Langsung ke konten utama

Dunia Abu - Abu Chapter 6 - Narasumber Pertama

Kilas Balik: Jurang Keserakahan


Dulu, Herman adalah pemilik toko kelontong yang cukup sukses di sudut kota. Tokonya selalu ramai, keluarganya harmonis, dan pundi-pundi rupiah mengalir deras. Kehidupan yang tampak ideal di mata banyak orang. Tapi, manusia memang sulit merasa cukup. Selalu ada keinginan untuk lebih.


"Pak Herman, ini laporan keuangan bulan ini," Dewi, kepala toko, menyerahkan lembaran-lembaran kertas. "Penjualan kita naik, tapi biaya operasional juga ikut naik."


Herman menerima laporan itu tanpa tergesa-gesa, menelusuri angka-angka yang tercetak rapi di atas kertas. Alisnya sedikit mengernyit. Kenaikan memang ada, tapi tidak sefantastis yang ia harapkan.


"Naik sedikit? Wah, Dewi, kalau kita cuma puas dengan kenaikan kecil, nanti bisa ketinggalan zaman. Ada yang bisa ditekan?"


Dewi menghela napas, sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini. "Pak, gaji karyawan sudah pas-pasan. Kalau dipotong lagi, kasihan mereka."


Herman terkekeh pelan, seolah mendengar lelucon ringan. "Dewi, coba deh, pikir lebih luas. Kita ini bukan sekadar bos dan karyawan. Kita guru kehidupan. Dengan gaji segitu, kita sedang memberikan mereka pelajaran berharga: cara bertahan di dunia yang keras. Belajar berhemat itu bagus, biar mereka lebih menghargai uang."


Dewi menatapnya, mencoba mencari tanda-tanda bercanda di wajah bosnya. Tidak ada. Herman benar-benar percaya dengan omongannya sendiri.


Di rumah, Herman makin perhitungan. Setiap pengeluaran harus ada justifikasinya.


"Yah, Dika mau mobil-mobilan remote control, katanya buat hadiah ulang tahun," kata Santi, istrinya, dengan nada hati-hati.


Herman menatap istrinya dengan ekspresi bijak yang dibuat-buat. "Mobil-mobilan? Hmm... Gimana kalau kita kasih dia pengalaman berharga? Nanti ajak dia main di toko, biar tahu cara cari uang sendiri. Itu pelajaran yang jauh lebih bernilai daripada sekadar mainan plastik."


Santi menghela napas. "Jadi... nggak beli?"


"Kita lihat nanti. Kalau Dika bisa bikin proposal bisnis sederhana dan meyakinkan kalau mainan itu bisa balik modal dalam setahun, mungkin bisa kita pertimbangkan," sahut Herman santai.


Santi menatapnya lama. Bukan marah, lebih ke lelah.


Di lingkungan sekitar, Herman mulai dikenal. Bukan sebagai dermawan, tentu saja.


"Pak Herman, jam tangan baru, ya?" tanya seorang tukang becak yang sering mangkal dekat tokonya.


Herman mengangkat tangannya, seolah baru sadar jam di pergelangannya. "Oh, ini? Hadiah dari diri sendiri. Katanya orang sukses harus menghargai kerja kerasnya, kan? Cuma sekadar motivasi kecil."


Tetangganya tersenyum kaku. "Wah, keren, Pak. Pasti mahal, ya?"


Herman tertawa kecil. "Ah, harga itu relatif. Yang penting fungsional. Ini sih, katanya tahan air sampai 100 meter, tapi buat apa juga saya nyelam sedalam itu, ya?"


Tukang becak itu ikut tertawa, meskipun matanya tidak.


Ketamakannya makin menjadi. Harga barang dinaikkan sesuka hati, karyawan diperas tenaganya dengan upah yang semakin tak masuk akal, dan bahkan ia mulai bermain-main di batas legalitas.


"Pak, harga beras ini kemahalan," protes seorang karyawan, mencoba menyuarakan keberatan pelanggan.


"Santai, ini bukan kemahalan. Ini strategi pasar," jawab Herman dengan senyum penuh percaya diri. "Lagipula, kalau mereka merasa mahal, artinya mereka harus kerja lebih keras, kan? Biar roda ekonomi berputar."


Tapi roda itu ternyata berputar ke arahnya sendiri. Pelanggan mulai kabur. Karyawan satu per satu pergi. Keluarganya pun perlahan menjauh.


Suatu malam, Santi menatapnya dengan mata lelah. Bukan hanya lelah fisik, tapi juga batin.


"Herman, kamu sadar nggak sih? Kamu udah bukan Herman yang dulu. Dulu kita bahagia meskipun sederhana. Sekarang, semua terasa dingin."


Herman mendengus. "Aku cuma berusaha memastikan masa depan kita lebih baik, Rin. Apa itu salah?"


"Masa depan siapa? Karena yang aku lihat, sekarang kita nggak punya siapa-siapa lagi selain uang yang nggak bisa diajak bicara."


Herman terdiam. Tapi Santi belum selesai.


"Dulu kamu pulang dengan senyum. Sekarang yang kamu bawa pulang cuma angka. Kamu hitung setiap rupiah yang keluar, tapi kamu nggak pernah hitung berapa banyak cinta yang sudah kamu buang. Aku, Dika... kita ini keluarga, bukan investasi, Herman."


Herman meremas tangannya, menunduk. "Aku hanya ingin memastikan kita hidup nyaman..."


Santi tertawa kecil, tapi getir. "Nyaman? Kamu nyaman dengan semua ini? Rumah yang sepi? Anak yang takut sama ayahnya sendiri? Suami yang lebih banyak bicara soal keuntungan daripada kebahagiaan? Kalau itu definisi nyaman, aku lebih pilih hidup susah lagi seperti dulu. Setidaknya waktu itu kita masih punya hati."


Kata-kata itu menempel di kepala Herman lebih lama dari yang ia mau. Malam itu, ia menatap sekeliling rumahnya yang sunyi. Perabotan mahal, barang mewah, dan jam tangan tahan air yang entah untuk apa. Tapi benar kata Santi—tak ada kehangatan di dalamnya.


Ia duduk di sofa, memegang laporan keuangan terakhir yang masih ada di mejanya. Laba meningkat, tapi pelanggan menurun. Uang bertambah, tapi orang-orang pergi.


Di luar jendela, lampu-lampu kota masih berkelip seperti biasa. Seakan dunia tetap berjalan, tak peduli seberapa jauh seseorang jatuh.


Herman menutup matanya, mengambil napas dalam. Suara Santi terus menggema di pikirannya.


Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar takut.


"Apa yang sudah kulakukan...?"


Kilas Balik: Ketika Kebajikan Berubah Menjadi Bumerang


Setelah kebangkrutan, Herman ingin berubah. Kali ini, ia ingin menjadi baik. Sangat baik. Bahkan lebih baik dari siapa pun.


"Dewi, mulai bulan ini, gaji kalian saya naikkan. Saya nggak mau karyawan saya merasa kurang dihargai," kata Herman dengan senyum dermawan.


Dewi kaget, tapi senang. "Terima kasih, Pak! Ini pasti sangat membantu."


Herman juga mulai bersikap lebih lembut kepada karyawannya.


"Pak, maaf, saya telat masuk kerja tadi..."


"Nggak apa-apa. Saya paham, hidup itu kadang nggak bisa diprediksi," sahut Herman bijak.


Awalnya, perubahan ini terasa menyenangkan. Para karyawan lebih nyaman bekerja. Para pelanggan merasa lebih dihargai. Tapi, seiring waktu, Herman mulai menyadari sesuatu.


Hari demi hari, kas toko terus berkurang tanpa alasan jelas.


"Pak, kas toko kita berkurang lagi," kata Dewi, wajahnya cemas.


"Mungkin ada kesalahan pencatatan? Kita harus tetap berprasangka baik," kata Herman, meski perasaannya mulai tidak enak.


Tapi kejadian itu terus berulang. Karyawan mulai kurang disiplin. Barang dagangan kadang hilang tanpa jejak. Herman merasa ada yang tidak beres, tapi ia menolak berprasangka buruk. Ia ingin tetap percaya bahwa kebaikan akan selalu dibalas dengan kebaikan.


Di lingkungan sekitar, Herman mulai menjadi ‘tempat pinjaman berjalan’.


"Herman, anakku sakit, butuh biaya. Bisa pinjam uang sebentar?" tanya seorang tetangga.


Tanpa pikir panjang, Herman mengangguk. "Ambil saja seperlunya. Kesehatan itu yang utama."


Namun anehnya, bulan berikutnya, alasan yang sama terulang.


"Herman, anakku masih butuh biaya berobat..."


Herman menatapnya lama. Kali ini ada keraguan. Ia ingin menolong, tapi di sisi lain, ia merasa ada yang janggal.


Peristiwa buruk terus berdatangan. Karyawan yang diberinya kenaikan gaji, justru menjadi lebih malas. Ada yang sering absen tanpa alasan jelas, ada yang malah mencuri barang dagangan. Sementara itu, orang-orang yang pernah ia bantu mulai menghindar ketika ia menagih janji pembayaran kembali. Bahkan ada yang terang-terangan mengatakan, "Ah, Herman kan baik, pasti dia nggak tega nagih uangnya."


Suatu hari, Herman menemukan bahwa salah satu karyawan kepercayaannya membawa kabur uang kas yang cukup besar. Ia kecewa, marah, dan merasa dikhianati. Tapi saat mencoba melapor ke polisi, ia malah merasa bersalah. "Apa aku ini sudah terlalu baik sampai orang jadi tak menghormatiku?" pikirnya.


Di rumah, ia mengeluh pada Santi, istrinya.


"San, aku nggak ngerti. Aku udah coba jadi orang baik, tapi kenapa rasanya malah makin susah?"


Santi menatap suaminya lama sebelum menjawab. "Mas, kamu ingat dulu, waktu bisnis lagi naik? Kamu sering nolak orang yang datang minta bantuan. Sekarang, kamu malah terlalu gampang memberi. Aku nggak bilang memberi itu salah, tapi... kamu terlalu mudah percaya."


Herman menghela napas. "Jadi, maksudmu aku harus jadi orang yang setengah-setengah?"


"Bukan setengah-setengah, tapi tahu kapan harus memberi dan kapan harus berkata tidak," kata Santi lembut. "Kamu nggak perlu jadi sempurna. Cukup jadi orang yang bijak."


Herman merenung. Kata-kata istrinya ada benarnya. Tapi, kesadarannya datang terlambat.


Bisnisnya kembali goyah. Karyawan yang dulu ia percayai ternyata mulai mengambil keuntungan dari kebaikannya. Beberapa orang yang ia bantu, menghilang tanpa jejak. Hutang menumpuk. Ia jatuh, lagi.


Setelah kebangkrutan kedua dan semua masalah yang menimpanya, Herman akhirnya memutuskan untuk tidak lagi terjun langsung dalam bisnis. Ia menyadari bahwa dirinya terlalu longgar dalam mengelola keuangan, sementara Santi jauh lebih disiplin.


Suatu malam, saat mereka duduk di meja makan sederhana, Santi membuka pembukuan warung kecil yang kini mereka jalankan.


"Mas, biar aku saja yang pegang warung ini sekarang. Kamu itu terlalu gampang luluh kalau ada orang ngutang atau minta diskon," katanya sambil mencoret-coret buku catatan.


Herman mengangkat bahu, menyeruput kopinya. "Ya, aku pikir... ngutang dikit-dikit kan nggak masalah. Tetangga sendiri."


Santi menatapnya tajam. "Masalahnya, 'dikit-dikit' itu kalau dikali seratus pelanggan, bisa bangkrut lagi kita!"


Herman tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Ya sudah, aku serahkan ke kamu. Kamu lebih tegas soal uang. Aku kayaknya lebih cocok cari kerjaan lain."


"Kerjaan apa?" tanya Santi, masih curiga.


"Aku mau jadi sopir taksi online."


Santi mengernyit. "Lho, kenapa nggak coba bisnis lain aja?"


"Ah, aku kan memang suka jalan-jalan naik mobil. Kenapa nggak sekalian nyari duit sambil ngobrol sama orang? Siapa tahu ketemu penumpang yang seru."


Santi tertawa kecil, menggeleng. "Ya sudah, asal jangan kasih tumpangan gratis ke semua orang aja."


Dari kamar, terdengar suara kecil Dika memanggil. "Ayah, besok aku boleh ikut nggak kalau Ayah kerja?"


Herman tersenyum. "Kalau Ayah lagi nggak ada penumpang, boleh. Tapi kalau ada, Dika harus duduk manis di belakang, ya?"


Dika mengangguk semangat. Santi hanya bisa menggeleng pelan, tersenyum melihat suami dan anaknya.


Herman tertawa, tapi di dalam hatinya, ia bertanya-tanya: Apa ia masih bisa menemukan keseimbangan antara menjadi orang baik dan bertahan hidup?


Sejak menjadi sopir taksi online, hidup Herman justru terasa lebih ringan. Ia menikmati perjalanan, bertemu banyak orang, dan mendengar berbagai cerita unik. Kadang ada penumpang yang kaku, kadang ada yang sok tahu, tapi ada juga yang menyenangkan. Ada yang hanya diam sepanjang perjalanan, ada yang curhat panjang lebar, dan ada yang malah seperti sedang diwawancarai di podcast.


Suatu siang, seorang pria muda masuk ke mobilnya sambil tetap menatap layar ponselnya.


"Selamat siang, Mas," sapa Herman dengan ramah.


"Siang, Pak," jawab penumpangnya datar, masih sibuk dengan layar ponselnya.


Mobil melaju perlahan. Herman melirik lewat kaca spion, mencoba mencairkan suasana.


"Kerja di mana, Mas?"


"Freelance, Pak. Kerja remote."


"Wah, enak dong, nggak kena macet tiap hari. Dulu saya juga pengusaha, tapi akhirnya banting setir jadi sopir."


Si penumpang mengangguk kecil tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. Herman tersenyum, tak menyerah.


"Dulu saya pegang toko sendiri, cuma kalau saya yang pegang, uangnya entah kenapa selalu hilang sendiri. Makanya, sekarang istri saya yang atur. Saya? Tinggal jalan-jalan santai begini."


Si penumpang akhirnya tertawa kecil. "Wah, enak juga ya, Pak. Dulu pengusaha, sekarang wisatawan berkedok sopir."


Herman terkekeh. "Betul! Hidup itu harus fleksibel, Mas. Yang penting, masih bisa ketawa."


Setiap harinya, ia mendengar cerita berbeda dari penumpang. Ada ibu-ibu yang curhat soal anaknya yang susah makan, ada mahasiswa yang gelisah soal skripsi, ada bapak-bapak yang berdebat soal politik seakan mereka menteri negara. Pernah juga ada seorang anak kecil yang bertanya, "Pak, kalau saya jadi pilot, Bapak mau saya antar ke mana?" Herman tertawa dan menjawab, "Ke masa muda saya, Nak, kalau bisa."


Sore itu, Herman berhenti di dekat perpustakaan kota. Ia memang sering mampir ke sana saat menunggu orderan. Entah kenapa, sejak jadi sopir, ia jadi senang membaca lagi. Mungkin karena terlalu banyak mendengar cerita orang, ia jadi penasaran dengan perspektif lain dari buku.


Saat sedang membaca di sudut perpustakaan, dua anak muda duduk tak jauh darinya. Mereka tampak serius berdiskusi.


"Menurutmu, apakah keserakahan itu benar-benar buruk?" tanya salah satu dari mereka.


Herman melirik sedikit. Obrolan itu menarik perhatiannya. Ia menutup bukunya, mendekat, lalu tersenyum kecil.


"Kalian mencari kebijaksanaan di antara dosa dan kebajikan?" suaranya serak, tapi tenang.


Marlon dan Riri saling berpandangan.


Pria tua itu menutup bukunya perlahan dan menatap mereka dengan senyum samar. "Jika kalian ingin tahu lebih dalam, aku punya cerita yang mungkin bisa mengubah cara kalian melihat dunia."


Marlon tertarik, sementara Riri tampak ragu. Pria itu menepuk kursi di sebelahnya, mengajak mereka duduk. "Kalian tahu," katanya sambil menatap keluar jendela, "dosa dan kebajikan lebih dari sekadar teks di atas kertas. Mereka adalah cerita yang hidup."

 

end flashback Herman


POV santi istri herman


Santi selalu tahu bahwa Herman adalah pria yang ambisius. Sejak awal pernikahan mereka, ia melihat bagaimana suaminya bekerja tanpa lelah, bagaimana matanya berbinar setiap kali membicarakan peluang bisnis baru. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Sebuah kekhawatiran yang ia simpan rapat-rapat dalam diam.


"Aku harus mendukung suamiku," katanya pada dirinya sendiri. "Dia bekerja keras untuk keluarga. Bukankah itu yang seharusnya dilakukan seorang istri?" Namun, semakin hari, ia melihat bagaimana keserakahan perlahan mengambil alih Herman. Bukan lagi tentang sekadar mencari nafkah, tapi tentang keinginan menguasai lebih, memiliki lebih, tanpa peduli siapa yang tersakiti di belakangnya.


Ia ingin bicara. Ia ingin menegur. Tapi bibirnya selalu terkunci setiap kali melihat semangat membara di mata suaminya. Bagaimana mungkin ia meredam impian seseorang yang ia cintai? Lagi pula, setiap kali ia mencoba mengungkapkan keresahannya, Herman selalu punya jawaban.


"Kita butuh ini, Santi. Kita harus berpikir ke depan. Aku melakukan semua ini untuk keluarga."


Santi selalu terdiam. Jika ia membantah, apakah itu berarti ia tidak mendukung suaminya? Jika ia membiarkan, apakah itu berarti ia membiarkan Herman kehilangan dirinya sendiri?


Lalu, titik itu tiba. Titik di mana semuanya runtuh. Herman kehilangan bisnisnya. Hutang menumpuk. Orang-orang yang dulu menyebutnya sukses kini memandangnya dengan tatapan merendahkan. Rumah mereka tak lagi nyaman, penuh dengan ketakutan dan penyesalan. Herman berubah—tidak lagi pria ambisius yang ia kenal, tetapi pria yang tenggelam dalam rasa bersalah dan putus asa.


Saat itulah Santi akhirnya berani. Dengan air mata yang menggenang di matanya, ia berkata, "Herman, selama ini aku diam bukan karena aku setuju. Aku diam karena aku takut. Tapi sekarang aku lebih takut kehilanganmu. Bukan kehilangan uang, bukan kehilangan status, tapi kehilangan Herman yang dulu aku kenal—suami yang baik, yang tahu kapan harus berhenti, yang tahu kapan harus bersyukur."


Herman terdiam. Mungkin untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang sebelumnya ia abaikan. Kesedihan di mata istrinya. Ketakutan yang selama ini ia pikir hanya miliknya seorang.


Perubahan tak terjadi dalam semalam. Herman tetap bergelut dengan rasa bersalahnya, tetap berjuang mencari cara untuk bangkit. Tapi kali ini, Santi tak lagi diam. Ia ada di sana, menemani setiap langkah, mengingatkan setiap kali Herman hampir terseret lagi dalam ambisinya.


Namun, cobaan belum berakhir. Ketika Herman mulai berubah menjadi pribadi yang lebih baik, lebih jujur, dan lebih rendah hati, justru usahanya semakin terpuruk. Karyawan yang dulu menghormatinya kini mulai mengambil keuntungan dari kebaikannya. Orang-orang yang dulu bersikap manis mulai meninggalkannya satu per satu.


Herman kembali goyah. "Santi, mungkin aku memang harus kembali seperti dulu. Dunia ini tidak adil. Orang baik hanya dimanfaatkan."


Santi menggenggam tangan Herman erat, menatapnya dengan penuh keyakinan. "Jangan. Herman yang aku kenal bukan pria yang menyerah hanya karena dunia ini tidak berjalan seperti yang diinginkan. Kalau dulu kamu berjuang demi harta, sekarang berjuanglah demi ketenangan dan kebahagiaan kita. Aku lebih memilih hidup sederhana tapi punya suami yang baik, daripada kaya tapi hidup dalam ketakutan dan keserakahan."


Herman masih ragu. "Tapi, aku merasa bodoh, Santi. Aku berusaha baik, tapi justru dihancurkan."


Santi tersenyum lembut, meskipun matanya sedikit basah. "Bodoh karena baik? Tidak, Herman. Kamu baru saja belajar sesuatu yang berharga. Kebaikan itu memang sering diuji, tapi bukan berarti tidak ada harganya. Kita hanya perlu bertahan. Jika dunia ini keras, maka jadilah lebih kuat—bukan dengan keserakahan, tapi dengan kebijaksanaan."


Kini, meski hidup mereka lebih sederhana, Santi merasakan ketenangan yang dulu tak pernah ada. Herman memang tidak lagi seorang pengusaha sukses, tetapi ia adalah suami dan ayah yang lebih hadir, lebih manusiawi. Dan bagi Santi, itu jauh lebih berharga daripada semua harta yang pernah mereka miliki.


Marlon, Riri, dan Romo duduk diam setelah mendengar cerita Herman dan Santi. Ada kekaguman dalam tatapan mereka, seolah-olah baru saja menyaksikan kisah nyata yang lebih berharga dari semua teori yang pernah mereka baca.


"Pak Herman... Ibu Santi... Saya benar-benar kagum," kata Riri akhirnya, suaranya dipenuhi emosi. "Banyak orang yang terlambat menyadari, atau bahkan tidak pernah sadar sama sekali. Tapi Bapak beruntung, Bapak bisa kembali ke jalan yang lebih baik."


Marlon mengangguk setuju. "Iya, Pak. Banyak orang yang setelah jatuh, justru semakin tenggelam dalam dendam atau menyerah begitu saja. Tapi Bapak masih mau bertahan, masih mau belajar. Itu bukan kelemahan, Pak. Itu justru kekuatan yang tidak semua orang punya."


Herman tersenyum kecil, tetapi matanya masih menyiratkan keraguan. "Tapi kadang aku merasa... terlalu bodoh karena dulu begitu serakah. Aku juga merasa terlalu lemah karena sekarang aku membiarkan diriku kalah."


Romo, yang sedari tadi mendengarkan dalam diam, akhirnya berbicara. "Pak Herman, saya pernah membaca satu kutipan: 'Kadang, jatuh bukan berarti kalah. Kadang, jatuh adalah cara Tuhan menyelamatkan kita dari sesuatu yang lebih buruk.' Mungkin dulu Bapak harus jatuh agar bisa melihat sesuatu yang lebih penting daripada sekadar uang dan status."


Herman menatap Romo, merenungkan kata-katanya. Santi menggenggam tangannya lebih erat, sementara Riri tersenyum hangat. "Kami belajar banyak dari cerita Bapak dan Ibu. Perjalanan ini membuktikan bahwa hidup itu lebih dari sekadar hitam dan putih. Dan kami bersyukur bisa mendengar langsung kisah luar biasa ini."


Marlon menambahkan, "Pak Herman, dunia memang keras, tapi itu bukan alasan untuk berhenti berbuat baik. Mungkin sekarang masih sulit, tapi percaya lah, kebaikan yang tulus selalu menemukan jalannya sendiri."


Herman menarik napas dalam, lalu mengangguk. Kali ini, untuk pertama kalinya, ia merasa ada yang benar-benar memahami perjalanannya. Bukan sebagai kesalahan, tapi sebagai bagian dari proses menjadi lebih baik.


Pak Herman duduk bersandar di sofa, sedangkan Romo, Marlon, dan Riri duduk di seberangnya, masing-masing dengan posisi santai tapi penuh perhatian. Teh manis di meja sudah mulai mendingin, tetapi diskusi baru saja dimulai.


Marlon membuka catatannya. "Oke, Pak, kita udah denger kisah hidup Bapak dan Bu Santi. Sekarang, kita coba lihat dari sisi Seven Deadly Sins dan Seven Heavenly Virtues."


Pak Herman mengangkat alis. "Wah, serasa sidang skripsi, nih."


Riri tertawa. "Santai aja, Pak. Ini kan buat bahan penelitian."


Romo menyandarkan punggungnya, berpikir sejenak sebelum berkata, "Kalau kita mulai dari pride, menurut saya, ada momen di mana Bapak merasa lebih baik daripada orang lain, terutama waktu Bapak lagi sukses di bisnis."


Pak Herman terkekeh. "Iya, iya. Saya pernah merasa superior, terutama ke tetangga-tetangga yang bisnisnya lebih kecil. Waktu saya baru beli mobil, saya sengaja parkir di depan rumah biar semua orang lihat."


Riri menggeleng sambil tersenyum. "Itu pride dalam bentuk klasik. Sombong atas pencapaian sendiri tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain."


"Dan lucunya," sambung Pak Herman, "pas bisnis saya jatuh, orang-orang yang dulu saya remehin malah yang pertama nolongin saya."


Marlon mencatat. "Nah, ini menarik. Pride Bapak akhirnya dilawan oleh humility. Justru ketika Bapak kehilangan segalanya, Bapak jadi lebih rendah hati."


Pak Herman mengangguk. "Bener banget. Dulu saya pikir kesuksesan itu murni hasil kerja keras saya sendiri, tapi setelah jatuh, saya sadar kalau keberuntungan dan dukungan orang-orang juga berperan besar."


Romo tersenyum. "Pelajaran penting, Pak. Keseimbangan antara pride dan humility itu perlu. Kita boleh bangga atas kerja keras sendiri, tapi tetap harus sadar kalau kita nggak bisa hidup sendirian."


Pak Herman menghela napas. "Iya, kalau dipikir-pikir, semua kejadian ini ada hikmahnya juga."


Marlon mengetuk-ngetukkan pensilnya ke buku. "Kalau greed atau keserakahan, menurut saya jelas ada di fase Bapak yang terlalu mengejar keuntungan tanpa memikirkan dampaknya."


Pak Herman tersenyum kecut. "Iya… Saya dulu nggak peduli etika bisnis, yang penting cuan. Sampai akhirnya kena karma."


Riri mengangguk. "Betul. Bapak ingin lebih dan lebih lagi, tapi malah kehilangan segalanya."


"Tapi di sisi lain," sela Romo, "Bapak akhirnya menemukan charity alias kedermawanan setelah mengalami kebangkrutan. Saya ingat Bapak bilang bahwa setelah jatuh, Bapak jadi lebih peduli ke orang-orang sekitar."


Pak Herman tersenyum kecil. "Iya. Dulu saya pelit, tapi sekarang kalau ada orang yang butuh bantuan, saya usahain sebisa mungkin."


Riri bersandar ke sofa. "Menarik ya? Awalnya Bapak dikuasai greed, tapi setelah kehilangan, Bapak malah belajar charity. Ini kayak siklus yang harus dilewati biar kita sadar mana yang penting dalam hidup."


Pak Herman terkekeh. "Iya, manusia memang butuh dicubit dulu baru sadar."


Romo melipat tangannya. "Kalau sloth, saya rasa ada di fase di mana Bapak udah menyerah dan nggak mau berusaha lagi setelah bisnis bangkrut."


Pak Herman mengangguk. "Bener. Saya dulu mikir, 'Udahlah, nggak ada gunanya usaha lagi'. Saya lebih milih tiduran di rumah daripada cari cara buat bangkit."


"Dan siapa yang membangunkan Bapak?" tanya Marlon.


Pak Herman tersenyum. "Bu Santi."


Riri tersenyum tipis. "Ah, ini masuk ke diligence, kebalikan dari kemalasan. Bapak akhirnya bangkit bukan karena tekanan dari luar, tapi karena ada seseorang yang terus mendorong Bapak buat nggak menyerah."


"Bu Santi itu luar biasa sih, Pak," kata Romo. "Kesabarannya bisa jadi contoh nyata dari patience."


Pak Herman tertawa kecil. "Makanya saya bilang, tanpa dia, saya mungkin masih jadi pemalas yang kerjaannya tiduran aja."


Marlon membuka catatan lagi. "Kalau wrath, Bapak pernah marah-marah ke pegawai waktu bisnis mulai goyah, kan?"


Pak Herman mengangguk. "Iya. Saya frustrasi, terus saya lampiaskan ke mereka. Padahal mereka nggak salah."


Riri menggeleng. "Dan akhirnya pegawai Bapak pada resign. Itu akibat dari kemarahan yang nggak terkendali."


"Tapi," sela Romo, "dari situ juga Bapak belajar buat lebih sabar, kan?"


Pak Herman tersenyum kecil. "Iya, setelah kehilangan segalanya, saya jadi lebih sadar pentingnya sabar. Dulu saya gampang naik darah, sekarang lebih sering tarik napas dulu sebelum ngomong."


Diskusi terus berlanjut, membahas berbagai aspek kehidupan Pak Herman dan Bu Santi yang bisa dikaitkan dengan Seven Deadly Sins dan Seven Heavenly Virtues.


Akhirnya, setelah beberapa lama, Pak Herman meregangkan tubuhnya dan tersenyum. "Jadi kesimpulannya, saya ini mantan pendosa yang sekarang jadi setengah tobat?"


Riri tertawa. "Bukan, Pak. Ini lebih ke perjalanan hidup manusia. Semua orang pasti mengalami dosa dan kebajikan dalam berbagai bentuk."


Marlon menutup bukunya. "Yang penting, kita sadar kapan harus berhenti dan kapan harus melangkah."


Romo mengangguk. "Pada akhirnya, hidup itu bukan soal menghindari dosa sepenuhnya atau menjadi suci total, tapi mencari keseimbangan."


Pak Herman menatap mereka bertiga, lalu tersenyum. "Kalian ini masih muda tapi omongannya berat juga, ya?"


Mereka semua tertawa bersama, sementara teh di meja kini sudah benar-benar dingin.


Setelah membedah dosa dan kebajikan dalam kisah Pak Herman dan Bu Santi, suasana ruang tamu mulai terasa lebih reflektif. Pak Herman dan Riri sibuk mengobrol kecil, sementara Marlon bersandar di sofa dengan ekspresi berpikir. Romo duduk di sebelahnya, menatapnya dengan penasaran.


"Kau kelihatan serius banget, Mar," ujar Romo, sambil memainkan sendok kecil di cangkir tehnya.


Marlon menghela napas, lalu berkata, "Aku cuma kepikiran sesuatu… Dari kecil kita diajarkan soal kebaikan dan keburukan, tentang bagaimana hidup harus sesuai dengan nilai-nilai yang benar. Tapi, setelah kita lihat sendiri kisah Pak Herman dan Bu Santi, dunia nyatanya nggak sesederhana itu."


Romo mengangguk pelan. "Maksudmu?"


Marlon menatap langit-langit sejenak sebelum kembali berbicara. "Misalnya, di agama kita selalu diajarkan tentang amar ma’ruf nahi munkar, menyeru kepada kebaikan dan mencegah keburukan. Itu kan nilai utama yang selalu ditekankan. Tapi, dalam praktiknya… gimana?"


Romo berpikir sejenak, lalu menjawab, "Dalam praktiknya, nggak semudah itu. Orang bisa tahu mana yang baik dan buruk, tapi nggak semua orang bisa atau mau mengikuti nilai itu. Banyak faktor yang bikin orang tetap melakukan hal yang dianggap salah."


Marlon mengangguk. "Itu dia. Seperti tadi, kita lihat pride, greed, wrath—itu semua dianggap buruk, tapi nyatanya, mereka tetap ada dan justru sering mendorong orang buat bergerak maju. Kadang, orang nggak bisa hidup kalau cuma mengandalkan kebajikan saja."


Riri yang mendengar pembicaraan mereka, ikut menyela. "Benar, contohnya aja humility alias rendah hati. Kalau kebanyakan, malah bisa diinjak-injak orang. Atau charity, kalau semua orang terlalu dermawan, nggak ada orang yang berambisi buat maju. Padahal dunia butuh orang-orang ambisius."


Pak Herman tertawa kecil. "Wah, berarti saya dulu bagian dari kemajuan dunia dong, ya?"


Marlon tersenyum tipis. "Iya, Pak. Bapak contoh nyata kalau greed bisa bikin ekonomi bergerak. Tapi juga contoh kalau kalau kebanyakan, bisa jatuh juga."


Pak Herman menghela napas. "Berarti kuncinya bukan soal menghindari dosa atau cuma melakukan kebajikan, tapi gimana caranya menjaga keseimbangan di antara keduanya, ya?"


Romo kembali ke pembicaraan awal. "Tapi kalau kita kembali ke konsep amar ma’ruf nahi munkar, masalahnya di sini: kita sering berpikir dunia harus berjalan sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diajarkan. Kita ingin masyarakat adil, jujur, dermawan, rendah hati. Tapi kenyataannya? Dunia nggak bekerja seperti itu."


Marlon menatap Romo dengan serius. "Nah, itu yang bikin aku bingung. Kalau memang nilai-nilai itu benar, kenapa realitas justru bertolak belakang?"


Romo tersenyum kecil. "Mungkin karena kita hidup dalam dunia yang belum sempurna."


Marlon terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Romo.


Riri ikut berpikir. "Tapi kalau begitu, berarti dunia ini memang nggak akan pernah sesuai dengan teori-teori kebaikan yang kita pelajari?"


Romo mengangkat bahu. "Bukan nggak akan pernah, tapi… selalu ada gap. Dunia selalu bergerak, manusia berubah-ubah, nilai-nilai pun kadang harus beradaptasi dengan kondisi. Itulah kenapa ada orang yang tetap berusaha menjalankan kebaikan di tengah dunia yang nggak sempurna ini. Mereka tahu mungkin hasilnya nggak akan seperti yang mereka harapkan, tapi tetap melakukannya."


Marlon menatap Romo dalam-dalam. "Jadi, intinya bukan soal dunia ini bisa sesuai teori atau nggak, tapi lebih ke gimana kita menyikapi kenyataan yang ada?"


Romo mengangguk. "Tepat. Mungkin dunia nggak sempurna, tapi bukan berarti kita nggak bisa berusaha melakukan sesuatu."


Pak Herman tersenyum kecil. "Dan mungkin itulah seni menjalani hidup, ya? Nyari cara buat tetap hidup, tetap berbuat baik, tanpa kehilangan diri sendiri dalam prosesnya."


Semua terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu mengendap dalam pikiran masing-masing.


Riri akhirnya berseru, "Wah, ini kalau dijadiin artikel jurnal bisa panjang, nih!"


Marlon tertawa. "Atau… jadi novel!"


Romo hanya tersenyum, menyesap tehnya yang hampir habis. Diskusi malam itu mungkin belum menghasilkan jawaban final, tapi setidaknya, mereka mulai memahami bahwa dunia ini lebih kompleks dari sekadar hitam dan putih.


Dunia ini, pada akhirnya, adalah dunia abu-abu.


Ruang tamu masih terasa hangat dengan sisa obrolan sebelumnya. Namun, Marlon tampak tidak sepenuhnya puas. Ia duduk bersandar dengan tangan disilangkan di dada, matanya menatap kosong ke meja di depannya.


Riri melirik kembarannya. "Kau kenapa? Dari tadi ekspresimu kayak orang yang abis kehilangan kunci rumah."


Marlon menghela napas, lalu menatap semua orang di ruangan. "Aku cuma kepikiran satu hal… Kalau teori dalam buku itu ada karena sudah diteliti dan diuji, lalu menjadi teori yang bisa kita pelajari, berarti seharusnya nilai-nilai kehidupan yang diajarkan ke kita juga begitu, kan?"


Pak Herman mengangkat alis. "Maksudmu?"


Marlon mengusap wajahnya, mencoba merangkai pikirannya dengan lebih jelas. "Ya, kalau kita belajar ilmu fisika atau ekonomi, ada teori yang muncul karena sudah diuji berkali-kali. Hukum gravitasi, misalnya, sudah terbukti ada di realitas. Atau teori permintaan dan penawaran, bisa kita lihat langsung dalam perdagangan."


Romo mengangguk. "Lalu?"


Marlon bersandar ke sofa, tatapannya serius. "Kalau begitu, bagaimana dengan nilai-nilai moral yang kita pelajari sejak kecil? Misalnya, kita diajarkan untuk selalu jujur, untuk selalu berbuat baik, untuk percaya kalau kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Tapi nyatanya, kita lihat sendiri di dunia nyata… jujur malah sering dimanfaatkan, orang baik malah sering kalah sama orang licik, dan banyak orang sukses justru karena mereka lebih oportunis daripada sekadar baik."


Riri menatap Marlon dengan penasaran. "Jadi, maksudmu… kita ini sejak kecil diajari sesuatu yang nggak ada dasarnya?"


Marlon menghela napas. "Bukan nggak ada dasarnya. Tapi… dasarnya apa? Kalau memang nilai-nilai itu benar dan harus diikuti, seharusnya dunia berjalan sesuai dengan nilai-nilai itu. Tapi kenyataannya? Kita lihat sendiri perbedaan antara idealisme dan realitas."


Pak Herman tertawa kecil. "Wah, ini pembahasan berat. Kalian berdua memang mahasiswa filsafat, ya?"


Romo yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. "Aku paham kegelisahanmu, Marlon. Aku sendiri pernah mempertanyakan hal yang sama. Aku dibesarkan dalam lingkungan yang kuat dengan ajaran agama, dan sejak kecil aku percaya bahwa dunia akan berjalan sesuai dengan hukum moral yang diajarkan. Tapi begitu aku mulai terjun ke dunia nyata, aku mulai melihat banyak hal yang nggak sesuai dengan yang diajarkan."


Pak Herman mengangguk pelan. "Iya. Dulu waktu saya masih muda, saya juga percaya kalau kerja keras pasti menghasilkan kesuksesan, kalau kita baik sama orang, orang pasti baik juga ke kita. Tapi realitanya… banyak orang kerja mati-matian tapi tetap miskin. Banyak orang baik yang justru dihianati. Dunia ini nggak sesederhana teori moral."


Marlon menatap Romo dengan serius. "Nah, itu dia. Kalau teori moral memang benar, seharusnya nggak ada gap sebesar ini antara teori dan kenyataan. Aku mulai ragu… apakah nilai-nilai yang kita yakini benar-benar berasal dari realitas, atau hanya sesuatu yang diajarkan supaya kita tetap patuh?"


Riri menatap Marlon dengan bingung. "Maksudmu kita selama ini dibohongi?"


Marlon menggeleng. "Bukan dibohongi. Tapi mungkin… kita hanya diwarisi nilai-nilai yang belum tentu sesuai dengan kondisi dunia sekarang. Atau mungkin nilai-nilai itu muncul bukan karena realitas, tapi karena ada kepentingan tertentu."


Romo menyilangkan tangannya. "Ini pembahasan yang dalam. Kalau kita bicara soal nilai-nilai moral, banyak di antaranya berasal dari ajaran agama, filsafat, dan pengalaman sosial manusia. Mereka diwariskan dari generasi ke generasi. Tapi pertanyaannya, apakah nilai-nilai itu muncul karena memang sudah terbukti benar dalam realitas, atau hanya karena kita dipaksa untuk percaya itu benar?"


Pak Herman tersenyum tipis. "Jadi, kalian mau bilang kalau semua ajaran orang tua kita tentang moralitas itu nggak relevan?"


Marlon berpikir sejenak sebelum menjawab. "Bukan nggak relevan. Tapi mungkin… mereka perlu diuji kembali. Kita harus tahu mana yang benar-benar terbukti dalam realitas, dan mana yang hanya sekadar dogma yang diwariskan tanpa dipertanyakan."


Riri bersandar ke sofa. "Tapi kalau semua orang mulai mempertanyakan nilai-nilai moral, dunia bisa jadi kacau, nggak sih?"


Romo tersenyum kecil. "Itu dia tantangannya. Kalau kita mempertanyakan segalanya, kita bisa kehilangan pegangan. Tapi kalau kita menerima semuanya begitu saja tanpa berpikir, kita bisa terjebak dalam dogma yang mungkin sudah nggak sesuai lagi dengan realitas."


Pak Herman tertawa. "Wah, kalau saya sih simpel aja. Saya udah ngalamin hidup cukup lama buat tahu bahwa nilai-nilai moral itu penting, tapi dunia memang nggak akan pernah berjalan ideal. Yang bisa kita lakukan adalah menjalankan nilai-nilai itu dengan fleksibilitas. Jangan kaku, tapi juga jangan kehilangan arah."


Marlon tersenyum kecil. "Jadi, bukan soal nilai-nilainya salah atau benar, tapi bagaimana kita menyesuaikannya dengan kondisi nyata?"


Pak Herman mengangguk. "Kurang lebih begitu. Kalian masih muda, masih dalam tahap mempertanyakan banyak hal. Itu bagus. Tapi ingat, dunia ini memang nggak sempurna. Dan tugas kita bukan mencari teori yang sempurna, tapi mencari cara terbaik buat menjalani hidup di tengah ketidaksempurnaan itu."


Riri tersenyum kecil. "Wah, Pak Herman bisa jadi dosen filsafat juga, nih."


Pak Herman terkekeh. "Dulu saya terlalu serakah, sekarang saya terlalu filosofis. Hidup memang penuh kejutan."


Semua tertawa, sementara Marlon masih memikirkan jawaban yang belum sepenuhnya ia temukan.


Namun, satu hal yang pasti—dunia ini memang tidak seperti yang diajarkan di buku-buku atau diucapkan oleh orang-orang tua dulu. Dunia nyata selalu lebih rumit, lebih abu-abu.


Marlon menyandarkan kepalanya di sofa, menatap langit-langit sambil berpikir. Obrolan tentang nilai-nilai moral yang tidak selalu selaras dengan realitas membuat pikirannya semakin gelisah.


"Aku jadi ingat seseorang yang pernah kutemui di Bandung," kata Marlon akhirnya, memecah keheningan.


Riri menoleh. "Siapa?"


"Seorang orang tua yang sudah lama mempelajari Kasundaan. Dia benar-benar pintar, bukan cuma soal budaya, tapi juga sejarah, filosofi, dan pola pikir masyarakat Sunda dari dulu sampai sekarang," jawab Marlon.


Pak Herman mengangkat alis. "Oh? Lalu apa yang dia katakan?"


Marlon menarik napas pelan. "Dia bilang, kalau mau belajar Sunda yang benar, kita harus mempelajari dua hal. Pertama, Sunda sebelum dan sesudah ada Belanda. Kedua, Sunda sebelum dan sebelum ada Prabu Kian Santang yang membawa Islam ke Pajajaran."


Romo menyipitkan mata. "Maksudnya?"


"Karena di dua momen itu, nilai-nilai yang dianut orang Sunda berubah total. Sebelum Belanda datang, masyarakat Sunda memiliki cara hidup sendiri, aturan sendiri, sistem sosial sendiri. Begitu Belanda masuk, banyak nilai yang berubah karena kolonialisme. Bukan cuma cara berpikir, tapi juga budaya dan cara hidup mereka."


Pak Herman mengangguk. "Itu masuk akal. Kolonialisme memang sering mengubah struktur sosial masyarakat."


Marlon melanjutkan, "Lalu ada juga perubahan lain ketika Prabu Kian Santang membawa Islam ke Pajajaran. Sebelum itu, nilai-nilai yang ada di Sunda sangat dipengaruhi oleh kepercayaan lama seperti Hindu dan animisme. Setelah Islam masuk, nilai-nilai berubah lagi. Banyak hal yang dulu dianggap biasa menjadi dilarang, banyak aturan baru muncul, dan akhirnya masyarakat Sunda tidak lagi sama seperti sebelumnya."


Riri mengangguk pelan. "Jadi, nilai-nilai yang kita anggap sebagai 'ajaran leluhur' itu sebenarnya sudah banyak berubah?"


"Itulah yang aku pikirkan," kata Marlon serius. "Kalau kita percaya bahwa nilai-nilai moral harusnya berdasarkan realitas, bagaimana kita bisa memastikan bahwa nilai yang kita yakini sekarang benar-benar berasal dari realitas? Jangan-jangan, ini hanya hasil campur tangan pihak luar yang mengubahnya berkali-kali."


Pak Herman bersandar ke sofa dan menghela napas. "Ini pemikiran yang cukup liar, tapi ada benarnya. Dulu saya juga sering dibilang, ‘Zaman dulu lebih baik, orang-orang lebih jujur, lebih punya tata krama.’ Tapi kalau zaman dulu benar-benar lebih baik, kenapa dunia berubah? Kenapa masyarakat Sunda berubah? Kenapa kita tidak tetap berpegang pada nilai lama?"


Romo menyesap tehnya pelan, lalu berkata, "Ini pertanyaan yang cukup mendasar. Kalau kita melihat sejarah, perubahan nilai memang sering terjadi. Tidak hanya dalam budaya Sunda, tapi di seluruh dunia. Begitu ada pengaruh baru—baik dari agama, kolonialisme, atau modernisasi—nilai-nilai masyarakat juga berubah."


Marlon menatap Romo. "Tapi itu yang membuatku ragu. Kalau nilai-nilai itu terus berubah karena pengaruh eksternal, bagaimana kita bisa tahu mana yang benar dan mana yang hanya propaganda dari penguasa waktu itu?"


Riri berpikir sejenak, lalu berkata, "Jadi ini bukan sekadar tentang benar atau salah, tapi lebih ke… apakah kita bisa mempercayai nilai-nilai yang kita anut sekarang?"


Pak Herman tertawa kecil. "Wah, kalau kalian terus berpikir seperti ini, nanti bisa-bisa kalian nggak percaya apa pun."


Marlon tersenyum tipis. "Bukan nggak percaya, Pak. Tapi aku ingin tahu dasarnya. Apakah nilai yang kita yakini sekarang ini benar-benar muncul dari realitas, atau hanya sesuatu yang diwariskan tanpa kita tahu asal-usulnya?"


Romo mengangguk. "Aku paham kegelisahanmu. Ini pertanyaan klasik dalam filsafat: apakah moralitas itu sesuatu yang objektif atau subjektif? Apakah ada nilai yang benar-benar universal, atau semuanya hanya konstruksi sosial yang berubah sesuai zaman?"


Pak Herman mengusap dagunya. "Kalau menurut saya, kita harus lihat dari sudut pandang yang lebih sederhana. Nilai-nilai bisa berubah, iya. Tapi bukan berarti semuanya salah. Bisa jadi, perubahan itu justru membuat masyarakat lebih baik. Mungkin nilai lama tidak relevan lagi, atau mungkin memang perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman."


Riri mengangguk. "Benar juga. Kalau kita tetap memegang nilai-nilai lama tanpa melihat realitas, kita bisa jadi terjebak di masa lalu."


Marlon termenung sejenak, lalu berkata, "Jadi… bukannya mempertanyakan apakah nilai-nilai itu benar atau salah, mungkin lebih penting untuk melihat apakah nilai-nilai itu masih relevan dengan kondisi sekarang?"


Romo tersenyum. "Tepat sekali. Kita tidak bisa hanya melihat ke masa lalu dan menganggap semua nilai yang berubah itu berarti salah. Yang harus kita lakukan adalah memahami kenapa nilai itu berubah, dan apakah perubahan itu membuat kita lebih baik atau justru lebih buruk."


Pak Herman menepuk lututnya. "Wah, obrolan ini berat sekali. Saya cuma sopir taksi, tapi rasanya baru ikut seminar filsafat."


Semua tertawa, sementara Marlon duduk lebih rileks. Diskusi ini belum memberikan jawaban pasti, tapi setidaknya ia merasa bahwa pertanyaannya mulai menemukan arah.


Dunia ini memang tidak sesederhana hitam dan putih. Setiap nilai yang dianut manusia bisa jadi hanyalah hasil dari sejarah panjang perubahan dan pengaruh eksternal.


Dan tugas mereka bukan hanya menerima semuanya begitu saja—tetapi untuk memahami, menguji, dan menemukan kebenaran yang sesungguhnya.


Marlon duduk bersandar di sofa, ekspresi wajahnya menunjukkan kegelisahan yang mendalam. Ia menatap teman-temannya yang duduk di sekeliling ruang tamu, lalu menghela napas panjang sebelum memulai pembicaraan.


Marlon menghela napas panjang, menatap cangkir tehnya yang mulai mendingin. "Kalian sadar nggak sih, perubahan nilai-nilai dalam masyarakat kita ini justru membuat keadaan semakin buruk? Dulu, meskipun istilah 'toleransi beragama' mungkin belum populer, tapi kita benar-benar menjalankannya. Sekarang, istilah itu sering didengungkan, tapi praktiknya malah memudar."


Riri mengangguk setuju. "Benar, Marlon. Dulu, meski tanpa label, kita hidup berdampingan dengan harmonis. Sekarang, banyak yang berbicara tentang toleransi, tapi kenyataannya justru sebaliknya."


Pak Herman menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Mungkin karena dulu nilai-nilai itu memang sudah tertanam kuat dalam budaya kita, tanpa perlu label atau istilah tertentu. Sekarang, banyak hal menjadi formalitas tanpa makna yang mendalam."


Marlon melanjutkan, "Kalau kita tarik lebih jauh, mungkin kesalahan ini sudah ada sejak zaman para pendiri bangsa. Aku pernah mendengar bahwa Bung Hatta pernah mengatakan bahwa korupsi sudah membudaya di negeri ini."


Romo yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Ya, Bung Hatta memang pernah menyatakan kekecewaannya terhadap maraknya korupsi di Indonesia. Beliau bahkan mengembalikan sisa uang perjalanan dinasnya ke kas negara, sebuah tindakan yang langka dan menunjukkan integritas tinggi."


Marlon mengangguk. "Itu dia. Jika sejak awal kemerdekaan saja korupsi sudah dianggap membudaya, tak heran jika hingga kini praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme masih merajalela di negeri ini."


Riri menambahkan, "Mungkin inilah yang menyebabkan kita sulit maju. Nilai-nilai luhur yang dulu kita junjung tinggi telah tergerus oleh praktik-praktik yang tidak terpuji."


Pak Herman menghela napas. "Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Apakah kita hanya pasrah dengan keadaan ini?"


Marlon menatap teman-temannya dengan penuh semangat. "Tidak, Pak. Kita harus mulai dari diri sendiri. Menanamkan kembali nilai-nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun kecil, langkah-langkah itu jika dilakukan bersama-sama akan membawa perubahan besar."


Romo tersenyum dan berkata, "Setuju, Marlon. Perubahan besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil. Kita harus menjadi teladan bagi generasi mendatang, menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur masih ada dan harus dijunjung tinggi."


Diskusi malam itu memberikan pencerahan bagi mereka semua. Meskipun tantangan besar menghadang, mereka sadar bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat. Dengan semangat kebersamaan dan komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mereka berharap dapat berkontribusi dalam membangun Indonesia yang lebih baik.


Marlon menatap Romo dengan serius, matanya penuh dengan pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Ia meletakkan cangkir teh di meja dan bersandar ke sofa, mengatur nada suaranya agar lebih tenang, tapi tetap tegas.


"Sebenarnya, Romo... apakah ini adalah takdir?"


Romo yang tengah menyesap tehnya, mengangkat alis. "Takdir yang mana?"


Marlon menarik napas pelan, lalu berkata, "Takdir bahwa manusia memang diciptakan untuk tidak jujur? Aku semakin yakin bahwa manusia bukanlah makhluk yang diciptakan untuk selalu berkata benar, tetapi makhluk sosial yang harus beradaptasi dengan lingkungan. Dan pada akhirnya, adaptasi itulah yang membuat kita menjadi seperti ini—tidak selalu jujur, tapi selalu mencari cara untuk bertahan."


Riri yang dari tadi mendengarkan ikut menyahut, "Maksudmu, manusia itu pada dasarnya nggak bisa benar-benar jujur karena ada tekanan sosial?"


Marlon mengangguk. "Betul. Aku jadi teringat ucapan dosen filsafatku dulu. Dia pernah berkata, 'Sopan santun menghilangkan kejujuran dan kebenaran.'"


Pak Herman tertawa kecil. "Wah, itu kalimat yang bisa bikin banyak orang tersinggung."


Marlon tersenyum tipis. "Tapi kalau dipikirkan lagi, masuk akal. Kita diajarkan untuk selalu sopan, selalu berbicara dengan hati-hati, tidak menyakiti perasaan orang lain. Tapi bukankah itu artinya kita mengorbankan kejujuran? Seberapa sering kita harus menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu yang sebenarnya benar, hanya karena takut dianggap kasar atau tidak beretika?"


Romo menatap Marlon dengan penuh perhatian, lalu berkata, "Jadi menurutmu, sopan santun itu bertentangan dengan kejujuran?"


Marlon berpikir sejenak sebelum menjawab. "Tidak selalu bertentangan. Tapi bisa menjadi alat kontrol. Kalau kita selalu disuruh sopan dan mengikuti etika yang ditentukan oleh masyarakat atau kelompok tertentu, bukankah itu bisa jadi cara untuk mempertahankan status quo? Orang-orang yang berada di atas, yang punya kekuasaan, tentu akan senang jika masyarakat di bawahnya selalu sopan, tunduk, dan tidak banyak bertanya."


Riri mengangguk. "Jadi, ini bukan hanya tentang bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain, tapi juga tentang siapa yang menetapkan aturan dan kenapa aturan itu dibuat?"


Pak Herman tersenyum sambil bersedekap. "Ini menarik. Kalau dipikir-pikir, dari dulu kita selalu diajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua, sopan kepada atasan, tidak boleh membantah, harus patuh pada sistem. Padahal, siapa yang menentukan semua itu? Bisa jadi, yang membuat aturan-aturan ini adalah orang-orang yang ingin tetap berkuasa, supaya tidak ada yang berani melawan atau mempertanyakan."


Marlon mengangguk. "Itu maksudku. Sopan santun dan etika memang ada manfaatnya untuk menjaga harmoni sosial, tapi di sisi lain, bisa juga digunakan untuk membungkam suara-suara yang ingin mengungkapkan kebenaran. Semacam kontrol sosial yang tidak selalu terlihat."


Romo menarik napas dalam, lalu berkata, "Kalau begitu, apakah kamu berpikir bahwa manusia lebih baik tanpa sopan santun dan etika?"


Marlon menggeleng. "Bukan begitu. Tapi aku ingin tahu batasnya. Sampai sejauh mana kita harus menyeimbangkan antara kebenaran dan sopan santun? Apakah ada titik di mana kita harus mengorbankan satu demi yang lain?"


Riri menambahkan, "Atau jangan-jangan, kita selama ini hanya diajarkan untuk menjadi baik sesuai standar yang ditentukan orang lain, bukan karena itu benar, tapi karena itu nyaman bagi mereka?"


Pak Herman tertawa kecil sambil menggeleng. "Hahaha, kalau kalian bicara seperti ini di depan pejabat atau pemuka agama, bisa-bisa kalian dikucilkan."


Romo tersenyum tipis. "Mungkin bukan soal dikucilkan, tapi lebih ke apakah kita siap menghadapi konsekuensinya atau tidak. Dunia ini memang tidak sesederhana hitam dan putih, dan banyak nilai yang kita anut sekarang mungkin memang sudah dimanipulasi oleh kepentingan tertentu."


Marlon menghela napas. "Itulah yang membuatku semakin bingung. Kita diajarkan untuk jujur, tapi juga diajarkan untuk menjaga perasaan orang lain. Kita disuruh bersikap sopan, tapi juga disuruh untuk berani melawan ketidakadilan. Kita dibilang harus kritis, tapi kalau terlalu kritis, kita dianggap mengganggu sistem."


Riri menyandarkan kepalanya ke sofa. "Jadi, apa kesimpulannya?"


Romo menatap mereka satu per satu, lalu berkata dengan suara tenang, "Mungkin bukan soal memilih antara kejujuran atau sopan santun. Tapi lebih ke bagaimana kita tahu kapan harus jujur, dan kapan harus menjaga harmoni. Dunia ini abu-abu, dan tugas kita bukan memilih sisi, tapi menemukan keseimbangan."


Marlon termenung, sementara Pak Herman tersenyum puas.


"Yah," kata Pak Herman, "kalau kalian sudah sampai di tahap ini, berarti kalian sudah selangkah lebih dekat untuk memahami dunia yang sebenarnya."


Marlon duduk bersandar di sofa dengan ekspresi serius. Ia menatap Romo yang tampak tenang, lalu mengangkat tangannya sedikit, seolah sedang mengajukan pertanyaan di kelas.


"Romo, aku pernah dengar dalam Islam kalau kita ingin membantah atau membenarkan omongan seseorang, sebaiknya dilakukan di belakang, tidak di depan umum. Itu benar?"


Romo mengangguk pelan. "Ya, dalam Islam memang ada adab ketika ingin menegur atau membenarkan seseorang. Rasulullah mengajarkan bahwa menasihati orang lain sebaiknya dilakukan secara tertutup, bukan di depan umum. Tujuannya agar orang yang dinasihati tidak merasa dipermalukan, karena itu bisa membuatnya defensif dan malah menolak kebenaran."


Marlon mengangguk paham, tapi ekspresinya tetap menyimpan pertanyaan lain. Ia melirik Riri dan Pak Herman, lalu kembali menatap Romo.


"Tapi Romo, kalau begitu, bagaimana kalau ada seorang pembicara, misalnya seorang ustaz atau akademisi, yang salah data atau salah logika saat berbicara di depan umum?" Marlon bertanya dengan nada kritis.


Romo mendengarkan dengan tenang.


"Jika kita tidak boleh membantahnya langsung di depan umum dan hanya boleh menegurnya secara private, bagaimana dengan banyak orang yang menjadi korban dan percaya dengan omongan yang salah tadi?" Marlon melanjutkan, nada suaranya lebih serius. "Demi etika dan sopan santun, kita malah membiarkan ratusan atau ribuan orang salah pikir. Demi menjaga martabat si pembicara yang salah, kita membiarkan informasi keliru menyebar luas. Apa ini adil?"


Pak Herman yang sejak tadi mendengarkan sambil menyeruput tehnya, tersenyum kecil. "Nah, ini menarik," gumamnya.


Romo menghela napas sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati.


"Dalam Islam, ada kaidah yang mengatakan bahwa mencegah mudarat lebih utama daripada mendatangkan manfaat." Romo menatap Marlon dengan tatapan tenang. "Kalau menegur seseorang di depan umum bisa menyebabkan keributan yang lebih besar, bisa membuat orang itu makin keras kepala, atau bahkan menyebabkan permusuhan, maka Islam menyarankan agar kita menegurnya secara pribadi."


Marlon masih tidak puas. "Tapi Romo, bukankah membiarkan kesalahan itu terus tersebar juga termasuk mudarat?"


Riri menimpali, "Iya, Romo. Kalau yang mendengar omongan salah itu banyak, efek buruknya bisa lebih luas."


Romo tersenyum tipis. "Benar, dan di sinilah kita harus menggunakan kebijaksanaan. Tidak semua kesalahan harus dibantah di depan umum, tapi tidak semua kesalahan juga bisa dibiarkan tanpa koreksi di tempat. Ada cara-cara yang lebih halus untuk membenarkan sesuatu tanpa membuat orang merasa dipermalukan."


Pak Herman menyilangkan tangannya. "Misalnya?"


Romo menjelaskan, "Misalnya, jika ada ustaz yang salah menyebutkan fakta dalam ceramah, kita bisa bertanya dengan cara yang tidak menghakimi. Kita bisa angkat tangan dan bertanya, 'Ustaz, saya pernah membaca sumber lain yang mengatakan berbeda, bagaimana menurut Ustaz?' Dengan begitu, kita tetap menunjukkan respek, tapi juga membuka ruang diskusi."


Marlon menyimak dengan saksama, lalu berkata, "Tapi Romo, kalau begitu, berarti ini bukan benar-benar soal adab, tapi lebih ke strategi komunikasi, kan?"


Romo tertawa kecil. "Bisa dibilang begitu. Islam mengajarkan adab bukan untuk menghambat kebenaran, tapi agar kebenaran bisa diterima dengan lebih baik. Kalau niat kita membantah hanya untuk mempermalukan orang, maka itu bukan menegakkan kebenaran, tapi mencari kemenangan dalam debat."


Marlon merenung sebentar, lalu berkata, "Jadi, batasannya ada di niat dan cara penyampaian?"


Romo mengangguk. "Tepat. Kalau niatnya untuk memperbaiki, dan caranya baik, maka membenarkan seseorang di depan umum bisa diterima. Tapi kalau bisa dilakukan secara lebih bijak tanpa membuat orang lain kehilangan muka, itu lebih baik."


Pak Herman tersenyum puas. "Nah, ini yang disebut keseimbangan. Tidak semua hal harus dikatakan dengan keras, tapi juga tidak semua hal harus disimpan hanya karena takut menyinggung perasaan."


Riri menghela napas dan tersenyum kecil. "Dunia ini memang abu-abu, ya?"


Marlon menatap mereka satu per satu, lalu berkata, "Jadi kesimpulannya, kalau kita ingin membenarkan sesuatu, kita harus lihat situasi, niat, dan cara kita bicara. Bukan hanya sekadar mengikuti aturan tanpa berpikir."


Romo tersenyum. "Persis. Agama dan nilai-nilai bukan sekadar aturan kaku, tapi tentang bagaimana kita menggunakannya dalam kehidupan nyata."


Marlon bersandar di sofa, merasa sedikit lebih tenang. Ia masih punya banyak pertanyaan di kepalanya, tapi setidaknya, malam ini ia mendapat satu jawaban yang masuk akal.


Pak Herman bangkit dari kursinya. "Oke, oke, cukup filsafatnya untuk malam ini. Kalau terus begini, kita bisa diskusi sampai pagi."


Mereka semua tertawa kecil, dan suasana pun sedikit mencair. Namun, di dalam hati, masing-masing dari mereka tahu bahwa pembahasan ini belum benar-benar selesai.


Marlon menatap Romo dengan serius, kedua tangannya bertaut di atas lututnya. Ia sedikit mencondongkan tubuh ke depan, menunjukkan bahwa pertanyaannya kali ini bukan sekadar diskusi ringan.


"Baiklah, Romo. Kalau kau sendiri berada dalam kondisi itu, apa yang akan kau lakukan?"


Romo mengangkat alisnya. "Maksudmu?"


Marlon menghela napas, lalu menegaskan, "Jika ada seorang ustaz sedang ceramah di depan majelis, lalu dia salah memberikan logika atau materi kepada umat, apakah kau akan memotong omongannya di tempat? Atau membiarkannya sampai semua orang bubar?"


Romo terdiam sejenak, mempertimbangkan pertanyaan itu.


Marlon melanjutkan dengan lebih tajam, "Ingat, Romo. Ustaz itu hanya satu orang. Tapi umat yang mendengarnya banyak. Ketika kau bilang mencegah mudarat, sebenarnya mudarat siapa yang kau lindungi? Mudarat agar ustaz itu tidak dipermalukan dan menjadi defensif? Atau mudarat agar umat yang banyak itu tidak salah paham dan membawa kesalahan itu dalam hidup mereka, mengajarkannya pada anak-anak mereka, dan akhirnya menciptakan rantai kebodohan yang lebih luas?"


Pak Herman mengangkat alisnya dengan kagum. "Wah, pertanyaan berat, nih."


Riri mengangguk setuju. "Iya, ini dilema yang nggak mudah."


Romo menarik napas dalam, lalu menjawab dengan tenang, "Aku tidak akan serta-merta memotong ceramahnya, kecuali jika kesalahan yang dia ucapkan sangat fatal dan berdampak langsung pada kehidupan orang-orang di situ. Jika itu hanya kesalahan kecil, aku akan menunggu sampai acara selesai dan menghadapinya secara pribadi."


Marlon masih belum puas. "Dan kalau kesalahannya besar?"


Romo menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kalau kesalahannya bisa menyebabkan kesesatan berpikir yang serius bagi umat, aku akan mencari cara untuk mengoreksi di tempat tanpa terlihat menantang. Mungkin dengan bertanya, bukan dengan langsung membantah."


Marlon mendengus pelan. "Jadi kau tetap tidak akan memotong omongannya langsung?"


Romo menggeleng. "Tidak dengan cara konfrontatif. Karena kalau dia merasa dipermalukan, kemungkinan besar dia akan defensif dan malah menolak kebenaran, yang akhirnya justru membuat kesalahan itu semakin kuat di benaknya dan di benak pengikutnya."


Marlon bersedekap. "Tapi bagaimana kalau karena sikap kita yang 'lembut' itu, kesalahan itu justru makin menyebar? Umat pergi ke rumah masing-masing, membawa pemahaman yang salah, lalu mengajarkannya ke anak-anak mereka. Generasi berikutnya tumbuh dengan pemikiran yang keliru hanya karena kita lebih memilih menjaga perasaan satu orang dibanding menyelamatkan banyak orang dari kesalahan berpikir."


Pak Herman terkekeh pelan. "Wah, Romo kena serangan beruntun nih."


Romo tersenyum kecil, tetapi matanya tetap serius. "Itulah dilema terbesar dalam menyampaikan kebenaran. Jika kau ingin orang lain menerima kebenaran, kau harus membuat mereka mau mendengarnya. Kalau kau langsung menyerang, mereka justru akan menutup telinga dan menolak meskipun kau benar. Tapi kalau kau terlalu lembut, kesalahan itu bisa menyebar lebih luas. Maka dari itu, ada strategi dakwah, ada cara komunikasi, ada psikologi sosial yang perlu diperhitungkan."


Riri berpikir sejenak, lalu bertanya, "Jadi sebenarnya kita harus memilih antara dua mudarat? Mudarat membiarkan ustaz salah bicara, atau mudarat membuatnya defensif sehingga dia tidak mau menerima kebenaran?"


Romo mengangguk. "Ya, dan dalam situasi seperti itu, kita harus memilih mana yang lebih kecil dampaknya."


Marlon menghela napas. "Tapi aku tetap merasa ada bahaya besar kalau kita membiarkan kesalahan itu menyebar lebih dulu."


Pak Herman menatap Marlon sambil tersenyum. "Jadi kau lebih memilih langsung membantahnya di tempat?"


Marlon mengangguk mantap. "Ya, kalau memang kesalahannya besar dan berbahaya, aku akan langsung mengoreksi. Mungkin bukan dengan cara konfrontatif, tapi aku akan memastikan bahwa umat tahu ada informasi yang salah sebelum mereka pulang membawa pemahaman keliru."


Romo menatap Marlon dengan penuh pertimbangan, lalu tersenyum tipis. "Kalau begitu, kau sudah memilih jalanmu sendiri. Setiap orang punya caranya dalam menghadapi kebenaran dan bagaimana menyampaikannya. Yang penting, jangan sampai niat baik kita justru menghasilkan lebih banyak keburukan."


Marlon masih menatap Romo dengan tatapan penuh pemikiran. Tangannya saling bertaut, jari-jarinya bergerak seolah sedang menghitung sesuatu di udara.


"Keburukan pasti ada, Mo." Ia menghela napas sebentar, lalu melanjutkan, "Tapi dalam kondisi seperti tadi, keburukan itu bersifat kuantitas. Selama kebaikan lebih banyak, aku rasa itu lebih baik."


Romo menaikkan alisnya. "Maksudmu?"


Marlon mengubah posisi duduknya, bersandar sedikit ke belakang. "Begini, kau tadi bilang kalau aku membantah di depan umum, si ustaz bisa jadi defensif dan malah menolak kebenaran, kan?"


Romo mengangguk.


"Tapi di sisi lain," lanjut Marlon, "kalau aku diam saja, yang salah paham itu banyak orang. Oke, mungkin si ustaz jadi keras kepala kalau dikoreksi di depan umum, tapi kalau kesalahan itu dibiarkan, yang akan terdampak lebih banyak."


Pak Herman terkekeh sambil menyilangkan tangan. "Nah, ini mulai masuk ke perhitungan untung-rugi moral."


Riri ikut menimpali, "Iya, jadi Marlon lebih melihat efek massal daripada efek individu?"


Marlon mengangguk mantap. "Iya, kalau aku bisa mengoreksi satu orang tapi membiarkan ratusan salah, bukankah itu malah lebih buruk? Aku lebih memilih mengoreksi di depan umum, meskipun si ustaznya jadi tersinggung, asalkan lebih banyak orang yang mendapatkan kebenaran."


Romo tersenyum tipis, tetapi tatapannya tetap serius. "Masalahnya, Mar, manusia tidak hanya beroperasi dalam hitungan kuantitas. Ada dampak psikologis yang harus diperhitungkan. Kalau ustaz yang tersinggung itu kemudian merasa diserang dan malah berusaha mempertahankan kesalahannya dengan lebih kuat, maka justru kesalahan itu bisa semakin menyebar karena ia mencari dukungan dari pengikutnya."


Marlon tidak langsung menjawab. Ia merenung sebentar.


Pak Herman ikut masuk ke dalam diskusi. "Aku paham maksud kalian berdua. Marlon lebih menekankan kuantitas kebaikan yang bisa diperoleh dalam satu momen, sedangkan Romo lebih melihat efek jangka panjang kalau orang yang salah itu malah makin defensif."


Marlon kembali menatap Romo. "Tapi tetap saja, Mo, aku merasa lebih baik ada yang berani membantah kesalahan itu di tempat. Setidaknya ada perlawanan terhadap informasi yang salah, tidak dibiarkan menyebar begitu saja."


Romo tersenyum kecil. "Dan itulah mengapa ada dua pendekatan dalam menyampaikan kebenaran. Ada yang langsung tegas di tempat, ada yang lebih strategis dengan pendekatan perlahan."


Riri bersedekap. "Tapi yang menarik, kalau kita melihat sejarah, para nabi dan filsuf juga punya pendekatan yang berbeda dalam menyampaikan kebenaran. Ada yang berani terang-terangan, ada yang menyampaikannya secara halus dan bertahap."


Marlon menatap Riri dan mengangguk. "Nah, itu dia. Jadi pertanyaannya, metode mana yang lebih efektif dalam kondisi sekarang?"


Pak Herman tertawa kecil. "Sepertinya ini pertanyaan yang nggak akan ada habisnya."


Romo tertawa pelan. "Dan mungkin jawabannya ada di situ. Tidak ada satu metode yang selalu benar dalam semua situasi. Kadang kita harus berani membantah di depan umum, kadang kita harus berbicara secara pribadi. Yang terpenting adalah niat kita tetap untuk menyebarkan kebaikan, bukan sekadar ingin menang dalam debat."


Marlon menghela napas panjang. "Huft, semakin kita bahas, semakin terlihat bahwa dunia ini memang nggak bisa dipandang hitam-putih."


Riri tersenyum kecil. "Dunia abu-abu, Mar."


Semua orang tertawa kecil. Meskipun diskusi mereka belum menemukan jawaban pasti, setidaknya mereka semakin memahami bahwa kebenaran bukan sekadar soal siapa yang lebih benar, tetapi juga bagaimana cara menyampaikannya.


Marlon menghela napas panjang. Ia menatap ke atas, seolah sedang merangkai kata dalam kepalanya sebelum berbicara.


"Kalian pernah perhatikan nggak," katanya akhirnya, "kenapa ulama yang pintar, yang menjelaskan agama dengan filsafat, psikologi, dan penjelasan rinci tentang sesuatu, malah lebih sedikit pengikutnya dibanding ulama yang sederhana, yang hanya melarang ini itu, menuduh ini haram, itu bid’ah?"


Romo mengernyitkan dahi. "Maksudmu?"


Marlon menatapnya dengan serius. "Kenapa ulama yang benar-benar mendalam ilmunya justru kurang populer? Kenapa orang-orang lebih suka mendengar ceramah yang simpel, langsung menghakimi, dan tanpa banyak penjelasan? Kenapa yang lebih populer justru ulama yang bilang, 'ini haram, itu sesat,' tanpa perlu menjelaskan panjang lebar?"


Pak Herman tertawa kecil. "Hah! Ini menarik. Aku juga sering kepikiran soal itu."


Riri ikut menambahkan, "Iya, kalau dipikir-pikir, orang yang menjelaskan agama dengan ilmu yang luas malah sepi pengikut. Tapi yang ngomongnya sekadar 'ini dosa, itu haram,' justru punya jutaan pengikut fanatik."


Romo menarik napas dalam, lalu menjawab pelan, "Karena manusia, pada dasarnya, lebih suka kepastian daripada kompleksitas."


Marlon mengangkat alis. "Maksudnya?"


Romo menatapnya balik. "Agama, bagi banyak orang, bukan sekadar jalan hidup. Agama adalah tempat mereka mencari kepastian. Ketika hidup penuh dengan masalah dan kebingungan, mereka ingin jawaban yang jelas dan tegas. Mereka ingin sesuatu yang hitam-putih, karena itu lebih mudah dipahami."


Marlon berpikir sebentar, lalu mengangguk. "Jadi, kau bilang bahwa orang-orang lebih suka sesuatu yang simpel, karena mereka tidak mau berpikir terlalu dalam?"


Romo mengangkat bahu. "Bukan hanya soal mau atau tidak mau berpikir. Ini soal kebutuhan psikologis. Bayangkan ada dua ulama ceramah di dua masjid berbeda. Yang satu bilang, 'Semua ini sudah ada hukumnya, ikuti saja, jangan tanya-tanya lagi, karena mempertanyakan itu tanda kelemahan iman.' Yang satu lagi bilang, 'Mari kita kaji lebih dalam, karena dalam Islam pun ada konsep ijtihad dan tafsir yang bisa berkembang sesuai zaman.' Menurutmu, mana yang lebih menarik bagi orang awam yang ingin jawaban cepat?"


Marlon terdiam sejenak. Ia sudah tahu jawabannya, tapi tetap ingin mendengar jawaban dari mulut Romo.


Pak Herman terkekeh. "Jelas yang pertama."


Riri mengangguk. "Iya, karena yang pertama langsung memberi kepastian. Orang nggak perlu mikir, tinggal ikut."


Marlon menghela napas. "Jadi, karena orang lebih suka kepastian, ulama yang memberi jawaban simpel dan tegas malah lebih banyak pengikutnya?"


Romo tersenyum kecil. "Begitulah. Apalagi kalau ulama itu menggunakan bahasa yang emosional dan membangun rasa eksklusivitas—bahwa hanya mereka yang benar dan yang lain salah. Itu menciptakan rasa nyaman bagi pengikutnya. Mereka merasa menjadi bagian dari kelompok yang paling suci dan paling benar."


Pak Herman mengangguk-angguk. "Jadi ini juga menjelaskan kenapa kelompok-kelompok yang keras dalam beragama justru semakin banyak pengikutnya, ya?"


Marlon mengetuk dagunya dengan jari. "Ini mirip dengan politik juga. Orang lebih suka politisi yang memberi janji sederhana dan bombastis, daripada yang menjelaskan solusi dengan detail teknis yang rumit."


Riri terkekeh. "Iya, kayak yang bilang 'kalau saya terpilih, semua masalah selesai!'—padahal realitanya nggak sesederhana itu."


Marlon menghela napas lagi, kali ini lebih berat. "Jadi ini yang terjadi di negeri ini? Orang lebih suka kepastian daripada kebenaran yang kompleks?"


Romo menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Bukan hanya di negeri ini, Mar. Ini fenomena manusia pada umumnya."


Suasana di ruang tamu mendadak sunyi. Semua orang merenungkan apa yang baru saja mereka bahas.


Pak Herman akhirnya bersuara, memecah keheningan. "Yah, kalau begitu, apa kita harus menyerah? Membiarkan orang-orang terus berada dalam ketidaktahuan hanya karena mereka lebih suka jawaban simpel?"


Marlon menatapnya dengan semangat yang kembali menyala. "Tentu tidak. Justru karena itu, kita harus mencari cara agar kebenaran yang kompleks bisa dijelaskan dengan lebih sederhana, tanpa kehilangan esensinya."



Riri tersenyum kecil. "Jadi tugas kita adalah menjembatani keduanya?"


Romo tersenyum tipis. "Mungkin itu salah satu jalan terbaik."


Marlon kembali bersandar, menatap langit-langit rumah Pak Herman. Dunia memang abu-abu, dan tugas mereka adalah menemukan cahaya di antara bayang-bayangnya.


Diskusi malam itu begitu panjang dan intens. Ruang tamu Pak Herman terasa lebih kecil dari biasanya, seolah dipenuhi oleh pemikiran-pemikiran yang beterbangan di udara.


Marlon masih terlihat ingin terus membahas lebih jauh, tetapi Pak Herman tiba-tiba berdeham keras. "Oke, cukup dulu ya. Kepala bapak udah panas ini, jangan sampai meledak."


Romo tersenyum tipis, sementara Riri menyandarkan kepalanya di sandaran sofa dengan lelah. "Setuju, Pak. Malam ini otak kita udah kerja lembur."


Marlon, yang masih terlihat bersemangat, mengangkat bahu. "Tapi kan kita baru mulai masuk ke bagian seru."


Pak Herman mengangkat tangan seperti seorang wasit yang menghentikan pertandingan. "Udah, udah. Besok pagi kalian ikut bapak ke pasar aja."


Marlon mengerutkan dahi. "Ke pasar?"


"Iya," jawab Pak Herman sambil tersenyum misterius. "Kalian udah kebanyakan teori. Sekarang kita lihat dunia nyata. Lihat langsung bagaimana manusia hidup, bagaimana mereka berjuang. Kita belanja, ngobrol sama pedagang, lihat transaksi, lihat bagaimana ekonomi berjalan di tempat seperti itu."


Riri langsung bangun dari posisi bersandarnya. "Eh, menarik nih! Tapi kita ke pasar mana, Pak?"


Pak Herman terkekeh. "Ke pasar tradisional, dong. Yang becek-becek, yang penjualnya pakai kalkulator mental lebih cepat dari anak kuliahan. Yang kalau nawar bisa dari harga sepuluh ribu turun jadi lima ribu, padahal untung mereka cuma seribu."


Romo tertawa kecil. "Wah, ini bakal jadi pengalaman yang menarik."


Marlon masih tampak berpikir, lalu mengangguk. "Baiklah. Kita lihat apa yang bisa kita pelajari dari pasar."


Pak Herman tersenyum puas. "Nah, itu baru benar. Besok pagi-pagi kita berangkat, jangan bangun kesiangan! Jam lima sudah jalan!"


Riri langsung protes. "Hah? Jam lima? Pak, kita mahasiswa, bukan ayam!"


Pak Herman tertawa keras. "Justru karena kalian mahasiswa, kalian harus tahu bagaimana kehidupan dimulai di pagi buta! Ayo, istirahat sekarang, besok kita belajar dari para pedagang."


Marlon, Riri, dan Romo akhirnya setuju. Malam itu mereka tidur dengan berbagai pikiran yang masih berseliweran di kepala. Besok, dunia nyata akan menyambut mereka di pasar.


Dan mungkin, pasar tradisional akan memberi mereka jawaban yang selama ini mereka cari.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HRM INTERNATIONAL

Definisi HRM (Manajemen Sumberdaya Manusia) Internasional Manajemen sumberdaya manusia internasional adalah proses mempekerjakan, mengembangkan dan memberi penghargaan orang di dalam organisasi internasional atau global. Hal ini melibatkan manajemen manusia di seluruh dunia, tidak hanya manajemen orang-orang ekspatriat/manca-negara saja. Sebuah perusahaan internasional adalah perusahaan yang operasi-operasinya berlangsung pada cabang-cabang luar negeri, yang mengandalkan pada kepakaran bisnis atau kapasitas produksi dari perusahaan induk. Perusahaan-perusahaan internasional dapat bersifat sangat tersentralisasi dengan kendali/ kontrol ketat. Perusahaan multinasional adalah perusahaan yang mana sejumlah besar bisnis di dalam berbagai negara dikelola sebagai sebuah kesatuan dari perusahaan pusat. Tingkat otonominya akan sangat beragam. Perusahaan-perusahaan global menawarkan produk-produk atau layanan-layanan yang dirasionalkan dan distandarisasi untuk memungkinkan produksi atau pr...

Kompensasi

   Kompensas  Pengertian Kompensasi             Pemberian kompensasi yang tepat akan berpengaruh positif terhadap karyawan, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kompensasi menjadi tujuan utama untuk sebagian besar karyawan yang bekerja di dalam suatu perusahaan. Untuk memperoleh gambaran mengenai kompensasi berikut ini akan dikemukakan definisi-definisi mengenai kompensasi menurut beberapa ahli : Menurut Dessler (2007 : 46) Kompensasi karyawan adalah