di tengah jalan. Dunia makin aneh," kata Pak Herman sambil menarik kursi dan duduk di hadapan mereka.


Marlon dan Riri tertawa kecil.


"Gapapa, Pak. Justru jadi bahan obrolan. Eh, ngomong-ngomong, Bapak dulu kan sempat jadi pengusaha, ya? Gimana ceritanya bisa akhirnya jadi sopir taksi online?" tanya Marlon.


Pak Herman menarik napas dalam-dalam, lalu menyeruput kopi hitamnya sebelum mulai bercerita.


"Dulu saya punya usaha kecil-kecilan, warung sembako sama beberapa usaha sampingan. Awalnya sih sederhana, tapi karena saya selalu mikir ‘gimana caranya duit ini bisa berkembang,’ saya jadi makin ambisius. Lama-lama, saya mulai ngambil keuntungan lebih banyak, naikkan harga barang, tekan gaji karyawan, dan ya… semua demi profit. Dan tau nggak? Itu berhasil! Saya jadi sukses. Mobil baru, rumah makin gede, orang-orang mulai hormat sama saya."


"Tapi kok sekarang malah jadi sopir, Pak?" sela Riri penasaran.


Pak Herman tertawa kecil. "Nah, itu dia! Kesuksesan saya itu ternyata bikin banyak orang nggak suka. Karyawan yang saya tekan gajinya mulai kabur satu per satu. Pelanggan juga mulai beralih karena harga saya kemahalan. Saya pikir, ‘ah, ini mereka aja yang nggak bisa terima perubahan.’ Tapi lama-lama, bisnis saya runtuh. Toko sepi, persediaan numpuk, uang makin menipis. Akhirnya bangkrut."


Marlon dan Riri terdiam sejenak, membiarkan cerita itu meresap.


"Terus gimana, Pak? Apa Bapak coba bangkit lagi?" tanya Marlon.


Pak Herman mengangkat bahunya. "Saya pikir, mungkin saya harus lebih sederhana. Mungkin saya harus hidup lebih jujur, lebih baik, lebih adil. Saya coba jualan dengan harga wajar, nggak terlalu ambisius, nggak cari untung besar. Tapi tau nggak? Itu malah bikin usaha saya makin gagal. Kenapa? Karena yang lain nggak main seperti itu. Di dunia bisnis, kalau kita terlalu jujur, kita dimakan. Saya sadar, dunia ini nggak sepenuhnya butuh orang baik, tapi juga nggak bisa sepenuhnya diisi orang jahat."


Riri menyandarkan punggungnya, merenung. "Jadi, menurut Bapak, dunia ini memang seharusnya abu-abu?"


Pak Herman mengangguk. "Ya. Tapi ada sesuatu yang bikin dunia ini seolah cuma hitam dan putih. Kayak ada kekuatan yang pengen kita cuma milih dua sisi aja: baik atau buruk, kaya atau miskin, sukses atau gagal. Padahal realitanya, hidup itu campuran."


Marlon menatap Pak Herman dengan antusias. "Maksud Bapak, ada semacam kepentingan besar yang ingin kita percaya kalau dunia ini cuma dua sisi aja?"


Pak Herman menyeringai. "Pernah denger istilah ‘kalau ada dua orang yang ribut, pasti ada pihak ketiga yang diuntungkan?’ Mungkin ada yang sengaja bikin kita percaya bahwa dunia ini cuma ada dua sisi, supaya mereka bisa ngendalikan kita."


Riri mengernyit. "Tapi siapa, Pak?"


Pak Herman mengangkat tangan. "Wah, itu yang saya belum tahu. Bisa jadi pemerintah, bisa jadi media, bisa juga… tukang bubur ayam di ujung sana yang bikin kita debat ‘bubur diaduk atau nggak.’"


Marlon dan Riri langsung tertawa.


"Aduh, Pak, serius dikit dong!" kata Riri sambil terkikik.


"Hahaha! Ya intinya, kita harus sadar bahwa dunia nggak sesederhana yang diajarkan ke kita. Jangan gampang percaya sama konsep-konsep yang kayaknya terlalu ekstrem. Kita harus cari keseimbangan sendiri," kata Pak Herman sambil menyeruput kopinya lagi.


Marlon dan Riri saling pandang, menyadari bahwa perbincangan ini membuka cakrawala berpikir mereka lebih luas. Mereka tak hanya mendapat cerita tentang naik dan turunnya kehidupan, tetapi juga pertanyaan besar yang perlu mereka cari jawabannya dalam perjalanan mereka berikutnya.


Hujan rintik-rintik membasahi jendela kafe di dekat taman kota. Marlon, Riri, dan Pak Herman duduk di meja dekat jendela, menikmati aroma kopi yang bercampur dengan udara segar sehabis hujan. Mereka baru saja selesai dari perpustakaan, dan seperti biasa, otak Marlon sudah penuh dengan teori-teori yang ingin didiskusikan.


"Pak Herman," Marlon membuka pembicaraan sambil mengaduk kopinya, "menurut Bapak, kenapa dunia ini dibuat seolah-olah hitam dan putih?"


Pak Herman menaikkan alis. "Waduh, pertanyaannya berat, Nak. Ini masih jam makan siang, loh."


Riri tertawa. "Udah biasa, Pak. Marlon itu kepalanya kayak CPU, nggak pernah dingin."


"Tapi serius, Pak. Saya kepikiran ini karena semua yang kita pelajari sejak kecil itu selalu digambarkan dalam dua sisi: baik atau buruk, boleh atau nggak boleh, dosa atau pahala. Nggak ada area abu-abu. Kenapa begitu?"


Pak Herman berpikir sejenak sebelum menjawab. "Kalau dunia nggak dibuat hitam putih, orang-orang bisa jadi bingung. Manusia itu makhluk yang nggak suka ribet. Kalau ada aturan yang jelas, hidup jadi lebih gampang. Misalnya, kalau sejak kecil kita diajari ‘jangan mencuri’ tanpa tapi, orang nggak bakal banyak alasan buat nyolong."


Riri mengangguk. "Iya sih, kalau semua orang mulai pakai logika ‘tergantung situasi’, bisa berantakan. Tapi… bukannya dunia memang kompleks, ya?"


Marlon menambahkan, "Iya, justru itu masalahnya. Kenapa kita malah diajarkan dengan cara yang menyederhanakan? Bukannya itu bikin kita nggak siap menghadapi realita yang lebih abu-abu?"


Pak Herman tertawa kecil. "Kalian berdua ini kayak debat di acara filsafat di TV. Coba pikir, kalau semua orang dari kecil diajarin kalau dunia ini abu-abu, banyak orang bakal makin susah ambil keputusan. Makin banyak yang bingung. Sistem yang sudah ada sekarang ini—yang hitam dan putih—mempermudah kontrol."


Marlon menyipitkan mata. "Kontrol dalam arti apa?"


"Coba lihat di sekolah, di kantor, di pemerintahan. Sistem yang jelas itu bikin orang patuh. Kalau terlalu banyak orang mikir sendiri dan mempertanyakan aturan, bisa-bisa sistemnya runtuh. Lagian, orang yang ngatur dunia juga butuh cara gampang buat mengatur masyarakat. Coba bayangin kalau di sekolah guru bilang, ‘Belajar itu penting, tapi kalau kalian malas juga nggak apa-apa, toh semua orang punya alasan masing-masing.’ Kacau, kan?"


Riri terkikik. "Kayaknya kalau gitu, Marlon bakal jadi murid yang paling malas."


Marlon menghela napas. "Jadi, status quo dunia ini sengaja dibuat hitam-putih supaya lebih gampang diatur, gitu?"



Pak Herman mengangguk. "Kurang lebih begitu. Ada untungnya, tapi juga ada ruginya. Dunia ini memang nggak benar-benar hitam dan putih, tapi kalau sistemnya nggak pakai pola itu, orang bisa susah membedakan batas-batas. Makanya, mereka pilih buat bikin aturan yang ketat dan sederhana."


"Jadi ini semua hanya alat kontrol?" Marlon bertanya.


"Nggak juga," Pak Herman menjawab, "lebih ke cara supaya orang-orang nggak terlalu stres mikirin yang kompleks. Ada orang yang memang lebih nyaman kalau hidupnya jelas: ini baik, ini buruk. Tapi kalau kalian mau menggali lebih dalam, ya silakan, asal jangan stres sendiri."


Riri tertawa. "Terlambat, Pak. Marlon udah stres sejak SMA."


Marlon mendengus. "Halah. Intinya, ini semua lebih tentang kenyamanan dan kemudahan ngatur manusia, ya? Bukan soal benar atau salah?"


"Betul. Makanya orang yang sadar kalau dunia itu abu-abu biasanya lebih sering galau. Tapi nggak apa-apa, yang penting kalian tetap punya pegangan sendiri. Jangan malah bingung sendiri."


Pak Herman mengambil sendok kecil dan mengaduk kopinya sambil tersenyum jahil. "Oh iya, ngomong-ngomong soal hitam putih, kalian lebih suka es krim cokelat atau vanila?"


Riri langsung menjawab, "Cokelat dong!"


Marlon berpikir sejenak. "Kalau dicampur gimana, Pak?"


Pak Herman tertawa. "Nah, itu baru abu-abu!"


Mereka bertiga tertawa, sementara di luar, sisa hujan meninggalkan genangan air yang memantulkan cahaya lampu taman kota.


marlon melanjutkan diskusinya " tau nga pa saya menemukan tulisan yang bagus tentang teori perkembangan kognitif" marlon mencoba menjelaskan pada pak Herman dan Riri.


"teori tahapan berpikir manusia dalam melihat dan memahami dunia. Salah satu teori yang memiliki konsep ini adalah perkembangan kognitif yang berhubungan dengan kemampuan membedakan variabel dalam berpikir. Berikut adalah penjelasannya dalam empat tahap:" ujar marlon melanjutkan


" Tahap 1: Pemikiran Dikotomis (Biner) – Hanya Membedakan A dan B

Pada tahap ini, seseorang hanya mampu melihat dunia dalam bentuk hitam-putih atau benar-salah. Tidak ada area abu-abu, sehingga cara berpikirnya masih sangat sederhana dan absolut.


Contoh: "Ini baik, itu buruk." / "Orang miskin malas, orang kaya rajin."


Ini mirip dengan cara berpikir anak kecil atau orang yang masih terikat dengan dogma yang kuat tanpa mempertimbangkan kompleksitas dunia.


Di Indonesia, banyak diskusi publik masih terjebak dalam tahap ini, di mana orang sering berpikir dalam dualitas yang ekstrem tanpa mempertimbangkan faktor lain.


Tahap 2: Pemikiran Relatif (Spektrum) – Munculnya Skala di Antara A dan B

Pada tahap ini, seseorang mulai memahami bahwa tidak semua hal hanya terdiri dari dua pilihan mutlak. Ada berbagai tingkatan antara A dan B, sehingga dunia tidak lagi sekadar hitam dan putih, tetapi memiliki gradasi.


Contoh: "Ada orang miskin yang rajin, ada orang kaya yang malas."


Orang mulai menyadari bahwa ada faktor lain yang berperan dalam suatu fenomena, seperti latar belakang, lingkungan, dan kesempatan.


Tahap ini memungkinkan seseorang untuk mulai berpikir lebih fleksibel dan memahami kompleksitas realitas sosial.


Tahap 3: Pemikiran Multivariat – Melibatkan Banyak Variabel dalam Analisis

Pada tahap ini, seseorang tidak hanya melihat perbedaan antara A dan B, tetapi juga memahami bahwa ada banyak faktor lain yang bisa memengaruhi suatu keadaan.


Contoh: "Kemiskinan tidak hanya disebabkan oleh malas atau rajin, tetapi juga oleh akses pendidikan, kebijakan ekonomi, lingkungan sosial, dan faktor budaya."


Orang mulai berpikir secara sistemik, melihat hubungan sebab-akibat yang lebih luas dalam suatu masalah.


Di tahap ini, seseorang mampu menghubungkan berbagai aspek dalam suatu permasalahan dan mencari solusi yang lebih kompleks.


Tahap 4: Pemikiran Holistik dan Dialektis – Mengintegrasikan Paradigma yang Bertentangan

Ini adalah tahap berpikir yang lebih matang, di mana seseorang mampu memahami bahwa perbedaan sudut pandang tidak harus saling meniadakan, tetapi bisa disintesis menjadi pemahaman baru yang lebih mendalam.


Contoh: "Kemiskinan bukan hanya soal individu, tapi juga struktur sosial. Jadi, solusinya bukan hanya kerja keras, tapi juga kebijakan yang lebih adil."


Pemikiran ini memungkinkan seseorang untuk mencari titik temu di antara berbagai pandangan yang tampaknya bertentangan, sehingga bisa menghasilkan solusi yang lebih berimbang.


Dalam tahap ini, seseorang sudah tidak lagi terjebak dalam perdebatan hitam-putih atau spektrum sederhana, tetapi bisa merangkul berbagai perspektif untuk memahami suatu fenomena secara menyeluruh.


​Teori yang membagi pemikiran manusia menjadi empat tahap—Pemikiran Dikotomis (Biner), Pemikiran Relatif (Spektrum), Pemikiran Multivariat, dan Pemikiran Holistik dan Dialektis—tidak secara langsung berasal dari teori perkembangan kognitif Jean Piaget. Meskipun demikian, konsep tersebut dapat dianggap sebagai pengembangan atau adaptasi dari berbagai teori pemikiran kritis dan perkembangan kognitif yang ada.


Selain itu, konsep tahapan pemikiran yang aku jelaskan, mungkin juga berkaitan dengan teori pemikiran kritis dan perkembangan moral, seperti yang dikemukakan oleh William Perry dalam teorinya tentang perkembangan intelektual dan etika mahasiswa, yang mencakup tahapan dari dualisme (pemikiran dikotomis) menuju relativisme dan akhirnya komitmen dalam relativisme." ucap Marlon panjang lebar.


Di sebuah warung kopi di pinggir jalan, Marlon, Riri, dan Pak Herman sedang duduk sambil menikmati kopi hitam dan teh hangat. Mereka baru saja selesai membaca sebuah buku yang membahas ketidakadilan dalam sistem pendidikan modern.


Marlon: "Aku baru saja membaca bagian buku, dan kesimpulannya pendidikan modern semakin tidak adil bagi orang-orang dari keluarga biasa, apalagi yang berasal dari keluarga miskin. Menurutnya, tidak semua orang cocok untuk membaca. Kalau semua orang berhasil dalam pendidikan, siapa yang akan melakukan pekerjaan lain? Bagi orang kelas menengah ke bawah, semakin banyak yang mereka ketahui, semakin menyakitkan hidup mereka."


Riri: "Jadi, dia berpendapat kalau lebih baik tidak tahu apa-apa? Karena dengan begitu hidup jadi lebih sederhana dan mungkin lebih bahagia?"


Pak Herman: (tertawa kecil) "Itu seperti pepatah lama, 'Ignorance is bliss' atau 'Ketidaktahuan adalah kebahagiaan'. Tapi di sisi lain, ini mengingatkanku pada zaman perbudakan di Amerika. Pemilik budak sering mengatakan kepada budaknya, 'Kenapa kalian miskin? Kenapa kalian lapar? Itu karena kalian tidak bekerja keras.' Mereka menunjukkan satu budak yang sukses sebagai contoh, lalu menyalahkan yang lain karena tidak mencapai hal yang sama."


Marlon: "Ini mirip dengan narasi sekarang, kan? Kalau kamu miskin, berarti kamu kurang usaha. Kalau kamu nggak bisa sekolah tinggi, berarti kamu nggak cukup pintar atau nggak cukup gigih. Padahal, ada banyak faktor lain, seperti akses ke pendidikan, lingkungan sosial, dan kebijakan ekonomi."


Riri: "Betul, kalau dipikir-pikir, sistem masyarakat ini terbagi menjadi dua dunia. Kelas atas hidup dalam sistem yang nyata, sedangkan kelas bawah hidup dalam semacam 'simulasi'. Kelas atas bisa berpikir sendiri, sementara kelas bawah sering kali menerima kebenaran yang disajikan oleh media tanpa mempertanyakan. Kalau media menyebarkan kebohongan, dan itu diulang-ulang, lama-lama kebohongan itu bisa dianggap sebagai kebenaran."


Pak Herman: "Jadi, menurut kalian, pendidikan itu justru membuat orang kelas bawah semakin menderita? Karena semakin mereka tahu ketidakadilan yang ada, semakin mereka merasa frustrasi?"


Marlon: "Sebagian besar memang begitu. Mereka mulai sadar bahwa sistem ini tidak adil, tapi tidak punya kekuatan untuk mengubahnya. Bayangkan kalau seorang buruh memahami bagaimana kebijakan ekonomi global membuatnya tetap miskin, tapi dia tetap harus bekerja 12 jam sehari untuk sekadar bertahan hidup. Sementara itu, orang-orang kaya bisa duduk santai dan uang tetap mengalir."


Riri: (mengaduk tehnya pelan) "Tapi apakah solusinya dengan membiarkan mereka tetap tidak tahu? Bukankah itu hanya membuat mereka semakin terjebak dalam sistem ini?"


Pak Herman: (menghela napas) "Nah, di sinilah dilemanya. Pendidikan bisa menjadi alat pembebasan, tapi juga bisa menjadi alat kontrol. Kalau orang miskin semakin banyak belajar dan mulai mempertanyakan sistem, mereka bisa melawan. Tapi kalau pendidikan hanya mengajarkan mereka untuk menjadi pekerja yang patuh, ya mereka tetap terjebak."


Marlon: (tertawa kecil) "Jadi, pendidikan macam apa yang benar-benar membebaskan? Jangan-jangan kita butuh sekolah khusus buat memberontak."


Riri: (tertawa) "Hah, sekolah pemberontak? Bisa-bisa besoknya ditutup sama pemerintah."


Pak Herman: (tersenyum) "Pendidikan yang tidak hanya mengajarkan keterampilan, tapi juga mengajarkan cara berpikir kritis. Pendidikan yang membuat seseorang berani bertanya, bukan sekadar menerima. Masalahnya, apakah sistem mau membiarkan itu terjadi?"


Marlon: (menyeruput kopinya) "Hidup ini memang rumit ya. Kita ingin orang sadar, tapi kesadaran itu juga bisa jadi beban."


Riri: "Mungkin itu sebabnya banyak orang memilih untuk nggak peduli. Sibuk kerja, sibuk cari uang, biar nggak sempat mikir yang berat-berat."


Pak Herman: "Dan itulah yang membuat sistem ini tetap berjalan seperti sekarang."


Mereka bertiga terdiam sejenak, merenungi percakapan mereka. Sambil menyeruput kopi, mereka menyadari bahwa dunia ini memang tidak sesederhana hitam dan putih, dan perjuangan untuk memahami serta mengubahnya adalah tantangan besar yang harus dihadapi bersama.


Marlon: "Riri, pernah kepikiran nggak, kenapa di beberapa negara kemiskinan itu seolah-olah dibiarkan aja? Padahal pemerintah kan seharusnya bisa atasi?"


Riri: "Tentu pernah. Tapi maksudmu gimana? Masa pemerintah sengaja biarin rakyatnya miskin?"


Marlon: "Ya, aku baca teori kalau ada negara yang justru menjadikan kemiskinan sebagai alat kontrol. Mereka sengaja membiarkan orang-orang tetap lapar, supaya mereka sibuk cari makan daripada sibuk demo nuntut pekerjaan dan hak-hak lain."


Pak Herman: (tertawa sambil menyeruput kopinya) "Hahaha! Itu mah strategi klasik, Nak. Mirip kayak kalau kamu punya ayam. Kamu kasih mereka makan pas mereka udah kelaparan banget, jadi mereka nggak sempat mikirin kenapa mereka di kandangin."


Riri: (kaget) "Pak Herman, itu analoginya agak kejam sih!"


Pak Herman: (masih tertawa) "Ya tapi bener kan? Pemerintah yang cerdas bukan yang bikin rakyatnya terlalu puas. Kalau rakyat terlalu kenyang, mereka jadi punya energi buat mikirin hal-hal lain, termasuk nuntut perubahan."


Marlon: "Jadi ini strategi supaya yang miskin tetap sibuk cari makan, daripada sibuk cari keadilan?"


Pak Herman: "Persis! Kalau rakyat kelaparan, mereka sibuk mikirin nasi bungkus, bukan revolusi."


Riri: (menghela napas) "Berarti... kalau ada orang bilang kemiskinan itu musuh negara, harusnya lebih tepat dibilang kalau kemiskinan itu justru alat negara, ya?"


Marlon: "Nah, itu dia yang bikin aku nggak nyaman! Kok bisa ya, kemiskinan malah dijadiin alat? Bukannya pemerintah harusnya mikirin kesejahteraan rakyatnya?"


Pak Herman: (tersenyum miris) "Marlon, ini dunia nyata. Pemerintah yang terlalu baik itu ibarat warung makan yang kebanyakan kasih diskon. Akhirnya bangkrut sendiri."


Riri: (tertawa kecil) "Jadi kalau rakyatnya nggak kelaparan, pemerintah malah pusing? Wah, teori ekonomi yang nggak ada di buku pelajaran ini, Pak!"


Pak Herman: "Ya kan saya dulu juga pengusaha, jadi ngerti lah dikit-dikit cara mikir mereka. Kalau semua orang kenyang, mereka mulai mikirin ide-ide yang bikin pejabat repot!"


Marlon: (menghela napas dan menatap cangkir kopinya) "Wah, gawat juga ya dunia ini. Untung kita masih bisa makan enak hari ini."


Riri: (tertawa) "Jadi kalau kita mulai susah makan, artinya kita harus mulai khawatir?"


Pak Herman: (tertawa keras) "Kalau kalian sampai nggak bisa makan, berarti saya juga nggak bisa! Jadi mending kita makan dulu sebelum kita kebanyakan mikir. Ayo, cari bakso!"


Tak lama kemudian, mereka bertiga sudah duduk di warung bakso pinggir jalan. Pak Herman dengan semangat memesan tiga mangkuk bakso jumbo.


"Ini namanya keseimbangan hidup. Kalian boleh belajar, tapi jangan lupa makan enak," katanya sambil menyeruput kuah bakso.


Marlon tertawa. "Wah, Pak Herman kayak motivator aja."


Pak Herman tersenyum bijak. "Marlon, everything flashes before you when death comes knocking, it's called life."


Marlon dan Riri langsung bengong sambil meletakkan sendok mereka.


"Pak, kenapa tiba-tiba ngomongin kematian? Saya lagi makan bakso lho!" Riri protes sambil memasukkan bakso ke mulutnya.


"Justru itu. Hidup ini harus dinikmati, Nak. Kalian jangan terus-terusan stres mikirin skripsi, tapi juga jangan males-malesan. Harus seimbang."


Marlon mengangguk, mulai menangkap maksudnya.


Pak Herman kemudian menatap mereka berdua dengan tatapan penuh makna. "Tapi ingat, kalian tetap harus kerja keras. Ingat kata-kata Boston Celtics: 'What hurts more? The pain of hard work or the pain of regret?'"


Riri dan Marlon terdiam sejenak, lalu saling pandang.


Lalu mereka tertawa.


"Pak, kata-katanya keren banget, tapi kok kami jadi takut nyesel ya?" kata Riri sambil mengambil bakso lagi.


"Ya iyalah! Daripada nanti kalian nyesel nggak selesai-selesai, mending sekarang kerja keras sedikit. Tapi tetap makan bakso biar nggak stress!" Pak Herman menepuk pundak mereka berdua.


Marlon menghela napas. "Baiklah, Pak. Habis ini lanjut ngerjain skripsi lagi deh. Tapi habis nambah bakso satu porsi lagi."


Pak Herman tertawa. "Setuju! Skripsi boleh berat, tapi perut harus tetap kenyang!"


Mereka bertiga pun melanjutkan makan bakso dengan tawa, menikmati momen sederhana yang penuh makna. Kadang, kebijaksanaan hidup datang dari semangkuk bakso dan obrolan santai bersama teman dan mentor.


Malam sudah larut ketika Marlon dan Riri sampai di rumah. Langit di luar tampak pekat, hanya diterangi cahaya bulan yang samar. Suasana rumah sepi; hanya suara jam dinding yang terdengar berdetak di ruang tamu. Mereka masuk ke kamar Marlon, masih terbawa oleh perbincangan panjang mereka dengan Pak Herman sepanjang hari.


Marlon duduk di lantai, bersandar pada tempat tidurnya, sementara Riri memilih duduk di kursi belajar. Ia melipat tangannya di dada dan menatap kosong ke dinding.


"Aku masih belum bisa berhenti mikir," ujar Marlon, memecah keheningan. "Semua yang diceritakan Pak Herman tentang keserakahan dan kesederhanaan… itu membuatku mempertanyakan lagi, apakah benar kita bisa hidup hanya dengan salah satunya?"


Riri menghela napas. "Aku juga. Tadinya aku pikir kesederhanaan itu pasti baik, dan keserakahan itu pasti buruk. Tapi kalau dipikir lagi, kalau semua orang terlalu sederhana dan tidak punya ambisi, ekonomi bisa mati. Di sisi lain, kalau semua orang serakah, dunia jadi kacau. Aku merasa ada keseimbangan yang perlu dijaga, tapi aku masih belum tahu caranya."


Marlon mengangguk. "Pak Herman sendiri contohnya. Waktu dia serakah, dia sukses tapi dibenci. Waktu dia mencoba sederhana, dia malah gagal. Seolah-olah dunia ini tidak memberi ruang bagi orang yang terlalu condong ke satu sisi."


"Iya, dan itu mirip dengan yang kita baca di perpustakaan," lanjut Riri. "Tujuh Dosa Besar dan Tujuh Kebajikan itu dibuat seperti hitam dan putih, tapi kenyataannya mereka saling berkaitan. Tidak ada kebajikan yang murni tanpa sedikit dosa, dan tidak ada dosa yang murni tanpa sedikit kebajikan."


Marlon menatap langit-langit, berpikir dalam-dalam. "Jadi, intinya, manusia tidak bisa lepas dari dosa maupun kebajikan?"


Riri mengangkat bahu. "Mungkin bukan soal lepas atau tidak lepas. Mungkin lebih ke bagaimana kita menyeimbangkan keduanya."


Marlon tersenyum tipis. "Jadi, kalau kita terlalu nyaman dengan status quo—terlalu nyaman dengan apa yang kita anggap baik atau buruk—kita bisa terjebak dalam pola pikir yang sempit?"


Riri terdiam sejenak sebelum menjawab, "Sepertinya begitu. Kalau kita hanya melihat dunia dari satu sisi, kita bisa terjebak di situ saja, tidak berkembang. Tapi kalau kita terus mempertanyakan semuanya, kita juga bisa kehilangan arah. Status quo itu aman, tapi juga bisa jadi jebakan kalau kita tidak sadar."


Marlon menghela napas panjang. "Dan status quo ini bukan cuma ada di kehidupan kita sehari-hari, tapi juga di sistem yang lebih besar. Pendidikan, misalnya. Sistem pendidikan kita hanya memberi kesempatan bagi yang punya uang atau akses lebih baik. Mereka yang kurang beruntung sering kali terjebak dalam lingkaran yang sulit ditembus."


Riri menatapnya dengan serius. "Iya, pendidikan itu seharusnya jadi alat untuk membebaskan orang dari ketidakadilan, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sistem pendidikan malah mempertahankan status quo. Orang kaya tetap kaya, orang miskin sulit naik kelas sosial. Seolah-olah dunia ini sudah diatur agar tetap ada yang di atas dan ada yang di bawah."


Marlon mengangguk. "Bukan cuma pendidikan. Pemerintah juga memainkan peran besar dalam mempertahankan status quo. Kebijakan yang dibuat sering kali hanya menguntungkan golongan tertentu, sementara mereka yang lemah dibiarkan tetap tertindas. Hukum pun kadang hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas."


Riri menarik napas dalam-dalam. "Dunia ini dibangun seperti hitam dan putih. Ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Tapi kalau kita hanya menerima begitu saja tanpa mempertanyakannya, kita jadi bagian dari sistem yang tidak adil ini."


Marlon tersenyum kecil. "Jadi, mungkin pertanyaannya bukan soal status quo itu baik atau buruk, tapi apakah kita sadar dengan posisi kita di dalamnya. Apakah kita mau terjebak di situ, atau kita mau keluar dan melihat lebih luas."


Riri tersenyum kecil. "Dan kita sekarang sedang dalam proses itu, kan? Mencoba melihat lebih luas."


Marlon tertawa pelan. "Iya, dan sepertinya perjalanan ini masih panjang."


Di luar, angin malam bertiup pelan. Mereka berdua terdiam, merenungkan segala yang telah mereka pelajari hari ini. Status quo bukan sekadar tentang tetap di tempat yang nyaman atau berani melangkah keluar, tapi tentang kesadaran terhadap pilihan itu sendiri. Malam semakin larut, tapi pikiran mereka masih terus berkelana, mencari jawaban-jawaban baru.


" tau ga Ri ada pepatah bagus 'No snowflake in an avalanche ever feels responsible' Maknanya adalah metafora tentang bagaimana tindakan individu kecil—yang tampaknya tidak signifikan—bisa bergabung untuk menciptakan sesuatu yang besar dan mungkin destruktif. Dalam konteks sosial, ini sering menggambarkan bagaimana orang cenderung menghindari tanggung jawab ketika berada dalam kelompok besar atau situasi kolektif, meskipun kontribusi mereka merupakan bagian dari masalah tersebut. Seperti dalam sebuah avalanche, setiap serpihan salju adalah bagian dari kekuatan besar yang menyebabkan kehancuran.”


Riri: "Jadi intinya, kita semua cuma serpihan salju di longsoran besar? Dan nggak ada yang ngerasa bersalah? Wah, enak banget jadi manusia kalau gitu."


Marlon: "Ya, kan karena kita merasa cuma bagian kecil, kita jadi mikir, 'Ah, nggak ngaruh juga kalau aku diem aja' atau 'Kalau aku berbuat ini, ya cuma segini doang dampaknya'. Tapi kalau semua orang mikir gitu, yaudah, longsor makin gede, makin hancur."


Riri: " kesimpulannya setiap serpihan salju mungkin merasa tidak bersalah, tetapi secara kolektif mereka menjadi bagian dari kekacauan tersebut.metafora yang mencerminkan dinamika manusia dalam situasi di mana tanggung jawab tersebar di antara banyak orang..... terus kita ini dua serpihan salju yang lagi berusaha ngurangin efek longsoran?"


Marlon: "Atau setidaknya, biar kita nggak merasa sepenuhnya bersalah saat ikut kebawa."


Riri: "Hmm... aku lebih suka bayangin kita ini dua serpihan salju yang malah bikin snowman daripada longsor. Biar nggak merusak, malah bikin sesuatu yang bisa ketawa."


Marlon: "Snowman? Terus nanti meleleh juga?"


Riri: "Iya, tapi selama ada, dia bisa bikin orang senyum dulu. Itu lebih baik daripada diem aja, kan?"


Mereka berdua tertawa kecil, sebelum akhirnya hening sejenak, menatap ke luar jendela. Keputusan mereka untuk terus mencari jawaban, meskipun mereka hanya dua serpihan kecil, terasa lebih masuk akal sekarang.


Riri: "Yah, minimal kita udah coba. Daripada jadi serpihan yang cuma pasrah digulung longsor."


Marlon: "Betul. Siapa tahu, serpihan kecil ini bisa nyelamatin yang lain juga."


Tirai malam perlahan turun di kota, sementara dua bersaudara itu tetap bersemangat dengan perjalanan mereka selanjutnya.


Marlon: (menghela napas) "Jadi begini rasanya... mengetahui lebih banyak justru membuat kita semakin bingung."


Riri: (tersenyum kecil) "Itu tandanya kita mulai berpikir lebih dalam."


Marlon: (mengangguk pelan) "Tapi tetap saja, semakin kita mencoba memahami, semakin banyak pertanyaan yang muncul. Apa benar dunia ini sesederhana 'baik' dan 'buruk'?"


Riri: (menatap langit) "Mungkin tidak. Tapi kalau begitu, bagaimana kita tahu mana yang harus kita pilih?"


Marlon terdiam sejenak, lalu memandang sekeliling. Mahasiswa lalu-lalang dengan rutinitas mereka. Beberapa duduk berdiskusi, yang lain sibuk dengan tugas atau sekadar bercanda di bangku taman.


Marlon: (bergumam) "Aku merasa... kita belum melihat cukup banyak."


Riri: (menaikkan alis) "Maksudmu?"


Marlon: (tersenyum samar) "Kita selalu melihat dunia dari tempat yang sama, membaca buku yang sama, mendengar cerita dari orang yang sama. Tapi bagaimana dengan mereka yang ada di luar sana? Bagaimana dengan orang-orang yang hidup di realitas yang benar-benar berbeda dari kita?"


Riri terdiam sejenak, merenungi kata-kata Marlon. Ia tahu, sesuatu sedang berubah dalam diri saudara kembarnya. Dan mungkin, itu juga akan mengubah dirinya.

Komentar

Postingan Populer