Dunia Abu-Abu Chapter 4 - Berjalan Menuju Dunia Nyata
Pagi di kampus terasa begitu hidup. Mahasiswa berlalu-lalang, ada yang sibuk mengerjakan tugas di taman, ada yang bersenda gurau di kantin, dan ada juga yang asyik mendengarkan musik sambil duduk di tangga gedung fakultas. Langit cerah, burung-burung berkicau, dan aroma kopi dari kedai di sudut gedung semakin menambah semangat pagi.
Marlon dan Riri berjalan santai melewati koridor kampus. Mereka berhenti sejenak di dekat vending machine.
"Eh, kamu beneran mau beli minuman ini?" Riri mengerutkan kening sambil melihat Marlon yang sibuk menekan tombol.
"Iya dong, murah meriah!" Marlon tersenyum lebar.
Tiba-tiba, suara mesin berderak keras, lalu minuman yang seharusnya jatuh malah nyangkut di dalam.
"Nah, itu mah minuman kamu jadi korban kapitalisme." Riri terkekeh.
Marlon menghela napas, lalu menepuk-nepuk mesin tersebut. "Ayo dong, kasihan aku haus!"
Seorang mahasiswa yang kebetulan lewat menepuk pundak Marlon. "Coba tendang dikit, siapa tahu keluar sendiri."
Marlon mencoba, tetapi tetap tidak berhasil.
"Udah, relakan saja," kata Riri sambil menahan tawa.
"Kampus ini benar-benar mengajarkan arti kehilangan sejak dini," Marlon menghela napas pasrah, lalu berjalan pergi.
Setelah beberapa saat bercengkerama dengan teman-teman kampus, mereka akhirnya tiba di dekat taman belakang kampus, tempat yang cukup tenang untuk berdiskusi. Di sana, Romo sudah menunggu mereka dengan buku catatan kecil di tangannya.
"Nah, jadi kalian mau ngobrolin apa?" Romo bertanya setelah mereka semua duduk di bangku kayu panjang.
Marlon menarik napas. "Kami ingin memahami lebih dalam tentang kebajikan dan dosa dalam pandangan agama. Kamu kan dari kecil belajar agama, mungkin bisa kasih sudut pandang lebih luas."
Romo mengangguk. "Baiklah, kalau kita bicara soal kebajikan dan keburukan, agama sudah menjelaskannya dengan cukup jelas. Ada ayat-ayat dalam Al-Qur'an dan hadis yang mengajarkan tentang dosa dan pahala. Misalnya, dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda: 'Dosa itu adalah sesuatu yang membuat hatimu ragu dan engkau tidak ingin orang lain mengetahuinya.' (HR. Muslim). Jadi, kalau hati kita merasa gelisah atau ada rasa bersalah, bisa jadi itu dosa."
Riri mengangguk. "Jadi, kalau hati kita gelisah, berarti kita sedang melakukan dosa?"
"Kurang lebih begitu," jawab Romo. "Makanya dalam Islam ada konsep taubat dan muhasabah diri. Allah juga berfirman dalam Surah Az-Zumar ayat 53: 'Katakanlah, wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.' Jadi, dosa bisa dihapus dengan taubat yang sungguh-sungguh."
Marlon berpikir sejenak sebelum menimpali, "Tapi kalau gitu, kenapa ada orang yang berbuat dosa tapi tetap tenang-tenang saja? Bahkan kadang hidupnya lebih sukses daripada yang berusaha berbuat baik?"
Romo terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Nah, itu pertanyaan yang sering bikin orang bingung. Tapi ingat, kesuksesan duniawi bukan ukuran kebahagiaan sejati. Bisa jadi dia tenang karena sudah terbiasa dengan keburukan, atau bisa jadi Tuhan sedang memberinya ujian dalam bentuk kenikmatan. Dalam Surah Al-An’am ayat 44, Allah berfirman: 'Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka. Hingga ketika mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.' Jadi, terkadang kesuksesan yang didapat justru bisa menjadi bentuk istidraj, yaitu kelalaian yang diberikan Allah sebelum azab datang."
Marlon tertawa kecil. "Jadi kalau orang baik hidupnya susah, itu ujian. Kalau orang jahat hidupnya enak, itu juga ujian? Kayaknya hidup isinya ujian semua ya?"
Riri menahan tawa. "Kalau gitu kapan kita dapat liburnya, Romo?"
Romo ikut tertawa. "Ya, kalau di dunia, mungkin enggak ada libur. Tapi kalau kita menjalani hidup dengan kesadaran, mungkin kita bisa menikmati perjalanan ini."
Marlon menggeleng. "Tapi Romo, aku masih merasa ada celah dalam pemikiran ini. Kita selalu bicara soal ganjaran dan hukuman dari Tuhan, tapi bagaimana kalau ada orang yang benar-benar tidak percaya dengan konsep itu? Mereka hanya melihat dunia sebagaimana adanya, bahwa yang kuat akan bertahan, yang pintar bisa menipu, dan yang baik malah sering dimanfaatkan. Bukankah itu juga realita yang kita lihat di dunia?"
Romo termenung sejenak. "Iya, realita memang sering kali terlihat seperti itu. Tapi di sinilah letak perbedaannya. Keimanan membuat kita tetap berpegang pada prinsip meskipun dunia tampak tidak adil. Allah sudah mengingatkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 286: 'Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.' Jadi, meskipun kita melihat kejahatan seperti menang, pada akhirnya keadilan sejati tetap akan ditegakkan, kalau bukan di dunia, maka di akhirat."
Marlon tersenyum. "Tapi kita juga melihat bahwa keserakahan, yang dianggap dosa dalam Seven Deadly Sins, justru yang membuat ekonomi bergerak. Kalau semua orang tidak punya ambisi dan selalu mengedepankan charity, mungkin dunia ini akan stagnan."
Romo menghela napas. "Betul, dalam Islam pun ada keseimbangan. Rasulullah bersabda, 'Bukanlah orang yang terbaik di antara kalian yang meninggalkan dunia untuk akhirat, atau meninggalkan akhirat untuk dunia, tetapi yang mengambil dari keduanya.' Jadi, keserakahan dalam batas tertentu bisa menjadi dorongan. Tapi jika tidak dikendalikan, akan menimbulkan ketidakadilan."
Riri menambahkan, "Sama halnya dengan kebajikan, kalau terlalu ekstrem, orang bisa jadi terlalu pasrah dan dunia justru tidak maju. Makanya, mungkin yang kita cari bukan hitam-putih, tapi keseimbangan."
Romo tersenyum. "Kalian mulai memahami konsep ini dengan lebih luas. Baiklah, aku ikut penelitian kalian. Tapi alasannya bukan karena aku setuju sama Marlon, ya. Aku ikut buat menjaga kalian biar enggak tersesat dari nilai-nilai agama."
Marlon tersenyum penuh arti. "Iya, iya... tapi aku juga lihat kamu mulai penasaran, kan?"
Romo menghela napas. "Baiklah, aku akui, sedikit. Tapi jangan harap aku lepas dari keyakinanku."
Marlon mulai beranjak dari tempat mereka berdiskusi " aku mau bertemu dulu dengan pa sunardi, nanti kita ngobrol lagi, masih banyak yang harus kita bahas romo" ucap Marlon sambil beranjak meninggalkan Riri dan Romo.
[Suasana: Ruang dosen di kampus, sore hari. Beberapa mahasiswa masih berlalu-lalang di luar, beberapa berdiskusi, beberapa tertawa. Ada bunyi kipas angin yang berdecit pelan, dan tumpukan buku serta kertas memenuhi meja dosen pembimbing. Dosen, Pak Sunardi, seorang pria berusia 50-an dengan kacamata setengah bingkai, sedang menyesap kopi dari cangkirnya. Marlon duduk di seberangnya, meletakkan laptop dan buku catatan di meja.]
Pak Sunardi: Jadi, Marlon, kau mau meneliti apa tadi? Seven Deadly Sins dan Seven Heavenly Virtues dalam kehidupan nyata?
Marlon: Betul, Pak. Saya ingin melihat bagaimana dosa-dosa dan kebajikan ini bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Maksud saya, selama ini kita selalu diajarkan bahwa dosa itu buruk dan kebajikan itu baik, tapi saya ingin melihatnya dari sisi pragmatis. Apakah dosa selalu merusak? Apakah kebajikan selalu membawa kebaikan?
Pak Sunardi: Hmmm… (mengaduk kopi, berpikir sejenak) Ini topik yang berat, Marlon. Bukan hanya karena konsepnya luas, tapi juga karena ini… bagaimana ya, sedikit tabu. Banyak orang tidak nyaman membicarakan ini secara jujur. Bahkan, mungkin mereka sendiri tidak sadar kalau hidup mereka sudah dipengaruhi oleh dosa dan kebajikan dalam skala yang kompleks.
Marlon: Itu sebabnya saya ingin turun langsung ke lapangan, Pak. Saya ingin melihat bagaimana orang-orang hidup dengan nilai-nilai ini—apakah mereka menyadarinya atau tidak. Riri dan saya berencana mengikuti beberapa orang dari latar belakang yang berbeda, melihat bagaimana mereka bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
Pak Sunardi: Heh… (tersenyum kecil, meletakkan sendok di piring kecil cangkirnya) Kau ini suka bikin repot diri sendiri, ya? Sejujurnya, penelitian ini akan sulit. Manusia tidak selalu jujur, Marlon. Kadang mereka bilang mereka pemurah, padahal serakah. Kadang mereka tampak sabar, padahal menyimpan kemarahan. Memisahkan realita dan persepsi adalah tantangan terbesar.
Marlon: Saya sadar itu, Pak. Tapi justru itu menariknya. Saya ingin melihat kejujuran dalam ketidaksempurnaan. Saya ingin melihat apakah dosa-dosa ini benar-benar seburuk yang diajarkan, dan apakah kebajikan selalu bisa diterapkan dalam segala situasi.
Pak Sunardi: (menghela napas, tersenyum) Kau mengingatkanku pada diriku dulu saat masih mahasiswa. Penuh rasa ingin tahu, ingin menggali sesuatu yang lebih dalam dari sekadar teori di buku. Baiklah, aku tidak akan menghalangimu. Tapi satu hal—
Marlon: Apa itu, Pak?
Pak Sunardi: Jika kau merasa tersesat atau kebingungan di tengah jalan, hubungi saya. Kadang, ketika kita menatap terlalu dalam ke dalam kegelapan, kita bisa lupa di mana cahaya berada.
Marlon: (tersenyum) Saya akan ingat itu, Pak. Terima kasih.
setelah bertemu pa sunardi Marlon kembali mengajak Romo dan Riri berdiskusi di cafe dekat kampus untuk membahas tentang pandangan mereka tentang topik, dan juga rencana penelitian mereka.
Di sebuah kafe kecil dekat kampus, tiga cangkir kopi sudah setengah habis di atas meja. Romo menyandarkan punggungnya di kursi, sementara Marlon dan Riri sibuk mencatat sesuatu di buku mereka.
"Jadi," kata Romo, "aku masih kurang paham, kenapa kalian terus-terusan bicara soal Seven Deadly Sins dan Seven Heavenly Virtues? Itu bukan konsep dari Islam, kan?"
Marlon mengangguk. "Iya, konsep ini memang lebih banyak dikenal dari ajaran Kristen. Tapi kalau dipikir-pikir, esensinya mirip dengan nilai-nilai dalam Islam, atau bahkan dalam agama lain."
Riri menimpali, "Betul. Makanya kita ingin tahu, bagaimana perbedaannya dengan nilai-nilai yang kamu pelajari sejak kecil. Misalnya, dalam Seven Deadly Sins ada kesombongan, kerakusan, kemalasan, dan lainnya. Bukankah dalam Islam juga ada larangan tentang sifat-sifat itu?"
Romo mengerutkan kening, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Ya, dalam Islam ada konsep dosa besar dan dosa kecil, juga sifat-sifat yang harus dihindari. Tapi pendekatannya beda. Misalnya, kesombongan itu dilarang karena menyombongkan diri berarti melampaui batas yang seharusnya hanya milik Tuhan."
Marlon tersenyum. "Nah, di Seven Deadly Sins juga begitu. Kesombongan dianggap dosa karena menganggap diri lebih tinggi dari yang lain, yang bisa berujung pada kejatuhan. Contohnya Lucifer."
Romo tertawa kecil. "Jadi ini semua balik ke Lucifer ya?"
Riri ikut tertawa. "Lucifer itu contoh paling ekstrem. Tapi kalau di Islam, ada Iblis yang juga sombong karena menolak bersujud kepada Adam. Mirip, kan?"
Romo mengangguk pelan. "Iya, kalau dari sisi itu, ada kemiripan. Tapi perbedaannya, dalam Islam tidak ada daftar ‘tujuh dosa utama’ seperti itu. Semua dosa tergantung pada niat dan dampaknya. Misalnya, marah. Dalam Seven Deadly Sins, kemarahan itu dosa. Tapi dalam Islam, marah bisa jadi baik kalau ditempatkan pada tempatnya, seperti marah karena kezaliman."
Marlon menimpali, "Berarti lebih fleksibel ya? Di Seven Deadly Sins, marah dianggap negatif secara mutlak."
Romo mengangkat bahu. "Kurang lebih begitu. Sama kayak malas. Malas itu bisa buruk kalau bikin kita lalai. Tapi kalau malas karena butuh istirahat biar nggak burnout? Ya nggak masalah."
Riri tersenyum sambil mencatat. "Menarik juga. Jadi, menurutmu, Seven Deadly Sins itu terlalu kaku?"
Romo mengaduk kopinya sambil berpikir. "Bukan kaku, tapi lebih ke... daftar yang sifatnya hitam-putih. Sementara dalam Islam, dosa itu lebih banyak tergantung pada kondisi dan niat."
Marlon menaruh pensilnya dan bersandar di kursi. "Kalau begitu, apakah Seven Deadly Sins bisa tetap relevan untuk dipelajari?"
Romo mengangguk. "Bisa. Tapi kita harus pahami bahwa konsepnya berasal dari tradisi yang berbeda. Kalau kita pelajari dengan sudut pandang yang lebih luas, justru bisa membantu kita melihat bagaimana manusia di berbagai budaya memahami moralitas."
Riri tersenyum puas. "Itu yang kami cari! Perspektif yang lebih luas."
Marlon tertawa kecil. "Jadi, kita sepakat kalau Seven Deadly Sins itu menarik, tapi nggak bisa diterapkan mentah-mentah dalam Islam?"
Romo mengangkat cangkir kopinya. "Setuju. Tapi jangan suruh aku hapal daftar tujuh dosa itu, ya. Aku masih kesulitan membedakan antara kerakusan sama keserakahan."
Riri dan Marlon tertawa. "Tenang, Romo, kita kasih catatan ringkas nanti!"
Mereka bertiga duduk di sudut kafe, ditemani aroma kopi yang menguar di udara. Riri sibuk mengaduk cappuccinonya, sementara Romo menyesap kopinya pelan. Marlon, dengan penuh semangat, menatap keduanya sebelum mulai berbicara.
Marlon: "Kalian pernah kepikiran nggak kalau dosa-dosa itu kayak pohon?"
Riri: (mengangkat alis) "Maksudnya gimana?"
Marlon: "Jadi begini. Aku lagi kepikiran konsep dosa asal dan dosa turunan. Misalnya, dalam agama ada yang namanya dosa besar dan dosa kecil, kan? Nah, kalau kita tarik ke belakang, bisa jadi Seven Deadly Sins itu adalah dosa awal, dan dosa besar itu dosa turunan dari sifat-sifat dasar manusia."
Romo: (menyandarkan badan) "Tunggu, tunggu. Dosa asal itu lebih ke konsep teologi yang berkaitan dengan keadaan manusia setelah kejatuhan pertama. Tapi kamu malah nyambungin ke Seven Deadly Sins? Apa korelasinya?"
Marlon: "Gini, Rom. Misalnya syirik, salah satu dosa terbesar dalam agama kita. Menurutku, itu nggak berdiri sendiri. Ada penyebab yang lebih dalam. Bisa jadi orang syirik karena iri, atau karena keserakahan, atau bahkan karena amarah."
Riri: (menarik napas) "Jadi maksudmu, orang yang iri melihat kekayaan orang lain bisa jadi tergoda buat cari jalan pintas, misalnya dengan cara-cara yang bertentangan dengan agama?"
Marlon: "Exactly! Lihat aja fenomena orang-orang yang sampai pakai dukun buat kaya. Itu kan karena dorongan greed atau envy. Mereka ingin sesuatu yang nggak bisa mereka dapatkan dengan cara biasa, jadi mereka mencari jalan lain. Syiriknya muncul belakangan, karena di awal mereka terjebak dulu di dosa awal."
Romo: (mengernyit) "Tapi itu tetap syirik, kan? Apapun alasannya, kalau sudah sampai melibatkan kekuatan selain Tuhan, itu udah jelas salah. Jadi kenapa harus dirunut sampai ke envy atau greed?"
Marlon: "Karena kalau kita tahu akar masalahnya, kita bisa mencegahnya. Kita nggak bisa sekadar bilang ‘jangan syirik’ tanpa memahami kenapa seseorang bisa sampai ke titik itu. Kalau kita tahu bahwa akar masalahnya adalah envy atau greed, kita bisa fokus mendidik orang sejak dini buat mengelola rasa iri dan serakahnya."
Riri: (mengangguk pelan) "Jadi kamu kayak mau bikin hierarki dosa? Seven Deadly Sins itu dasarnya, dan dosa-dosa besar adalah turunannya?"
Marlon: "Kurang lebih begitu. Misalnya pembunuhan, itu bisa terjadi karena wrath. Korupsi, karena greed. Perzinahan, karena lust. Jadi semua dosa besar itu punya ‘nenek moyang’ dalam bentuk salah satu Seven Deadly Sins."
Romo: (tertawa kecil) "Teorimu menarik, tapi agak berbahaya kalau ditarik terlalu jauh. Kalau gitu, apakah semua orang yang pernah iri otomatis bakal jatuh ke syirik?"
Marlon: "Nggak juga. Sama kayak api, dia bisa menghangatkan tapi juga bisa membakar. Kita semua pasti punya rasa iri atau amarah, tapi kalau kita sadar dan bisa mengelolanya, kita nggak akan jatuh ke dosa yang lebih besar. Masalahnya, banyak orang nggak sadar kalau mereka sedang masuk ke jalur itu."
RiriI: (menghela napas) "Kalau gitu, gimana dengan dosa kecil? Apa mereka juga turunan dari Seven Deadly Sins?"
Marlon: "Nah, ini bagian menariknya! Dosa kecil itu bisa dibilang bibitnya. Kalau dibiarkan, dia bisa tumbuh jadi dosa besar. Misalnya, bohong kecil-kecilan bisa jadi kebiasaan, lalu akhirnya berkembang jadi manipulasi besar dan bahkan pengkhianatan. Awalnya cuma satu kebohongan, tapi kalau nggak dikontrol, akhirnya masuk ke sin of greed atau sin of pride."
Romo: (mengetuk meja) "Tapi ada satu pertanyaan penting, Mar. Kalau menurutmu semua dosa besar itu turunan dari Seven Deadly Sins, apa itu berarti manusia nggak bisa lepas dari dosa? Karena sifat dasar itu kan sudah ada sejak lahir."
Marlon: "Justru karena itu kita harus memahami dan mengendalikannya, bukan menolaknya mentah-mentah. Kita nggak bisa pura-pura nggak pernah marah, nggak pernah iri, nggak pernah serakah. Yang bisa kita lakukan adalah mengelolanya dengan sadar. Kalau kita tahu kita iri, kita bisa mengubahnya jadi motivasi, bukan destruksi. Kalau kita tahu kita marah, kita bisa menyalurkannya ke hal yang produktif. Seven Deadly Sins bukan sekadar dosa, tapi potensi manusia yang kalau salah arah bisa jadi destruktif."
Riri: (tersenyum kecil) "Jadi menurutmu, alih-alih mengutuk dosa, kita harus lebih banyak memahami kenapa dosa itu terjadi?"
Marlon: "Bingo! Kita nggak bisa menghapus api dari dunia, tapi kita bisa belajar bagaimana menggunakannya dengan benar."
Romo: (menghela napas) "Kamu memang selalu punya cara unik buat memandang sesuatu, Mar. Tapi tetap saja, dalam agama, dosa adalah dosa. Ada aturan yang jelas soal mana yang salah dan benar. Kita nggak bisa terlalu akademis dalam melihatnya. Kadang iman itu cukup sebagai pegangan."
Marlon: (tertawa) "Dan di situlah kita sering bertabrakan, Rom. Aku butuh memahami sebelum menerima, sementara kamu menerima karena sudah paham."
Riri: (mengangkat gelas kopinya) "Seperti biasa, perdebatan kalian nggak pernah ada ujungnya. Tapi aku suka cara kalian berpikir."
Mereka bertiga tertawa. Diskusi mereka memang belum selesai, tapi setidaknya, mereka pulang dengan pertanyaan-pertanyaan baru untuk direnungkan.
Riri: "Romo, aku menemukan sesuatu yang menarik dari hasil bacaanku kemarin. Ini bisa mengguncang keyakinanmu sedikit, tapi ya, coba dicerna dulu."
Romo: (menaruh kopinya, mengangkat alis) "Waduh, berat ini… Aku sudah kuat iman belum, nih?"
Marlon: (nyengir) "Harusnya sih kuat. Tapi kalau nggak, bisa kita timbang di warung sebelah. Mereka ada timbangan digital."
Romo: (menyipitkan mata) "Kalian berdua ini makin hari makin ngaco ya?"
Riri: (tertawa kecil, lalu serius lagi) "Jadi begini. Selama ini kita selalu diajarkan bahwa mempertanyakan agama itu dilarang, kan? Tapi ternyata dalam Al-Qur’an, justru kita diwajibkan mempertanyakan sesuatu yang berhubungan dengan akidah. Misalnya di Surah Al-Anbiya’ ayat 7:
'Maka tanyakanlah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.'
Romo: (menyandarkan punggungnya, berpikir) "Hmm… itu kan lebih ke arah bertanya kepada ulama, bukan mempertanyakan dasar agama?"
Riri: "Betul, tapi ayat ini jadi dasar bahwa Islam tidak menutup pintu pencarian ilmu, terutama dalam masalah akidah. Nah, yang nggak boleh dipertanyakan itu justru syariat, karena syariat itu kan hukum Allah yang sudah baku. Kayak sholat lima waktu, zakat, puasa, itu udah fix. Tapi kalau akidah, orang malah disuruh berpikir. Misalnya dalam Surah Al-Baqarah ayat 2-3:
'Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa, yang beriman kepada yang gaib…'
Artinya kan, keyakinan itu muncul setelah ada proses berpikir. Kita percaya sesuatu bukan karena diwariskan, tapi karena sudah kita cari kebenarannya.”
Marlon: (mengangguk) "Ibaratnya kayak beli HP. Kita nggak bisa cuma percaya kata penjualnya aja, kita harus baca review, bandingin spek, tanya teman yang ngerti, baru yakin beli."
Romo: (menghela napas) "Ya… masuk akal sih. Jadi maksudmu, mempertanyakan eksistensi Tuhan itu bagian dari pencarian akidah?"
Riri: "Tepat! Bahkan dalam kisah Nabi Ibrahim di Surah Al-An’am ayat 75-79, beliau kan mencari Tuhan dengan mempertanyakan bintang, bulan, matahari, sampai akhirnya menemukan keyakinan pada Allah. Itu bukti bahwa pencarian itu diperbolehkan."
Romo: (mengangguk pelan, lalu tertawa kecil) "Astaga… aku udah kuliah filsafat, sekarang kalian mau bikin aku belajar filsafat lagi dari awal?"
Marlon: (tertawa) "Sabar, Romo. Nah, kalau begitu, giliranmu kasih perspektif. Menurutmu, kenapa dunia ini bisa berkembang?"
Romo: (mendadak serius, lalu menyesap kopinya dengan gaya sok filosofis) "yah dari pembahasan kita tadi, Menurutku… dunia ini bergerak karena manusia serakah."
Riri: (terkejut) "Lho? Bukannya keserakahan itu dosa?"
Romo: (mengangkat bahu) "Ya, dosa. Tapi kalau nggak ada orang serakah, nggak ada perkembangan. Siapa yang menciptakan teknologi? Orang-orang yang ingin lebih kaya. Siapa yang bikin internet lebih cepat? Perusahaan yang ingin lebih banyak pelanggan. Siapa yang bikin robot? Orang yang malas kerja, alias terkena dosa sloth. Jadi kalau dipikir-pikir, teknologi berkembang untuk memuaskan dosa manusia."
Marlon: (tertawa) "Wah, kalau begitu, kalau kita mau kemajuan lebih cepat, kita harus lebih banyak berdosa dong?"
Riri: (menepuk dahinya) "Marlon! Itu kesimpulan yang ngawur!"
Romo: (tertawa) "Tapi serius, coba lihat. Orang bikin pesawat karena nggak mau perjalanan jauh naik kuda berhari-hari. Orang bikin mobil karena malas jalan kaki. Kita sekarang bisa pesan makanan pakai aplikasi karena nggak mau keluar rumah. Ini semua inovasi yang dasarnya adalah keinginan manusia untuk lebih nyaman, lebih cepat, dan lebih untung. Makanya, aku bilang dunia ini bergerak karena orang-orang 'greed' dan 'sloth'."
Riri: (menghela napas, berpikir) "Jadi kalau menurutmu, dosa-dosa ini juga ada manfaatnya?"
Romo: (mengangguk) "Iya, tapi bukan berarti kita harus terjerumus. Sama kayak api. Api bisa buat masak, tapi kalau nggak dikontrol, bisa membakar rumah. Dosa itu ada untuk mendorong manusia berkembang, tapi harus diimbangi dengan kebajikan. Makanya konsep keseimbangan itu penting."
Marlon: (tersenyum jahil) "Jadi kalau aku malas, aku harus bilang ke orang tua: 'Tenang, Bu, ini bagian dari perkembangan peradaban!'?"
Riri: (menatap Marlon tajam) "Silakan coba, nanti hasilnya kita buat studi kasus tentang hukuman anak yang kebanyakan filsafat."
Romo: (tertawa terbahak-bahak) "Aku yakin, kalau itu terjadi, ibu kamu bakal membantah filsafat dengan sandal terbang!"
[Adegan berakhir dengan mereka bertiga tertawa, sambil tetap merenungkan pembicaraan yang baru saja terjadi.]
Marlon: "Jujur, Rom, aku agak kecewa sih." 😏
Romo: "Kecewa? Kenapa? Aku gak bawa cemilan?" 🤨
Marlon: "Bukan. Aku pikir kita bakal berdebat kayak di TV. Si ahli agama vs si ahli filsafat, saling serang argumen tanpa ujung, sampai kita lupa mau makan." 🤷♂️
Romo: "Wah, sori ya kalau aku gak sesuai ekspektasi. Harusnya tadi aku bawa kitab biar bisa kutip-kutip ayat sambil nunjuk-nunjuk jari ke kamu gitu?" 😆
Riri: "Iya, terus Marlon sambil ngebantah pakai teori filsafat yang rumit, biar kita semua makin pusing." 😅
Marlon: "Nah, itu dia! Aku udah siap mental buat didebat mati-matian. Eh, ternyata kamu malah cukup open-minded. Kayak, bukannya langsung nolak, kamu malah dengerin dulu teori kita."
Romo: "Ya, kan aku belajar dari pengalaman, Mar. Dulu waktu masih ‘fanatik’ banget, aku ngerasa semua jawaban udah ada di satu tempat aja. Tapi semakin belajar, semakin sadar kalau dunia ini luas dan nggak segampang hitam-putih."
Marlon: "Wah, pencerahan! Jadi, kalau aku bilang dosa-dosa itu kadang diperlukan, kamu gak langsung nimpuk aku pakai buku, kan?"
Romo: "Timpuk sih enggak... Tapi kalau aku punya sandal jepit, mungkin aku lempar dikit biar kamu sadar diri." 😏
Riri: "Hadeeeh, akhirnya tetap ada kekerasan juga." 🤦♀️
Romo: "Santai, itu bukan kekerasan, itu ‘motivasi spiritual’." ✨
Marlon: "Kalau gitu, harusnya aku juga boleh balas debat dengan ‘motivasi filsafat’, misalnya kasih kamu pertanyaan yang bikin gak bisa tidur seminggu?"
Romo: "Terserah, yang penting kalau aku susah tidur, kamu traktir kopi." ☕
Riri: "Kesimpulan diskusi kita hari ini: kebenaran itu relatif, dan kopi itu wajib." 😌☕
Marlon & Romo: "Setuju!" 😆☕
Marlon, Riri, dan Romo duduk sambil menyeruput kopi mereka. Marlon mulai membuka topik yang agak sensitif.
Marlon: "Rom, kemarin aku liat video dosen filsafat ngomong kalau kitab suci itu fiksi. Reaksinya rame banget, orang-orang langsung marah-marah."
Romo: (mengernyit) "Ya jelas rame, Mar. Kitab suci itu wahyu, bukan fiksi. Mana bisa disamain?"
Riri: "Bentar, Rom. Dengerin dulu lengkapnya."
Marlon: "Jadi, ini aku coba pakai silogisme biar lebih jelas. Nih, dengerin baik-baik. Premis pertama: fiksi itu sesuatu yang bisa membangkitkan imajinasi."
Romo: (mengangguk skeptis) "Oke..."
Marlon: "Premis kedua: kitab suci bisa membangkitkan imajinasi, karena dari isinya orang bisa membayangkan surga, neraka, kisah nabi, atau hal-hal yang di luar pengalaman langsung kita."
Romo: (mulai berpikir) "Hmmm... Terus?"
Marlon: "Kesimpulannya: kalau sesuatu yang membangkitkan imajinasi disebut fiksi, maka kitab suci termasuk fiksi."
Romo: (mengerutkan dahi) "Jadi maksudnya dia bukan bilang kitab suci itu bohong atau dongeng, tapi lebih ke sifatnya yang bisa membangkitkan imajinasi?"
Marlon: "Nah! Itu dia! Orang keburu marah sebelum nangkep maksudnya. Kan fiksi juga bukan berarti bohong, Rom. Banyak hal fiksi yang punya makna dalam, kayak novel filosofi, atau bahkan kisah-kisah perumpamaan dalam kitab suci sendiri."
Romo: (menghela napas dan tersenyum kecil) "Ya, kalau dijelasin kayak gitu sih, masuk akal. Tapi tetep, cara dia ngomong di publik kurang bijak. Orang-orang gampang salah paham."
Riri: "Iya, sih. Kalau bilang langsung ‘kitab suci adalah fiksi’ tanpa konteks, ya wajar orang emosi. Kayak bilang ‘kopi itu pahit’, padahal tergantung lidah yang ngerasain."
Marlon: "Persis! Makanya, tugas kita itu bukan cuma memahami sesuatu, tapi juga cara menyampaikannya. Kalau salah cara, ya isinya nggak akan sampai."
Romo: (mengangguk, sambil menyeruput kopinya) "Oke, oke, aku paham sekarang. Tapi tetep, kalau ada yang ngomong kayak gitu di depan umum, aku bakal kasih dia tugas buat jelasin dengan lebih hati-hati."
Marlon: (tertawa) "Siap, Ustaz Romo! Besok-besok kalau aku debat lagi, aku panggil kamu jadi juri aja!"
Romo: (tertawa juga) "Setuju, tapi syaratnya, traktiran kopinya harus dari kamu!"
Riri: "Akhirnya, yang menang tetap kedai kopi." ☕
Setelah perdebatan tentang kitab suci dan fiksi, Riri masih memikirkan sesuatu. Dia menyandarkan punggung dan menatap Marlon serta Romo dengan tatapan serius.
Riri: "Sebenarnya, yang jadi masalah itu apa, sih? Apakah orang Indonesia terlalu bodoh sampai nggak bisa ngerti silogisme sederhana? Atau ada pihak-pihak tertentu yang sengaja motong penjelasan si dosen filsafat biar dia kelihatan jelek?"
Romo: (mengerutkan dahi) "Eh, hati-hati kalau ngomong, Ri. Gak bisa kita langsung bilang masyarakat bodoh. Itu kesimpulan yang gegabah."
Marlon: (mengangguk setuju) "Betul. Tapi aku juga nggak bisa langsung bilang masyarakat kita cerdas dalam memahami konsep logika. Faktanya, masih banyak yang sulit bedain antara opini, fakta, dan interpretasi."
Riri: "Nah, itu dia! Berarti kan bisa aja ada dua faktor nih. Pertama, sebagian masyarakat memang kurang terbiasa dengan cara berpikir logis dan kritis. Kedua, ada kemungkinan pihak yang memang sengaja menggoreng isu ini supaya orang-orang marah."
Romo: (berpikir sejenak) "Hmm… Kalau soal silogisme, ya jujur aja, gak semua orang paham. Apalagi kalau penyampaiannya cuma lewat satu-dua kalimat tanpa konteks. Itu kayak ngasih separuh puzzle terus nyuruh orang nebak gambar lengkapnya."
Marlon: "Setuju. Kalau aku bilang, ‘Api bisa membakar, manusia bisa membakar sate, maka manusia adalah api’, kan jelas aneh. Tapi kalau orang cuma denger separuhnya, bisa aja mereka mikir aku benar-benar gila."
Riri: (tertawa kecil) "Iya, iya. Tapi kalau ada yang sengaja potong-potong pernyataan biar terdengar buruk, itu lebih parah lagi, kan?"
Romo: (menghela napas) "Nah, ini yang bahaya. Kadang yang diserang bukan idenya, tapi orangnya. Bisa aja ada pihak yang memang gak suka sama si dosen filsafat itu, jadi mereka ambil sepotong omongan, edit dikit, sebarin, lalu tinggal nonton orang marah-marah."
Marlon: (menepuk meja pelan) "Ini sering terjadi. Bukan cuma di kasus ini, tapi di banyak topik lain juga. Orang-orang gak punya waktu atau gak mau repot buat cari konteks lengkapnya. Akhirnya? Yang bersuara malah orang-orang yang cuma denger setengah cerita."
Riri: "Jadi, solusinya gimana?"
Romo: (tersenyum kecil) "Simpel, tapi sulit: edukasi. Orang harus dibiasakan buat berpikir kritis. Harus diajarin bedain mana opini, mana fakta, dan mana kesimpulan logis yang benar."
Marlon: "Dan satu lagi, orang juga harus terbiasa buat cari informasi dari sumber aslinya, bukan cuma dari potongan video viral atau caption clickbait."
Riri: (menghela napas panjang) "Wah, kalau gitu, tugas kita berat banget ya?"
Romo: (tertawa) "Makanya, mari kita mulai dari diri sendiri dulu. Minimal, kalau besok ada yang debat soal ini, kita bisa jelasin dengan benar, bukan malah ikutan kebakaran jenggot."
Marlon: "Setuju! Dan kalau ada yang tetap gak mau ngerti, kita traktir kopi aja. Biar kepalanya dingin dulu."
Riri: "Lagi-lagi ujungnya kopi. Kayaknya kita harus riset, apakah kopi itu solusi dari segala perdebatan?"
Romo: "Bukan solusi dari segala perdebatan… tapi jelas bikin debat lebih asik jangan lupa juga, kopi juga minuman para kekasih alloh, seperti sufi!"
Marlon: "Benar! Kopi memang memiliki sejarah panjang dalam dunia Islam, terutama di kalangan para sufi. Konon, para sufi di Yaman menggunakan kopi untuk membantu mereka tetap terjaga saat beribadah dan berdzikir di malam hari. Minuman ini menjadi bagian dari ritual spiritual mereka, karena diyakini bisa meningkatkan fokus dan kesadaran.
Bahkan, ada cerita bahwa kopi pertama kali diperkenalkan oleh seorang sufi bernama Syekh Abu al-Hasan al-Shadhili atau muridnya, yang melihat burung-burung tetap aktif setelah memakan biji kopi. Dari sana, kopi mulai populer di dunia Islam dan akhirnya menyebar ke seluruh dunia"
Jadi, kalau kita ngopi sambil diskusi filsafat dan agama, bisa dibilang kita melanjutkan tradisi para sufi juga, ya? 😆☕
Riri : "kali ini omonganmu benar marlon. hahahaha "
Marlon, Riri, dan Romo duduk mengelilingi meja dengan kopi di hadapan mereka. Marlon menyeruput kopinya dengan santai, lalu tiba-tiba melempar sebuah pertanyaan yang langsung mengubah suasana.
Marlon: (menatap Riri dan Romo dengan serius) "Eh, kalian sadar gak sih, kalau bangsa kita ini sebenarnya sengaja dibodohkan sejak zaman Belanda?"
Riri: (mengangkat alis) "Sengaja dibodohkan? Maksudnya gimana, Mar?"
Romo: (menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil) "Aku paham arah omonganmu. Ini soal sistem kolonial, kan?"
Marlon: "Tepat! Jadi begini, selama ratusan tahun penjajahan, Belanda sengaja menciptakan sistem pendidikan yang bikin rakyat kita gak bisa berpikir kritis. Mereka cuma ngajarin hal-hal yang berguna buat kepentingan mereka, bukan buat kemajuan bangsa kita sendiri."
Riri: "Oh, kayak sistem pendidikan yang cuma melahirkan pekerja dan pegawai rendahan, bukan pemikir atau pemimpin?"
Marlon: "Iya! Coba deh perhatikan, kita diajarkan buat taat, nurut, gak boleh banyak nanya, gak boleh banyak kritik. Itu kan mental yang ditanamkan sejak zaman kolonial supaya kita gampang dikendalikan?"
Romo: (mengangguk sambil menyeruput kopinya) "Betul. Bahkan, bukan cuma dalam pendidikan, tapi juga dalam budaya dan agama. Banyak nilai yang diwariskan dari zaman penjajahan yang sebenarnya bertujuan supaya rakyat tetap tunduk dan gak bisa berpikir bebas."
Riri: (menyandarkan tubuhnya di kursi) "Wah, berarti ini gak cuma masalah pendidikan ya? Sampai ke cara kita memahami budaya dan agama juga?"
Romo: (tersenyum tipis) "Iya. Misalnya, kamu tahu gak kalau gelar Haji yang sekarang dianggap sebagai tanda kehormatan di masyarakat kita, itu sebenarnya juga ada campur tangan Belanda?"
Marlon: (terlihat tertarik) "Serius, Rom? Gimana ceritanya?"
Romo: "Jadi begini, dulu kan banyak orang Nusantara yang pergi naik haji ke Mekah. Nah, Belanda mulai khawatir, karena banyak di antara mereka yang pulang ke Indonesia dengan pemikiran yang lebih kritis dan revolusioner. Bahkan, ada yang pulang dengan semangat perlawanan karena mereka bertemu dengan gerakan Pan-Islamisme di Timur Tengah."
Riri: "Wah, baru tau aku! Terus Belanda ngapain?"
Romo: "Belanda bikin sistem. Mereka mulai mendata siapa saja yang naik haji, dan mereka memberikan gelar Haji bukan sebagai bentuk penghormatan, tapi lebih ke cara mengawasi orang-orang yang dianggap berpotensi berbahaya. Bahkan, dulu ada kebijakan buat mengawasi para haji yang baru pulang karena mereka takut membawa ide-ide perlawanan."
Marlon: (menepuk meja pelan) "Gila! Jadi gelar Haji itu awalnya bukan sekadar penghormatan spiritual, tapi juga bagian dari sistem kontrol?"
Romo: "Betul! Makanya, kita harus hati-hati dalam memahami sejarah. Banyak hal yang kita anggap tradisi ternyata dulu punya maksud tertentu yang akhirnya berubah makna seiring waktu."
Riri: "Terus gimana dong? Kalau sejak dulu kita sengaja dibentuk buat gak kritis, gimana cara kita keluar dari pola pikir ini?"
Marlon: "Ya, salah satunya diskusi kayak gini. Kita harus mulai mempertanyakan ulang segala sesuatu, cari sumber yang lebih luas, dan jangan gampang percaya dengan nilai-nilai yang diwariskan tanpa kita pahami asal-usulnya."
Romo: "Dan satu hal lagi… Kita harus punya keberanian buat berpikir sendiri. Karena sejak dulu, kita selalu disuruh percaya tanpa boleh bertanya. Padahal, keimanan dan pengetahuan yang kuat justru lahir dari pencarian yang mendalam."
Riri: (mengangguk pelan) "Gila, ya. Dari satu topik doang, diskusi kita jadi panjang dan luas. Dari pendidikan kolonial, budaya, sampai agama."
Marlon: (tertawa kecil) "Itulah pentingnya ngopi. Banyak orang mikir kopi cuma buat begadang, padahal kopi itu buat mencerahkan pikiran!"
Romo: "Hahaha, kalau gitu kita lanjut aja, biar makin tercerahkan!"
Marlon: (menyeruput kopinya dan menatap teman-temannya dengan serius) "Kalian pernah dengar tentang bagaimana sistem pendidikan kita saat ini sebenarnya dibentuk oleh kepentingan tertentu sejak awal abad ke-20?"
Riri: (mengernyitkan dahi) "Maksudmu bagaimana, Marlon?"
Romo: (menyilangkan tangan di dada) "Apakah ini ada hubungannya dengan Rockefeller Foundation?"
Marlon: "Tepat sekali, Romo. Jadi begini, pada awal 1900-an, John D. Rockefeller mendirikan General Education Board (GEB) pada tahun 1903 dengan tujuan resmi untuk memajukan pendidikan di Amerika Serikat tanpa memandang ras, jenis kelamin, atau keyakinan. Namun, ada pandangan bahwa inisiatif ini lebih menekankan pada pembentukan tenaga kerja yang patuh daripada individu yang berpikir kritis."
Riri: (terkejut) "Jadi, maksudmu, mereka lebih fokus menciptakan pekerja daripada pemikir?"
Marlon: "Benar, Riri. Meskipun tidak ada bukti konkret bahwa Rockefeller pernah mengucapkan slogan seperti 'We need a nation of workers, not thinkers', kebijakan dan pendekatan yang diambil oleh GEB menunjukkan kecenderungan untuk membentuk sistem pendidikan yang menghasilkan tenaga kerja terampil yang sesuai dengan kebutuhan industri pada saat itu. Bahkan, penasihat Rockefeller, Frederick Taylor Gates, dalam bukunya 'The Country School of To-Morrow' (1916), menulis:
'Kami tidak akan mencoba membuat orang-orang ini atau anak-anak mereka menjadi filsuf atau orang-orang terpelajar, atau ilmuwan. Kami tidak perlu membesarkan dari antara mereka penulis, editor, penyair, atau sastrawan. Kami tidak akan mencari seniman besar, pelukis, musisi, atau pengacara, dokter, pendeta, politisi, negarawan, yang sudah kami miliki dalam jumlah yang cukup… Tugas yang kami tetapkan di hadapan kami sangat sederhana sekaligus sangat indah, yaitu melatih orang-orang ini sebagaimana adanya mereka untuk menjalani kehidupan yang sempurna di tempat mereka berada… Jadi, kami akan mengorganisir anak-anak kami menjadi komunitas kecil dan mengajarkan mereka untuk melakukan dengan sempurna hal-hal yang dilakukan oleh ayah dan ibu mereka dengan cara yang tidak sempurna, di rumah, di toko, dan di pertanian.'"
Romo: (mengangguk pelan) "Menarik. Jadi, bagaimana pengaruhnya menyebar ke seluruh dunia?"
Marlon: "Nah, setelah Perang Dunia II, Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan dominan di dunia. Melalui berbagai program bantuan dan pengaruh budaya, sistem pendidikan yang dikembangkan di AS mulai diadopsi oleh banyak negara lain. Ini termasuk penekanan pada standar pendidikan yang seragam dan kurikulum yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri dan ekonomi."
Riri: (merenung) "Jadi, sistem pendidikan yang kita kenal sekarang ini sebenarnya hasil dari upaya untuk memenuhi kebutuhan industri, bukan murni untuk pengembangan individu?"
Marlon: "Tepat sekali. Dan jika kita perhatikan, banyak inovator dan pemikir besar seperti Steve Jobs atau Elon Musk justru mencapai kesuksesan mereka dengan berpikir di luar kotak dan, dalam beberapa kasus, meninggalkan sistem pendidikan formal yang kaku."
Romo: (tersenyum tipis) "Menarik. Jadi, bagaimana kita sebaiknya menyikapi hal ini?"
Marlon: "Kita perlu lebih kritis dalam melihat tujuan pendidikan dan mendorong sistem yang tidak hanya menghasilkan pekerja terampil, tetapi juga individu yang mampu berpikir kreatif dan inovatif. Pendidikan harus menjadi alat untuk memberdayakan individu, bukan sekadar memenuhi kebutuhan industri."
Riri: (mengangguk setuju) "Setuju, Marlon. Kita harus mulai mempertanyakan dan mungkin merancang ulang sistem pendidikan kita agar lebih holistik dan memberdayakan."
Romo: (mengangkat cangkir kopinya) "Untuk masa depan pendidikan yang lebih baik."
Marlon dan Riri: (mengangkat cangkir mereka) "Untuk pendidikan yang memberdayakan!"
Marlon: (menyeruput kopinya, lalu menatap teman-temannya dengan serius) "Kalian pernah dengar konsep bahwa jika sebuah kebohongan diulang terus-menerus, lama-lama akan dianggap sebagai kebenaran?"
Riri: (mengangguk pelan) "Ya, aku pernah mendengar itu. Bukankah itu sering dikaitkan dengan propaganda?"
Romo: (menyilangkan tangan di dada) "Benar. Ada kutipan yang sering dikaitkan dengan Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi, yang berbunyi, 'Jika Anda mengulangi kebohongan cukup lama, itu akan menjadi kebenaran.' Meskipun atribusi ini diperdebatkan, konsep dasarnya menunjukkan bagaimana repetisi dapat mempengaruhi persepsi publik."
Riri (mengereyitkan dahinya) " apa ini benar mo?"
Romo: (mengangguk pelan) "Ya, ada teori tentang itu. Misalnya, dalam 'Mein Kampf', Adolf Hitler menulis bahwa dalam kebohongan besar selalu ada kekuatan kredibilitas tertentu karena massa lebih mudah jatuh ke dalam kebohongan besar daripada kebohongan kecil ."
Marlon: "Tepat sekali. Psikologi menyebut fenomena ini sebagai 'ilusi kebenaran'. Menurut artikel di BBC Future, repetisi membuat sebuah pernyataan terasa lebih benar, terlepas dari validitasnya. "
Riri: (merenung sejenak) "Jadi, dalam konteks pendidikan, apakah ini berarti kita menerima sistem yang ada sebagai satu-satunya cara karena terus-menerus diberitahu demikian?"
Marlon: "Betul, Riri. Sejak kecil, kita diajarkan bahwa jalur pendidikan formal adalah kunci sukses. Pesan ini diulang oleh orang tua, guru, dan media, sehingga kita jarang mempertanyakan validitasnya."
Romo: (mengangguk setuju) "Dan ketika seseorang mencoba menantang atau mengkritik sistem ini, banyak yang membelanya karena mereka merasa telah berhasil melalui jalur tersebut."
Marlon: "Tepat. Dan dalam konteks pendidikan, banyak orang membela sistem yang ada karena mereka telah menjalaninya dan merasa berhasil. Ini berkaitan dengan teori disonansi kognitif yang dikemukakan oleh Leon Festinger. Menurutnya, ketika seseorang memiliki dua keyakinan yang bertentangan, mereka akan merasa tidak nyaman dan berusaha mengurangi ketidaknyamanan itu, seringkali dengan membenarkan tindakan atau keyakinan mereka sebelumnya ."
Riri: (merenung) "Jadi, mereka membela sistem pendidikan karena mengakui kekurangannya berarti mengakui bahwa mereka mungkin telah menghabiskan waktu dalam sistem yang cacat?"
Romo: "Benar. Ini adalah mekanisme psikologis di mana individu berusaha menjaga konsistensi antara keyakinan dan tindakan mereka. Mengakui bahwa sistem yang mereka jalani memiliki kekurangan bisa menimbulkan disonansi, sehingga mereka cenderung membenarkan sistem tersebut untuk mengurangi ketidaknyamanan psikologis."
Marlon: "Ini berkaitan dengan konsep 'dissonansi kognitif'. Ketika seseorang telah menginvestasikan banyak waktu dan usaha dalam sesuatu, sulit bagi mereka untuk menerima bahwa mungkin ada cara lain yang lebih efektif atau bahwa sistem tersebut memiliki kekurangan."
Riri: (menghela napas) "Tapi bukan berarti sistem ini sepenuhnya salah atau benar, kan? Hasilnya berbeda-beda bagi setiap individu."
Marlon: "Tepat. Tidak ada jawaban mutlak. Beberapa orang mungkin menemukan kesuksesan melalui sistem ini, sementara yang lain mungkin merasa terhambat olehnya. Yang penting adalah kita menyadari bahwa ada berbagai jalur menuju sukses dan tidak terjebak dalam pemikiran satu dimensi."
Romo: (tersenyum bijak) "Kesadaran akan berbagai perspektif ini penting. Dengan begitu, kita bisa lebih terbuka terhadap perubahan dan inovasi dalam pendidikan. Kesadaran akan proses-proses ini adalah langkah pertama menuju perubahan. Dengan begitu, kita bisa mulai mempertanyakan dan, jika perlu, mereformasi sistem yang ada untuk kebaikan bersama."
Marlon: "Dan dengan memahami bagaimana repetisi dan disonansi kognitif mempengaruhi persepsi kita, kita bisa lebih kritis dalam mengevaluasi informasi yang diterima."
Romo: (mengangkat cangkir kopinya) "Untuk pemikiran kritis dan pendidikan yang lebih baik."
Marlon dan Riri: (mengangkat cangkir mereka juga) "Untuk masa depan yang lebih cerah!"
Riri: "Semoga diskusi seperti ini bisa menjadi awal dari perubahan tersebut."
Marlon dan Romo: "Amin."
Marlon: (menatap teman-temannya dengan penuh semangat) "Jadi, intinya, kita harus mulai mempertanyakan, menggali lebih dalam, dan tidak begitu saja menerima sesuatu hanya karena sudah dianggap ‘benar’ selama ini."
Romo: (mengangguk setuju) "Betul. Yang terpenting bukan hanya mencari jawaban, tapi juga memahami bagaimana pertanyaan itu muncul sejak awal."
Riri: (tersenyum kecil) "Dan itu berarti kita harus turun langsung, melihat sendiri kenyataan di lapangan. Teori bisa membantu, tapi tanpa pengalaman, kita cuma berdebat di menara gading."
Marlon: (menyesap kopi terakhirnya) "Setuju. Kalau gitu, langkah pertama kita adalah meminta izin orang tua dulu. Kalau mereka sudah setuju, baru kita bisa mulai perjalanan ini."
Meminta Izin pada Orang Tua
Riri dan Marlon duduk berhadapan dengan kedua orang tua mereka di ruang keluarga. Ayah mereka menyesap kopi, sementara ibu sibuk melipat baju. Suasana cukup santai, sampai Marlon membuka pembicaraan.
"Jadi begini, Ayah, Ibu... kami mau mengerjakan tugas akhir kami," kata Marlon dengan nada hati-hati.
"Tugas akhir?" Ibu mengangkat alisnya. "Skripsi?"
"Iya, ini untuk skripsi kami," tambah Riri, berusaha terlihat meyakinkan.
Ayah mendudukkan cangkirnya. "Topiknya apa?"
Marlon dan Riri saling berpandangan sebelum Marlon menjawab, "Tentang tujuh dosa dan tujuh kebajikan dalam kehidupan manusia."
Hening.
Ibu berhenti melipat baju. Ayah menarik napas panjang. "Itu... bukan sesuatu yang praktis untuk skripsi, Nak."
"Justru ini penting, Ayah," protes Riri. "Kami ingin melihat bagaimana konsep ini memengaruhi cara orang hidup dan mengambil keputusan. Marlon akan meninjau dari sisi filsafat dan psikologi, sedangkan aku dari sisi ekonomi."
Ayah mengusap dahinya. "Kenapa kalian memilih topik ini? Kenapa tidak yang lebih konkret? Misalnya, dampak teknologi terhadap bisnis atau analisis pasar?"
Marlon tersenyum kecut. "Kalau ekonomi, nanti takutnya seperti Pak Herman, yang sudah kita tahu ceritanya. Kalau teknologi, kita malah jadi kecanduan gadget sendiri. Justru ini yang penting! Kami ingin tahu bagaimana dosa dan kebajikan memengaruhi dunia, termasuk ekonomi dan kehidupan sosial."
Ibu menghela napas. "Nak, kalian harus paham. Orang tidak akan suka berbicara tentang dosa mereka. Kalian mau tanya apa? 'Permisi, Pak, dosa apa yang paling sering Bapak lakukan?' Itu bukan sesuatu yang bisa orang jawab dengan jujur."
"Kami nggak akan langsung seperti itu, Bu," jawab Riri. "Kami mau memahami dari sudut pandang yang lebih luas. Misalnya, bagaimana seseorang yang dianggap rakus justru bisa menjadi penggerak ekonomi, atau bagaimana seseorang yang terlalu rendah hati bisa tertinggal dalam persaingan bisnis."
Ayah menatap Marlon dan Riri lama. "Tapi kenapa kalian tertarik dengan ini? Apa kalian tidak takut kebingungan sendiri? Agama sudah memberi kita pedoman. Mengapa masih mencari-cari?"
Marlon menarik napas dalam. "Justru karena agama memberi pedoman, kami ingin memahami lebih dalam. Bukankah mencari ilmu itu juga bagian dari ibadah? Kami tidak berniat membantah aturan, Ayah. Kami hanya ingin melihat bagaimana aturan itu bekerja dalam kehidupan nyata."
Ibu menatap Marlon dan Riri dengan ekspresi khawatir. "Kalian berdua ini keras kepala sekali..."
"Kami janji akan hati-hati," kata Riri cepat. "Lagi pula, ini penelitian akademis. Kami hanya ingin mencari perspektif baru, bukan membangkang."
Ayah akhirnya bersandar ke kursi, menghela napas panjang. "Baiklah... Tapi dengan syarat, jangan sampai kalian terlalu jauh dan kehilangan arah. Jangan sampai kalian malah mempertanyakan hal-hal yang seharusnya sudah jelas. Dan kalau ada sesuatu yang membuat kalian ragu, kembalilah ke rumah. Mengerti?"
Marlon dan Riri saling berpandangan, lalu tersenyum. "Mengerti, Ayah. Terima kasih."
Marlon dan riri juga bercerita bahwa penelitiannya mungkin akan cukup lama, dan mereka meminta izin untuk hidup dengan para narasumber agar bisa melihat lebih jelas tentang kehidupan mereka.
Marlon dan Riri duduk di meja makan bersama orang tua mereka. Ibunya menuangkan teh sambil menatap mereka dengan curiga.
Ibu: "Jadi, kalian mau keliling kota dan ikut hidup bersama orang asing demi penelitian?"
Ayah: "Ini terdengar seperti awal dari film dokumenter yang berakhir tragis."
Marlon: "Bukan begitu, Yah. Ini bukan sekadar jalan-jalan. Kami ingin melihat bagaimana dunia nyata bekerja."
Riri: "Iya, selama ini kita diajarkan tentang dosa dan kebajikan seakan semuanya jelas hitam dan putih. Tapi kenyataannya lebih kompleks."
Ibu: "Dan kalian pikir menempel dengan sopir taksi atau pedagang kaki lima akan menjawab itu semua?"
Marlon: "Lebih baik begitu daripada hanya membaca teori di buku."
Ayah: Menghela napas panjang "Aku paham keingintahuan kalian, tapi dunia nyata itu keras. Orang-orang bisa berbohong, memanfaatkan kalian, bahkan membahayakan kalian."
Riri: "Makanya kami minta izin dan restu, bukan kabur diam-diam."
Ibu saling pandang dengan Ayah. Ada keheningan sejenak.
Ibu: "Kalian sudah dewasa, dan kalau ini memang bagian dari perjalanan kalian menemukan kebenaran... kami tidak akan menghalangi. Tapi ingat, hati-hati. Dunia ini tidak seideal yang kalian pikirkan."
Ibu masih terlihat tidak sepenuhnya setuju, tapi akhirnya mengangguk. "Ya sudah, tapi hati-hati. Dan jangan terlalu larut dalam teori. Hidup ini lebih dari sekadar mencari jawaban."
Komentar
Posting Komentar