Langsung ke konten utama

Dunia Abu - Abu Chapter 7 - Realitas Tak Terbatas

Jam 3 Pagi – Rumah Pak Herman


Udara masih dingin ketika Marlon, Riri, dan Romo tiba di rumah Pak Herman. Mereka menguap bergantian, masih setengah sadar, sementara Pak Herman sudah segar bugar dengan sarung dan kaus oblong, menyeruput kopi hitam di teras rumahnya.


"Kalian siap?" tanya Pak Herman, suaranya penuh semangat seperti komentator bola.


Marlon mengucek matanya. "Pak, orang normal tidur jam segini."


"Orang sukses bangun jam segini," sahut Pak Herman sambil tertawa. "Ayo, sebelum istri saya marah gara-gara kalian malah tidur di sini."


Riri tersenyum tipis. "Jadi kita ke pasar mana dulu, Pak?"


Pak Herman menarik napas panjang, lalu mulai menjelaskan seperti seorang dosen ekonomi yang penuh pengalaman hidup.


"Kita ke Pasar Baru. Itu pasar tradisional terbesar di daerah ini. Saya mau kalian rekam semua interaksi di sana. Cara pedagang menawarkan barang, cara pembeli menawar, bahasa tubuh mereka. Ini penting buat diskusi nanti siang. Jangan cuma lihat angka-angka di ekonomi, lihat manusianya."


"Wah, kayak investigasi sosial gitu ya," kata Romo sambil menyalakan kamera HP-nya.


"Bukan cuma sosial, tapi ekonomi, psikologi, dan bahkan religi," kata Pak Herman. "Di pasar, kalian akan lihat bagaimana orang bergumul dengan keserakahan dan kejujuran, dengan ketekunan dan kemalasan, dengan harapan dan putus asa. Pasar itu miniatur kehidupan."


Marlon melirik Riri. "Kita kayak mau syuting film dokumenter."


Pak Herman menepuk bahu Marlon. "Film dokumenter yang tidak dibayar. Ayo, ke mobil."


Perjalanan ke Pasar


Mobil melaju di jalanan yang masih sepi. Lampu jalan berpendar temaram, menciptakan bayangan-bayangan panjang di aspal.


"Pak Herman, kenapa sih harus jam segini ke pasar? Kenapa nggak siang aja?" keluh Marlon sambil menyandarkan kepalanya di kaca.


"Karena kalau siang, kalian cuma lihat pasar yang sudah jadi. Bukan prosesnya," jawab Pak Herman. "Pedagang datang pagi-pagi, transaksi pertama itu yang menentukan hari mereka. Ada kepercayaan kalau dagangan pertama itu ‘penglaris’, jadi pedagang bakal nurunin harga, bahkan bisa jual rugi, asalkan laku. Bayangkan, ada yang percaya kesuksesan hari itu ditentukan oleh pembeli pertama. Itu kan psikologi sekaligus spiritualitas."


Romo mengangguk. "Ada unsur takhayul di situ, tapi juga ada prinsip ekonomi. Ciptakan permintaan lebih awal supaya roda uang berputar."


"Betul!" Pak Herman menepuk setir. "Dan di sinilah kita belajar. Uang itu bukan cuma angka, tapi kepercayaan, ketakutan, dan harapan yang dikonversi."


Riri menyilangkan tangan. "Jadi kalau ada orang beli duluan tapi cuma nawar-nawar doang tanpa beli, bisa bikin pedagang bad mood ya?"


"Bisa," kata Pak Herman. "Itu namanya PHP ekonomi."


Di Pasar


Mereka tiba di pasar yang sudah mulai ramai. Aroma bumbu dapur bercampur dengan bau ikan segar dan sayur-mayur. Suara tawar-menawar bersahut-sahutan. Pak Herman berjalan mantap sambil sesekali menyapa pedagang.


"Bu Siti! Sehat?"


"Alhamdulillah, Pak Herman. Ini mau belanja sama anak-anaknya?"


Pak Herman tertawa. "Bukan anak, ini mahasiswa penasaran. Lagi belajar hidup!"


Riri mencatat di buku kecilnya. "Pak, ini menarik. Pedagang saling sapa seperti keluarga, seolah nggak ada persaingan. Padahal kalau di teori ekonomi, harusnya mereka saingan."


Pak Herman mengangguk. "Betul, tapi di pasar tradisional, persaingan nggak kayak di korporasi besar. Di sini, kalau satu pedagang kehabisan stok, dia malah nyuruh pelanggan ke lapak sebelah. Ada solidaritas, ada kepercayaan. Ini yang disebut ‘ekonomi berbasis relasi’, bukan sekadar untung-rugi."


Marlon yang merekam suasana tiba-tiba terdiam melihat seorang bapak tua tengah berbicara dengan pedagang ayam.


"Tolong, Bu, ayamnya kecil aja. Duit saya pas-pasan," kata bapak itu.


Pedagang ayam menghela napas. "Ya udah, Pak. Saya kasih harga modal aja, nggak apa-apa."


Marlon menoleh ke Pak Herman. "Pak, ini contoh yang Bapak bilang tadi, ya? Soal kepercayaan dan solidaritas di ekonomi?"


Pak Herman tersenyum. "Lihat, kamu mulai mengerti. Kalau di supermarket, harga nggak bisa dinegosiasi. Tapi di sini, ekonomi dan kemanusiaan masih berdampingan."


Romo ikut menimpali. "Tapi kalau semua pakai harga modal terus, nanti mereka bisa rugi, kan?"


"Itu tantangannya," kata Pak Herman. "Makanya, keseimbangan itu penting. Kalau terlalu baik, bisa bangkrut. Kalau terlalu kejam, pelanggan kabur. Itulah realitas ekonomi—nggak ada yang benar-benar hitam atau putih."


Mereka melanjutkan perjalanan, sesekali berhenti untuk mengamati interaksi. Ada yang menawar sambil bercanda, ada yang adu argumen soal harga, ada yang sekadar ngobrol karena sudah akrab.


Saat matahari mulai naik, Pak Herman melihat jam tangannya. "Oke, cukup buat pagi ini. Kita balik dan bahas semua yang kalian lihat. Siap?"


Marlon tersenyum. "Siap, Pak! Kayaknya saya mulai ngerti kenapa Bapak ngajak ke sini."


Riri mengangguk. "Iya. Ini bukan sekadar ekonomi, ini tentang manusia."


Pak Herman tersenyum puas. "Bagus. Sekarang kita cari sarapan dulu, sebelum kalian pingsan."


Pagi yang Tenang, Pasar yang Damai


Suasana di warung makan itu terasa hangat dan nyaman. Aroma nasi goreng yang baru diangkat dari penggorengan bercampur dengan wangi kopi hitam yang mengepul di meja kayu sederhana. Sebuah radio tua di pojok ruangan memutar lagu lawas, suaranya agak serak, tapi justru menambah kesan nostalgia di pagi itu. Beberapa pelanggan duduk santai menikmati sarapan mereka, berbincang ringan tentang berita di koran atau sekadar mengobrol dengan pemilik warung.


Di meja dekat jendela, Riri, Marlon, dan Pak Herman tengah menikmati sarapan mereka. Riri meletakkan sendoknya, menatap ke luar jendela ke arah pasar yang baru saja mereka lalui. Para pedagang tampak bercengkerama, beberapa tersenyum lebar sambil melayani pelanggan. Tidak ada teriakan persaingan yang sengit, tidak ada adu mulut, semua tampak biasa saja.


“Pak, kenapa ya pasar itu terlihat begitu damai?” tanya Riri tiba-tiba. "Padahal persaingan ada, kan? Tapi semua terlihat seperti… ya sudah, normal saja."


Pak Herman tersenyum kecil, menyeruput kopinya sebelum menjawab, “Apa yang kamu lihat itu hanya permukaan, Nak.”


Marlon menoleh, tertarik. "Maksudnya, Pak?"


Pak Herman meletakkan cangkirnya, menatap mereka berdua dengan sorot mata seorang yang telah melihat banyak hal dalam hidup.


“Kalian tahu es batu, kan? Yang terlihat di atas air itu hanya sebagian kecil dari keseluruhan bongkahan. Bagian terbesar dari es itu ada di bawah, tersembunyi di dalam air. Begitu juga dengan kehidupan, terutama persaingan di dunia bisnis.”


Riri mengerutkan kening. “Jadi maksud Bapak, ada hal-hal yang tidak terlihat di balik pasar yang tadi kita lihat?”


Pak Herman mengangguk pelan. “Betul. Yang kalian lihat hanya interaksi permukaan, transaksi yang terjadi secara kasat mata. Tapi di balik layar, ada strategi, ada siasat, ada upaya untuk bertahan. Ada yang bersaing dengan cara jujur, tapi ada juga yang bermain kotor. Ada yang bertahan dengan kualitas, ada yang bertahan dengan menjatuhkan lawan. Dunia usaha itu seperti peperangan yang tidak selalu memakai senjata.”


Marlon menopang dagunya, tampak berpikir. “Tapi kalau begitu, kenapa mereka tetap bisa terlihat damai?”


Pak Herman tersenyum miring. “Karena mereka harus terlihat damai. Orang tidak akan membeli dari penjual yang tampak bermusuhan atau penuh dendam. Mereka harus tetap tersenyum, tetap terlihat ramah, agar pembeli datang. Itu juga bagian dari strategi.”


Riri termenung. “Jadi kita tidak bisa langsung percaya apa yang kita lihat, ya?”


Pak Herman mengangguk lagi. “Manusia itu cenderung mempercayai apa yang mereka lihat, tapi lupa bahwa mata hanya bisa menangkap permukaan. Itu sebabnya banyak orang tertipu. Seperti ilusi di padang pasir, seperti bayangan di cermin. Dunia ini penuh dengan hal-hal yang terlihat sederhana, tapi sebenarnya rumit.”


Marlon tersenyum kecil. “Jadi, dunia ini abu-abu, ya, Pak?”


Pak Herman terkekeh. “Lebih dari itu, Nak. Dunia ini seperti cermin yang bisa memantulkan apa saja. Kadang yang terlihat adalah kebaikan, kadang keburukan, tergantung dari sudut mana kita melihat.”


Riri dan Marlon saling berpandangan. Obrolan pagi ini mungkin sederhana, tapi membuka perspektif mereka lebih luas lagi. Sarapan yang awalnya hanya sekadar mengisi perut, kini juga menjadi santapan bagi pikiran mereka.


Kedamaian yang Semu


Pagi masih berembun ketika obrolan mereka bergeser dari sekadar membahas pasar menjadi sesuatu yang lebih besar. Di warung makan sederhana itu, aroma nasi goreng bercampur dengan wangi kopi hitam yang mengepul dari cangkir-cangkir di meja kayu. Suara pengunjung yang berbincang ringan menjadi latar belakang yang menenangkan.


Marlon meletakkan sendoknya dan menghela napas. “Kedamaian yang semu lagi, ya?” gumamnya sambil menatap ke luar jendela.


Romo mengangkat alis. “Maksudmu?”


Marlon menoleh, tangannya berputar di atas meja seakan mencari kata-kata. “Seperti negara ini. Dipaksa terlihat damai demi citra baik, padahal di dalamnya seperti api dalam sekam, siap meledak kapan saja. Pemerintah bicara soal stabilitas, kesejahteraan, toleransi. Tapi kenyataannya?” Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap ke langit-langit. “Masyarakat bukan anak kecil. Mereka sudah tahu kebusukan yang disembunyikan.”


Pak Herman tersenyum kecil sambil menyeruput kopinya. “Kalian ini pagi-pagi sudah bicara hal berat,” ujarnya santai.


Riri ikut menimpali. “Tapi memang benar, Pak. Sekarang semua bicara soal toleransi beragama, tapi tetap saja, siapa yang mayoritas lebih mudah dapat akses ibadah. Yang minoritas? Susahnya minta ampun. Mau bangun tempat ibadah aja bisa bertahun-tahun kena aturan yang nggak jelas.”


Romo meletakkan sendoknya perlahan. “Itu karena yang kita lihat adalah panggung depan.”


Marlon meliriknya. “Panggung depan?”


Romo mengangguk. “Pemerintah, media, bahkan kita sebagai masyarakat selalu punya panggung depan dan panggung belakang. Panggung depan adalah apa yang ditampilkan ke publik—kedamaian, toleransi, kebersamaan. Tapi panggung belakang? Penuh dengan konflik kepentingan, kesenjangan, ketidakadilan. Dan semakin banyak orang percaya pada panggung depan, semakin sulit untuk membongkar apa yang ada di belakangnya.”


Pak Herman menaruh cangkirnya dengan tenang. “Tapi kalau tidak ada panggung depan, orang-orang bisa kehilangan harapan.”


Riri mengernyit. “Maksud Bapak?”


Pak Herman menghela napas pelan. “Kalau semua borok langsung diumbar, kalau semua ketidakadilan diumumkan tanpa solusi, orang-orang bisa putus asa. Ilusi kedamaian itu bukan hanya untuk kepentingan mereka yang berkuasa, tapi juga untuk menjaga agar masyarakat tetap punya harapan.”


Marlon tersenyum miring. “Jadi, lebih baik kita terus ditipu?”


Pak Herman tertawa kecil. “Bukan begitu, Nak. Tapi kenyataan itu harus dihadapi dengan keseimbangan. Kalau hanya mengutuk tanpa memahami sistemnya, kita cuma jadi suara yang hilang di tengah keramaian.”


Marlon terdiam, menatap cangkir kopinya. Pagi yang tadinya terasa ringan kini terasa sedikit lebih berat, seiring dengan obrolan yang membawa pikirannya melayang lebih jauh.


Diskusi di Hutan Kota


Setelah sarapan selesai, Pak Herman menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap tiga anak muda di hadapannya dengan senyum santai. “Kalian ini pagi-pagi sudah bicara yang berat-berat. Kepala panas begitu, nanti malah makin ribet mikirnya.”


Marlon menyeringai. “Lah, emang dunia ini udah ribet, Pak.”


Pak Herman tertawa kecil lalu berdiri sambil merenggangkan tubuhnya. “Makanya, biar nggak makin panas, kita nongkrong di tempat yang bisa mendinginkan kepala.”


Riri menatapnya curiga. “Maksudnya?”


Pak Herman mengambil kunci motornya dan melangkah ke luar. “Hutan kota. Tempat adem, kepala dingin, hati tenang. Kalian ngomongin dunia yang abu-abu terus, ya sekalian lihat tempat yang nggak hitam, nggak putih, tapi hijau.”


Tanpa banyak protes, mereka pun mengikuti ajakan Pak Herman.


Begitu sampai di hutan kota, udara sejuk langsung menyambut mereka. Pepohonan tinggi menjulang, dedaunan berbisik lembut saat angin menerpa. Jalur setapak dari batu kecil mengarah ke bangku-bangku kayu yang tersebar rapi. Suara burung bercampur dengan gemerisik ranting yang bergesekan. Dibandingkan hiruk-pikuk kota, tempat ini terasa seperti dunia yang berbeda.


Marlon menarik napas dalam. “Gila, enak banget di sini.”


Pak Herman tertawa kecil. “Nah, kan? Kalau diskusi di tempat kayak gini, pikiran nggak gampang panas.”


Mereka memilih sebuah bangku kayu di bawah pohon besar. Pak Herman duduk dengan santai, sementara Romo dan Riri menyesuaikan posisi. Marlon justru memilih duduk di atas rerumputan, membiarkan telapak tangannya menyentuh tanah yang masih agak lembap.


Riri menatap ke sekeliling. “Jujur, saya lupa kalau kota ini punya tempat seperti ini.”


Pak Herman tersenyum. “Kebanyakan orang sibuk lihat kemacetan, gedung tinggi, dan panasnya jalanan. Mereka lupa kalau masih ada tempat seperti ini.” Ia melirik Marlon. “Sama kayak negara ini. Orang-orang fokus sama panggung depan yang panas, lupa kalau masih ada bagian lain yang lebih adem.”


Marlon menoleh dengan ekspresi berpikir. “Jadi menurut Bapak, kita harus lihat dunia dari sudut yang lebih luas?”


Pak Herman mengangguk. “Kalau cuma lihat dari satu sisi, kita cuma bakal dapat separuh kebenaran.”


Romo yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. “Tapi tidak bisa dipungkiri, Pak. Orang-orang kebanyakan memang hanya diberi satu sudut pandang. Entah karena disembunyikan, atau karena mereka memang nggak mau mencari sudut pandang lain.”


Pak Herman mengangkat bahunya. “Manusia memang lebih nyaman dengan apa yang mereka anggap benar. Makanya, kalau mau lihat kenyataan yang lebih lengkap, kita harus keluar dari kebiasaan.”


Marlon tersenyum tipis. “Kayak kita sekarang, keluar dari tempat biasa buat nongkrong di hutan kota.”


Pak Herman terkekeh. “Nah, itu dia. Paling nggak, sekarang kalian bisa berpikir lebih dingin.”


Mereka pun tertawa kecil, sementara angin kembali berhembus, menggoyangkan dedaunan di atas mereka.


Komplen, Kebenaran, dan Sosial Media


Angin di hutan kota berhembus sejuk, membuat dedaunan bergoyang ringan. Suasana tenang ini seperti kontras dengan obrolan mereka yang mulai merambah ke topik yang lebih dalam. Setelah mendengar penjelasan Pak Herman, Romo bersandar ke bangku kayu, menatap langit yang tertutup oleh ranting-ranting pohon.


“Benar, Pak,” katanya akhirnya. “Dengan kata lain, kita sebagai manusia lebih sering mencari pembenaran daripada kebenaran.”


Marlon menoleh dengan penasaran. “Maksudnya?”


Romo melanjutkan dengan nada santai, “Kayak di sosial media sekarang. Orang-orang dulu juga banyak yang nggak suka satu sama lain atau punya banyak keluhan. Tapi karena nggak ada medianya, mereka cuma bisa mendem sendiri. Paling-paling ngomel di kamar sambil natap langit-langit.”


Riri terkikik. “Iya, dulu orang kalau kesel paling ngeluarin unek-unek ke temennya doang. Sekarang?”


Romo mengangkat bahu. “Sekarang tinggal buka Twitter, TikTok, Instagram. Komplen di situ. Dan ternyata banyak orang yang punya pemikiran sama. Lama-lama mereka pikir, ‘Wah, banyak juga yang setuju sama gue. Berarti gue yang paling benar.’”


Pak Herman tertawa, menepuk pahanya. “Hahaha! Ini ada benarnya juga. Jaman dulu kalau nggak suka sama sesuatu, ya udah, paling ngomong di warung kopi. Sekarang? Ada platform buat ngomel. Semua orang bisa jadi komentator dadakan.”


Marlon menggeleng pelan. “Yang lebih parah, kadang orang bukan cari kebenaran, tapi cari teman buat ngebenci sesuatu bareng-bareng.”


Pak Herman menunjuk Marlon sambil nyengir. “Nah, itu! Makanya saya bilang, internet ini kayak pisau. Bisa buat masak, bisa juga buat nyolok orang.”


Riri mengerutkan dahi. “Analoginya serem banget, Pak.”


Pak Herman tertawa. “Biar gampang dipahami. Intinya, kalau kita cuma cari orang yang setuju sama kita, kita nggak lagi cari kebenaran. Kita cuma cari pembenaran.”


Romo mengangguk. “Bener. Kayak kalau ada orang percaya bumi datar, terus dia bikin grup isinya orang-orang yang juga percaya bumi datar. Mereka nggak bakal mau dengerin ilmuwan atau bukti nyata, karena mereka udah merasa ‘banyak orang yang sepemikiran, berarti kami benar’.”


Marlon menimpali, “Iya, mereka pikir kebenaran itu bisa ditentukan pakai voting.”


Semua tertawa kecil.


Riri menambahkan dengan nada jahil, “Tapi ada untungnya juga sih ada sosial media. Kalau nggak, kita nggak akan tahu ada orang-orang yang mikir bumi itu datar atau yang percaya teori konspirasi aneh-aneh.”


Pak Herman tertawa. “Hahaha, iya, jadi hiburan gratis!”


Romo tersenyum sambil mengaduk-aduk rumput dengan ujung sepatunya. “Tapi itu juga jadi bukti kalau manusia itu cenderung mencari kenyamanan dalam pikirannya sendiri. Kalau ada orang yang bilang sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan mereka, mereka langsung defensif.”


Marlon menghela napas. “Jadi ujung-ujungnya kita harus gimana? Ikutan cari pembenaran atau terus ngejar kebenaran?”


Pak Herman menatap mereka satu per satu, lalu berkata dengan nada bijak, “Kalau bisa, tetap cari kebenaran. Tapi jangan lupa sesekali ketawa.”


Riri tertawa. “Wah, ini quotes of the day banget, Pak!”


Romo tersenyum. “Bener juga sih, kalau kebanyakan mikir malah stres sendiri.”


Mereka semua tertawa lagi. Di tengah hutan kota yang sejuk, obrolan mereka mengalir ringan, membahas dunia yang semakin rumit dengan gaya yang santai. Hari masih pagi, dan meskipun topik mereka serius, suasana tetap terasa menyenangkan.


Angin yang berhembus sejuk di hutan kota mulai terasa sedikit lebih hangat seiring dengan topik yang semakin serius. Marlon, Romo, dan Riri masih saling melempar argumen, membahas bagaimana orang-orang di sosial media lebih sibuk mencari pembenaran daripada kebenaran.


Pak Herman, yang sejak tadi hanya mendengarkan dengan senyum kecil, akhirnya mengangkat tangannya. “Eh, eh, sebelum kepala kalian kepanasan lagi, saya kasih satu fakta menarik.”


Mereka bertiga menoleh.


Pak Herman bersandar santai di bangku kayu, menyilangkan kakinya. “Dulu, kalau orang bisa komplen seenaknya kayak sekarang? Mungkin dia udah hilang entah ke mana.”


Marlon mengangkat alis. “Maksudnya, Pak?”


Pak Herman terkekeh. “Ya, zaman dulu, sebelum ada sosial media, kalau ada orang terlalu vokal, besoknya bisa lenyap. Kayak sulap. Hari ini masih teriak di warung kopi, besok bangkunya kosong. Habis itu yang lain pura-pura nggak kenal.”


Riri menahan tawa. “Waduh, serem juga ya, Pak?”


Pak Herman mengangguk mantap. “Serem, tapi nyata. Dulu tuh nggak ada yang berani ngoceh sembarangan. Beda sama sekarang, yang penting punya akun anonim, bisa nyinyir siapa aja tanpa takut diciduk.” Ia menggeleng pelan, lalu menambahkan dengan nada satire, “Dulu kalau ada yang kebanyakan ngomel soal pemerintah, diajak jalan-jalan. Tapi bukan ke hutan kota kayak kita ini. Lebih ke... ‘wisata seumur hidup’.”


Romo tertawa kecil. “Hahaha, iya, Pak. Wisata tanpa tiket pulang.”


Pak Herman menepuk pahanya. “Makanya saya bilang, kalian ini beruntung. Hidup di zaman di mana bisa ngomel tanpa takut tiba-tiba dijemput orang nggak dikenal.”


Marlon menyeringai. “Iya sih, Pak. Tapi tetap aja, kalau ngomongnya terlalu frontal, bisa-bisa kena UU ITE.”


Pak Herman terkekeh. “Nah, itu! Dulu dilarang ngomong, sekarang boleh ngomong tapi harus hati-hati. Bedanya tipis. Kayak dikasih mic tapi volumenya diatur orang lain.”


Riri tertawa. “Atau dikasih mic tapi kabelnya nggak dicolokin.”


Mereka semua tertawa, suasana kembali cair.


Pak Herman menghembuskan napas lega. “Makanya, kalau ngomel di sosial media, boleh. Tapi jangan lupa, kalau ngomelnya kelewat keras, bisa tiba-tiba di-‘ajak ngobrol’ juga.”


Marlon mengangguk. “Jadi, tetap harus pinter-pinter, ya?”


Pak Herman tersenyum. “Iya. Karena kalau zaman dulu salah ngomong, bisa masuk berita dengan keterangan ‘terpeleset di kamar mandi’.”


Gelak tawa kembali pecah di antara mereka. Obrolan yang sempat menghangat kini mencair lagi, dibawa oleh humor satire khas Pak Herman. Hutan kota tetap sejuk, dan kepala mereka yang tadi mulai panas perlahan kembali adem.


Setelah menghabiskan waktu di hutan kota, mereka kembali ke rumah Pak Herman. Perjalanan pulang terasa lebih santai, angin siang masih cukup sejuk, dan obrolan di hutan tadi masih terngiang di kepala mereka.


Pak Herman tinggal di rumah sederhana yang juga merangkap sebagai warung kecil. Di terasnya ada beberapa bangku panjang, sementara bagian depan rumah dipenuhi rak yang berisi berbagai barang dagangan—kopi sachet, rokok, mi instan, sampai camilan ringan.


Begitu sampai, Marlon dan Romo langsung menurunkan kantong belanjaan yang mereka beli tadi pagi di pasar. Riri membantu menyusun barang-barang itu ke rak.


“Pak, ini belanjaan yang tadi,” kata Marlon sambil menyerahkan kantong plastik.


Pak Herman menerima kantong itu dan tersenyum. “Wah, makasih! Warung kecil ini butuh pemasok juga, biar tetap bisa bersaing.”


Romo tertawa kecil. “Persaingan di pasar yang kita omongin tadi, Pak, termasuk persaingan warung juga?”


Pak Herman tertawa lepas. “Hahaha! Jelas! Tapi saya santai aja. Kalau warung sebelah laku lebih banyak, ya rezeki mereka. Kalau saya laku, ya rezeki saya. Cuma ya, kalau ada yang main curang, itu baru bikin gerah.”


Mereka bertiga tertawa kecil. Setelah semua barang tersusun di warung, mereka masuk ke ruang tamu Pak Herman, tempat mereka biasa berdiskusi. Ruangan itu sederhana, dengan sofa tua yang nyaman, meja kayu yang penuh dengan tumpukan buku, dan kipas angin yang berputar pelan.


Marlon membuka laptopnya di atas meja. “Oke, Pak, kita mau mulai olah data dari video tadi.”


Pak Herman duduk di kursinya dengan santai. “Silakan, saya penasaran juga. Mau lihat kedamaian pasar yang katanya cuma di permukaan itu.”


Romo ikut duduk, bersandar ke sofa. “Kami juga semakin penasaran, Pak. Soalnya, kalau dilihat sekilas, pasar tadi damai banget. Tapi setelah dengar cerita pedagangnya, kayak ada dunia lain di balik itu semua.”


Marlon mulai memutar video di laptop. Semua mata tertuju pada layar, melihat ulang rekaman suasana pasar, interaksi pedagang dan pembeli, serta percakapan yang sempat mereka rekam diam-diam.


Pak Herman mengangguk-angguk, lalu berkata dengan nada santai, “Nah, ini yang saya bilang tadi. Dunia ini tuh penuh topeng. Kedamaian yang kita lihat di depan mata sering kali bukan kedamaian yang sebenarnya.”


Riri menatap layar dengan serius. “Jadi, yang selama ini kita anggap damai, bisa jadi cuma karena kita nggak lihat sisi gelapnya?”


Pak Herman mengangguk. “Betul. Sama kayak negara ini.”


Marlon tersenyum tipis. “Seperti yang kita omongin di hutan tadi ya, Pak? Kedamaian semu. Dari luar kelihatan tenang, tapi di dalamnya bisa aja penuh konflik yang siap meledak.”


Pak Herman tersenyum kecil. “Nah, itu! Makanya, kalau kalian mau cari kebenaran, jangan cuma lihat permukaannya aja. Gali lebih dalam.”


Romo bersandar lebih dalam ke sofa. “Berarti perjalanan kita masih panjang, ya?”


Pak Herman terkekeh. “Iya, masih panjang. Dan hati-hati, karena semakin dalam kalian menggali, semakin banyak hal yang bisa bikin kalian tercengang.”


Marlon, Romo, dan Riri saling berpandangan. Mereka tahu, penelitian ini baru saja dimulai. Dan seperti kata Pak Herman, semakin mereka mencari kebenaran, semakin mereka menyadari bahwa dunia ini lebih rumit dari yang mereka kira.


Setelah menata barang belanjaan di warung Pak Herman, mereka berempat duduk di ruang tamu. Laptop Marlon sudah menyala di atas meja, siap memutar video dari pasar tadi pagi. Namun sebelum masuk ke analisis, Marlon mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka menunda sebentar.


“Romo, sebelum kita bahas hasil pengamatan kita tadi, gue pengen lo jelasin dulu,” kata Marlon sambil menyandarkan punggung ke kursi. “Pasar di zaman Nabi Muhammad itu kayak gimana sih? Islam ngajarin sistem perdagangan itu bagaimana?”


Riri mengangguk setuju. “Biar kita punya patokan untuk dibandingkan sama kondisi pasar yang kita lihat tadi.”


Romo tersenyum kecil, sepertinya sudah bisa menebak arah diskusi ini. Ia mengambil posisi duduk yang lebih tegap dan mulai berbicara dengan nada tenang.


“Baiklah,” katanya. “Kalau kita bicara soal pasar di zaman Nabi Muhammad, kita harus lihat dulu konteks sosial dan ekonomi di Jazirah Arab saat itu. Pasar adalah pusat kehidupan ekonomi, tempat orang-orang dari berbagai suku dan bangsa berkumpul untuk berdagang.”


Pak Herman menyilangkan tangan di dada dan mengangguk-angguk. “Oke, lanjut.”


Romo melanjutkan, “Sebelum Islam datang, sistem perdagangan di Mekah sudah cukup berkembang, terutama karena posisi geografisnya yang strategis. Orang-orang Quraisy waktu itu mengandalkan perdagangan lintas wilayah, dengan jalur dagang yang menghubungkan Yaman di selatan hingga Syam di utara.”


Marlon menyela, “Jadi sebelum Nabi Muhammad diutus, sistem pasar sudah ada, tapi gimana aturannya?”


Romo menghela napas sejenak. “Nah, sebelum Islam, banyak praktik perdagangan yang nggak adil. Misalnya, ada monopoli dagang oleh orang-orang kaya, ada riba atau bunga yang sangat tinggi, dan kecurangan dalam takaran serta timbangan. Barang-barang berkualitas rendah sering dijual dengan harga tinggi, dan yang lebih miskin sering dirugikan.”


Pak Herman terkekeh. “Wah, mirip sama kondisi sekarang. Bedanya, sekarang lebih modern aja caranya.”


Romo tertawa kecil. “Nah, waktu Nabi Muhammad diutus, Islam datang membawa aturan yang lebih adil dalam perdagangan. Prinsip dasarnya adalah kejujuran dan keadilan. Islam sangat menekankan larangan terhadap riba, kecurangan timbangan, dan monopoli yang merugikan.”


Riri menopang dagunya dengan tangan. “Gimana teknisnya, Mo? Maksudnya, gimana Nabi Muhammad membangun sistem perdagangan yang lebih adil?”


Romo mengangguk, berpikir sejenak sebelum menjawab. “Pertama, Nabi mencontohkan sendiri bagaimana menjadi pedagang yang jujur. Bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau sudah dikenal sebagai ‘Al-Amin’, yang berarti orang yang terpercaya. Ketika berdagang, beliau selalu transparan soal kualitas barang, nggak pernah curang dalam timbangan, dan selalu memenuhi janji kepada pelanggan.”


Pak Herman tersenyum. “Jadi dia bukan cuma bicara, tapi juga kasih contoh langsung?”


“Betul,” jawab Romo. “Kemudian, setelah Islam berkembang, Nabi mulai menata sistem perdagangan secara lebih luas. Salah satu contohnya adalah beliau melarang praktik monopoli. Dalam Islam, jika ada seseorang yang menimbun barang dan sengaja menaikkan harga untuk keuntungan pribadi, itu dianggap sebagai tindakan yang zalim.”


Marlon menyipitkan mata. “Lalu, gimana cara Islam mencegah perdagangan yang nggak adil?”


Romo menjawab, “Ada beberapa aturan yang dibuat. Pertama, larangan riba—jadi nggak boleh ada bunga yang berlebihan dalam transaksi. Kedua, ada larangan penimbunan barang untuk spekulasi harga. Ketiga, sistem jual beli harus berdasarkan prinsip suka sama suka, tanpa ada unsur pemaksaan atau penipuan.”


Pak Herman mengangguk-angguk, lalu berseru, “Wah, kalau diterapkan di zaman sekarang, banyak yang bakal ketangkep, nih.”


Semua tertawa kecil.


Riri menambahkan, “Jadi, kalau di zaman Nabi, pasar itu lebih terbuka dan lebih adil, ya?”


Romo mengangguk. “Iya, karena Islam mengajarkan bahwa perdagangan bukan sekadar cari untung, tapi juga ibadah. Nabi Muhammad pernah bilang bahwa pedagang yang jujur dan terpercaya akan bersama para nabi dan orang-orang saleh di akhirat nanti. Artinya, berdagang itu bukan cuma soal uang, tapi juga soal moral.”


Marlon termenung sejenak, lalu menatap layar laptopnya. “Oke, ini menarik. Sekarang, mari kita lihat apakah pasar yang kita datangi tadi masih ada kemiripannya dengan pasar di zaman Nabi… atau malah kebalikannya.”


Romo tersenyum. “Nah, itu yang kita akan bahas sekarang.”


Pak Herman bersandar santai di kursinya. “Oke, mari kita mulai bongkar kedamaian semu itu.”


Marlon menekan tombol play, dan video pasar pagi tadi mulai diputar, menampilkan realitas yang mereka saksikan secara langsung.


Marlon menekan tombol play, dan layar mulai menampilkan suasana pasar. Dari pandangan pertama, semua terlihat damai—pedagang dan pembeli saling bercengkerama, tawar-menawar berlangsung santai, suara riuh rendah manusia bercampur dengan aroma rempah-rempah dan sayuran segar.


Tapi semakin lama mereka memperhatikan, semakin banyak detail kecil yang tampak… agak mencurigakan.


1. Diskon Lebih Murah, Harga Perang!

Di rekaman, seorang pedagang sayur tampak menarik perhatian pembeli.


“Bu, ini bayamnya segar! Lima ribu dua ikat!” serunya penuh semangat.


Tak jauh dari sana, seorang pedagang lain menoleh dan langsung menanggapi, “Lima ribu dua ikat? Saya kasih lima ribu tiga ikat!”


Pedagang pertama tampak tak mau kalah. “Lima ribu tiga ikat? Saya kasih lima ribu empat ikat sekalian!”


Riri mengernyit. “Ini perang harga atau adu gengsi?”


Pak Herman tertawa kecil. “Kalau begini terus, lama-lama gratis ini bayamnya.”


Romo mengangguk sambil berpikir. “Persaingan seperti ini tidak sehat. Kalau terus ditekan begini, pedagang kecil bisa bangkrut.”


Marlon maju ke bagian lain rekaman.


2. Klaim "Saya Paling Murah"

Sekarang layar menampilkan seorang pedagang buah yang dengan bangga berkata, “Semua pedagang di sini ambil barang dari saya! Harga saya pasti paling murah!”


Marlon menatap layar dengan skeptis. “Ini pernyataan yang sulit diverifikasi. Bisa jadi benar, bisa juga cuma strategi pemasaran.”


Romo menambahkan, “Atau harga murahnya karena kualitasnya yang… ya, begitu.”


Pak Herman tersenyum. “Biasanya kalau sesuatu terlalu murah, ada yang harus dikorbankan. Bisa kualitas, bisa keuntungan, bisa juga kejujuran.”


Riri menunjuk ke layar. “Coba perbesar bagian bawah tumpukan buahnya.”


Marlon memperbesar gambar, dan ternyata di bawah tumpukan buah segar, tersembunyi beberapa buah yang sudah mulai membusuk.


“Ah, ini dia,” kata Riri. “Strategi klasik. Yang bagus dipajang di atas, yang sudah hampir busuk diselipkan di bawah.”


Pak Herman mengangguk. “Dan anehnya, semua pedagang pakai cara yang sama. Mungkin benar mereka ambil dari sumber yang sama, tapi bukan karena murah, melainkan karena butuh cara dagang yang sama.”


Romo menghela napas. “Di zaman Nabi Muhammad, menipu kualitas barang seperti ini dilarang keras. Nabi pernah bersabda, siapa yang menipu dalam jual beli, dia bukan bagian dari umatnya.”


Riri bersedekap. “Jadi kalau dibandingkan dengan prinsip dagang Islam, ini jelas tidak sesuai.”


3. Premanisme dan Rentenir Berkeliaran

Marlon mempercepat video ke bagian lain. Di rekaman, seorang pria bertubuh besar dengan pakaian mencolok menghampiri seorang pedagang yang sedang sibuk melayani pembeli.


“Pak, yang kemarin belum lunas, ya?” suaranya rendah tapi tegas.


Si pedagang tampak gelisah. “Iya, nanti sore saya bayar. Tenang saja.”


Pria besar itu menepuk bahunya. “Jangan lupa. Kalau telat, bunganya tambah.”


Pak Herman bersedekap. “Nah, ini dia. Preman pasar berkedok rentenir.”


Marlon menggeleng. “Dari zaman ke zaman, selalu ada yang seperti ini, ya?”


Romo menghela napas. “Ini yang membuat ekonomi pedagang kecil makin sulit. Mereka butuh modal cepat, tapi bunga pinjamannya membuat mereka terjebak dalam lingkaran utang.”


Riri menatap layar dengan prihatin. “Jadi di pasar ini, ada dua perang. Perang harga antar pedagang, dan perang bertahan hidup dari para rentenir.”


Pak Herman menyandarkan tubuh ke kursi dan menghembuskan napas panjang. “Jadi, menurut kalian, masih percaya kalau pasar tadi pagi itu benar-benar damai?”


Marlon menutup laptop dan menatap mereka. “Damai di permukaan, kacau di bawahnya. Sama seperti yang kita bicarakan tadi pagi. Kedamaian semu.”


Romo menambahkan, “Seperti negara ini.”


Mereka saling berpandangan, tersenyum masam.


Pak Herman mengambil gelas tehnya dan menyesap pelan. “Kadang saya kangen zaman dulu.”


Riri menyeringai. “Kenapa? Dulu tidak ada preman pasar?”


Pak Herman tertawa kecil. “Ada, tapi dulu kalau ada yang terlalu banyak protes, bisa-bisa hilang begitu saja.”


Marlon dan Romo tertawa, meski ada sedikit getir di baliknya.


Marlon lalu menepuk meja. “Oke, kalau begitu, kita harus cari cara untuk membandingkan data ini dengan sistem yang lebih ideal.”


Romo mengangguk. “Kita bisa cari literatur dan wawancara lebih dalam lagi.”


Riri tersenyum. “Perjalanan kita masih panjang.”


Pak Herman mengangkat gelas tehnya. “Santai saja. Yang penting kepala tetap dingin. Kalau panas, kita nongkrong di hutan kota lagi.”


Mereka semua tertawa. Dan di ruangan itu, meskipun diskusi mereka cukup berat, ada kehangatan yang membuat perjalanan mencari kebenaran ini terasa lebih ringan.


Setelah menutup laptop, suasana di rumah Pak Herman masih hangat. Teh hangat di cangkir mereka mulai mendingin, tetapi obrolan mereka justru semakin menarik. Pak Herman menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap tiga anak muda di depannya.


Pak Herman "Nanti kalau kalian benar-benar mau menggali lebih dalam soal pasar, saya kenalkan dengan langganan saya, Bu Siti. Dia sudah lama jualan di pasar itu. Kalian bisa dapat fakta-fakta dan mitos-mitos yang berkembang di sana langsung dari sumbernya."


Marlon mengangguk penuh semangat. "Wah, itu bagus, Pak. Kami memang butuh perspektif dari orang dalam."


Riri "Mitos-mitos di pasar? Maksudnya gimana, Pak?"


Pak Herman tersenyum kecil. "Banyak. Mulai dari mitos soal harga, persaingan, bahkan kepercayaan-kepercayaan aneh yang berkembang di antara para pedagang. Ada yang percaya kalau tokonya sepi itu bukan karena salah strategi, tapi karena 'dikirimi sesuatu' sama pesaing."


Riri terkekeh. "Serius, Pak? Kok mirip sinetron?"


Pak Herman mengangkat bahu. "Ya, begitulah. Kadang akal sehat kalah sama keyakinan yang udah turun-temurun."


Marlon mengangkat tangan seperti sedang di kelas. "Ngomong-ngomong soal mitos, aku juga punya satu hal yang dari dulu bikin penasaran. Kita sering dengar dari kecil bahwa Islam di Indonesia dibawa oleh pedagang dari Gujarat, kan?"


Romo: "Iya, memang begitu yang kita pelajari di sekolah."


Marlon: "Nah, aku pernah bicara dengan seorang tokoh, dia meluruskan hal ini. Katanya, sebenarnya Islam datang ke Indonesia bukan sekadar dibawa oleh pedagang Gujarat, tapi oleh para ulama yang punya kemampuan berniaga. Mereka datang bukan untuk berdagang semata, tapi untuk berdakwah. Jadi, syiar Islam mereka bukan untuk mencari nafkah, mereka berdagang hanya sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri."


Pak Herman mengangkat alis. "Menarik. Jadi bukan Islamnya yang dibawa oleh pedagang, tapi ulamanya yang juga bisa berdagang?"


Marlon: "Tepat! Mereka datang ke Nusantara sebagai pendakwah, bukan sebagai pedagang murni. Tapi karena mereka punya kemampuan berniaga, mereka bisa hidup mandiri tanpa bergantung pada orang lain. Itu sebabnya Islam cepat diterima di Indonesia. Mereka tidak datang untuk mencari keuntungan materi, tapi benar-benar untuk menyebarkan ajaran Islam."


Riri mengetuk meja pelan. "Jadi mereka benar-benar beda dengan beberapa orang sekarang yang menjadikan agama sebagai lahan bisnis?"


Romo tersenyum tipis. "Iya, itulah bedanya. Dakwah mereka tidak dikomersialisasi. Mereka datang dengan hati, bukan dengan tarif."


Pak Herman terkekeh. "Kalau mereka ada di zaman sekarang, mungkin bisa dikira jualan kursus motivasi, ya?"


Marlon tertawa. "Beda, Pak. Mereka bukan menjual mimpi, tapi membawa perubahan nyata."


Riri mengangguk-angguk. "Tapi kalau benar begitu, kenapa yang sering kita dengar tetap versi 'dibawa oleh pedagang Gujarat'?"


Romo berpikir sejenak sebelum menjawab. "Mungkin karena itu narasi yang lebih mudah diterima dan lebih simpel untuk dijelaskan di sekolah. Kalau bilang Islam dibawa oleh pedagang, masyarakat langsung membayangkan ada orang asing datang, berdagang, dan sambil lalu menyebarkan Islam. Tapi kalau dijelaskan bahwa yang datang adalah ulama yang berdagang hanya untuk bertahan hidup, ceritanya jadi lebih kompleks."


Pak Herman menyesap tehnya. "Dan sejarah selalu ditulis oleh mereka yang punya pengaruh lebih besar. Bisa jadi ada kepentingan tertentu agar narasi Islam di Indonesia hanya dianggap sebagai 'efek samping' perdagangan, bukan bagian dari gerakan dakwah yang terencana."


Marlon tersenyum puas. "Nah, itulah yang aku maksud. Kadang kita harus berani menggali lebih dalam daripada sekadar menerima apa yang diajarkan ke kita sejak kecil."


Riri menghela napas panjang. "Berarti ini juga mirip dengan pasar tadi, ya? Kita cuma lihat permukaannya, padahal ada banyak hal di balik layar yang harus kita pahami lebih dalam."


Pak Herman mengangguk pelan. "Selamat datang di dunia orang dewasa, Nak. Di mana hampir semua hal punya cerita tersembunyi di baliknya."


Mereka semua tertawa kecil. Obrolan yang awalnya sekadar membahas pasar berubah menjadi diskusi sejarah yang lebih dalam. Malam semakin larut, tapi semangat mereka untuk mencari kebenaran justru semakin menyala.


Romo menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu menatap Pak Herman dengan ekspresi berpikir. Dia menggoyangkan sendok teh di dalam cangkirnya sebelum akhirnya angkat bicara.


Romo: "Pak Herman, saya agak kurang setuju dengan pernyataan Bapak tadi. Sejarah bukan hanya ditulis oleh mereka yang punya pengaruh lebih besar, tapi lebih tepatnya ditulis oleh para pemenang. Ada kutipan yang sering saya ingat, 'The winner is the king, the loser is the bandit.' Eh, maksud saya, 'The winner is the king, the loser is the outlaw.' Pemenang menjadi raja, yang kalah jadi penjahat."


Pak Herman mengangkat alis. "Wah, lebih lugas rupanya. Tapi maksudnya gimana, Mo?"


Romo meletakkan cangkir tehnya dan bersandar ke depan, menautkan jari-jarinya di atas meja.


Romo: "Begini, Pak. Dalam sejarah, kita sering melihat bahwa mereka yang berkuasa selalu berhak menentukan kebenaran versi mereka. Kalau mereka menang dalam perang, mereka disebut pahlawan. Kalau mereka kalah, mereka dianggap pemberontak. Padahal, mereka yang kalah pun bisa jadi punya niat baik dan berjuang untuk hal yang benar, hanya saja sejarah tidak berpihak pada mereka."


Riri menatap Romo dengan penuh minat. "Jadi, maksudmu, kebenaran dalam sejarah itu relatif?"


Romo: "Dalam banyak kasus, iya. Contohnya, kalau kita melihat sejarah kolonialisme, Belanda dulu menyebut perjuangan pahlawan kita sebagai pemberontakan. Tapi bagi kita, mereka adalah pahlawan nasional. Begitu juga sebaliknya, kalau suatu kelompok berhasil merebut kekuasaan, mereka bisa menulis sejarah sesuai versi mereka, sedangkan yang kalah akan dikubur namanya atau malah dijelek-jelekkan."


Pak Herman mengangguk pelan, seolah mulai memahami sudut pandang Romo. "Jadi menurutmu, sejarah bukan sekadar milik orang berpengaruh, tapi milik mereka yang menang?"


Romo: "Tepat! Orang berpengaruh bisa punya akses ke pena, tapi yang menanglah yang menentukan apa yang ditulis. Kalau ada versi lain yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka, versi itu bisa saja dihapus, dimanipulasi, atau dikaburkan."


Marlon ikut menimpali. "Jadi ini juga berlaku dengan sejarah Islam di Indonesia? Bahwa narasi 'Islam dibawa pedagang' bisa jadi versi yang lebih menguntungkan bagi pihak tertentu?"


Romo tersenyum tipis. "Bukan tidak mungkin. Bisa jadi memang ada kepentingan yang lebih besar di balik penyederhanaan cerita itu. Narasi bahwa Islam hanya efek samping perdagangan membuatnya terdengar seperti sesuatu yang terjadi secara pasif, bukan sebagai gerakan aktif dari para ulama yang memang datang dengan tujuan dakwah."


Pak Herman mengusap dagunya sambil tersenyum. "Hmm, menarik. Berarti kita memang harus lebih kritis dalam membaca sejarah, ya? Jangan langsung telan mentah-mentah apa yang diajarkan ke kita."


Riri menghela napas. "Kalau begini caranya, kita bukan cuma meneliti pasar, tapi juga harus meneliti sejarahnya sekalian."


Marlon tertawa kecil. "Ya, siapa tahu kita malah bikin skripsi sejarah nantinya."


Pak Herman mengangkat cangkirnya. "Yang penting, jangan sampai lupa minum teh dulu. Nanti sejarah yang kita bahas malah berubah karena kepala kita kepanasan."


Mereka semua tertawa. Pembahasan yang awalnya serius kini kembali mencair, meski tetap menyisakan pertanyaan-pertanyaan besar yang perlu mereka cari jawabannya lebih dalam.


Marlon mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja, matanya menatap lurus ke depan seolah sedang merangkai benang merah dalam pikirannya. Dia menghela napas pelan, lalu mulai berbicara dengan nada yang lebih dalam dan tenang.


Marlon: "Sebenarnya, ada cara sederhana untuk melihat siapa penjahatnya dalam setiap kejadian. Atau kalaupun bukan penjahatnya, paling tidak kita bisa melihat siapa yang paling diuntungkan. Cukup tanyakan satu hal sederhana: siapa yang mendapatkan keuntungan paling besar?"


Riri menyipitkan matanya. "Maksudmu? Bukankah keuntungan itu bisa datang secara alami tanpa harus ada dalang di belakangnya?"


Marlon tersenyum tipis. "Bisa, tapi dalam banyak kejadian besar—baik sejarah, politik, atau ekonomi—tidak ada yang benar-benar terjadi secara kebetulan. Setiap peristiwa besar biasanya ada pihak yang mengambil manfaat, entah secara langsung atau tidak langsung. Dan pihak yang paling diuntungkan itu, sadar atau tidak, hampir selalu punya andil dalam mendorong terjadinya peristiwa tersebut."


Pak Herman menyandarkan punggungnya ke kursi, ekspresinya kini lebih serius. "Jadi, kalau kita tarik ke dalam contoh nyata, apa yang kamu pikirkan, Lon?"


Marlon mengangkat satu alisnya, menatap Pak Herman dengan sorot mata tajam. "Oke, mari kita ambil contoh dari sejarah politik modern. Katakanlah ada kerusuhan besar di suatu negara. Rakyatnya bergejolak, pemerintahnya goyah, media sibuk memberitakan kekacauan. Pertanyaannya: siapa yang paling diuntungkan dari keadaan ini?"


Romo mengangguk pelan, ikut masuk dalam pola pikir Marlon. "Kalau ada pergolakan politik, biasanya ada dua kemungkinan. Entah pihak oposisi yang ingin merebut kekuasaan, atau pihak yang sedang berkuasa ingin menciptakan ketakutan agar mereka tetap bisa bertahan di atas."


Marlon tersenyum tipis. "Tepat. Bisa jadi kerusuhan itu bukan sekadar amarah rakyat, tapi ada kelompok yang sengaja mengipas-ngipasi agar situasi memburuk. Mungkin mereka ingin menggulingkan pemimpin yang sekarang, atau malah pemimpin itu sendiri yang ingin menciptakan kondisi genting supaya dia bisa punya alasan untuk lebih mengontrol rakyatnya."


Riri menelan ludah, mulai memahami pola pikir ini. "Jadi kalau ada kejadian besar, kita tinggal lihat siapa yang tiba-tiba punya kekuatan lebih, uang lebih, atau akses lebih, dan mereka kemungkinan besar punya peran di balik itu semua?"


Marlon: "Bingo. Bisa jadi bukan mereka yang menekan tombol langsung, tapi mereka ada di belakang layar, memastikan semuanya berjalan sesuai keinginan mereka. Lihat siapa yang mendapatkan posisi politik baru, siapa yang perusahaannya tiba-tiba naik daun, atau siapa yang berhasil mendapatkan simpati besar dari publik. Itu biasanya sudah jadi petunjuk besar."


Pak Herman terkekeh kecil. "Nah, ini menarik. Jadi menurutmu, tidak ada kejahatan besar yang benar-benar spontan?"


Marlon menggeleng. "Hampir tidak pernah. Karena kekacauan bagi sebagian orang bisa berarti bencana, tapi bagi sebagian lainnya bisa berarti peluang."


Romo menatap Marlon dengan kagum. "Jadi, kalau kita terapkan ini ke penelitian kita di pasar tadi... Siapa yang paling diuntungkan dengan adanya persaingan tidak sehat, diskon yang saling banting harga, atau bahkan preman-preman yang berkeliaran?"


Marlon menatap Romo dengan senyum penuh arti. "Itulah yang harus kita cari tahu. Dan aku yakin, jawabannya bukan sekadar ‘pedagang yang sukses menjual lebih banyak’. Ada yang jauh lebih besar di balik semua itu.”


Suasana menjadi hening sejenak. Riri menatap ke meja, Romo mengusap dagunya, dan Pak Herman tersenyum lebar seakan menikmati permainan pikiran ini.


Pak Herman akhirnya menepuk meja, memecah keheningan. "Hahaha! Kalau aku dulu bicara seperti ini di zamanku, mungkin aku sudah hilang entah ke mana!"


Riri dan Romo tertawa, sementara Marlon hanya tersenyum puas. Dia tahu, diskusi ini baru permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar.


Marlon menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapannya tajam namun dengan senyum yang penuh arti. Dia melirik Pak Herman, lalu berkata dengan nada santai namun serius,


Marlon: "Kalau saya hidup di zaman Bapak, mastermind-nya lebih jelas lagi. Kalau saya bicara seperti ini lalu tiba-tiba menghilang, berarti yang diuntungkan sudah jelas siapa."


Pak Herman tertawa, menepuk pahanya. "Hahaha! Persis! Makanya dulu orang-orang lebih memilih diam daripada tiba-tiba ‘dipindahkan’ ke tempat yang tak pernah bisa ditemukan di peta."


Romo menggeleng-gelengkan kepala sambil terkekeh, sedangkan Riri hanya bisa tersenyum kecut, memahami betapa seriusnya candaan mereka. Tapi Marlon belum selesai. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, seakan baru menemukan sesuatu yang besar.


Marlon: "Aku pernah membaca satu konsep tentang revolusi. Intinya, sebuah revolusi itu bukan benar-benar tentang rakyat melawan penguasa, tapi lebih kepada 'new plutocrats replacing old plutocrats.'”


Riri mengerutkan kening. "Maksudnya?"


Marlon: "Revolusi hampir selalu terjadi bukan karena rakyat benar-benar menang dan mengambil alih kekuasaan, tapi karena ada kelompok elit baru yang ingin menggantikan elit lama. Jadi yang sebenarnya terjadi bukanlah perubahan sistem yang sepenuhnya baru, melainkan pergantian siapa yang mengendalikan sistem itu."


Romo menatap Marlon dengan penuh minat. "Jadi, menurutmu revolusi itu bukan tentang keadilan atau memperjuangkan hak-hak rakyat?"


Marlon menghela napas dalam, lalu menatap Romo dengan ekspresi serius. "Kadang iya, tapi sering kali tidak. Kalau kita lihat sejarah, setelah revolusi besar terjadi, yang naik ke atas biasanya bukan petani, buruh, atau rakyat kecil, tapi mereka yang sudah punya modal dan kekuatan politik sejak awal. Mereka mungkin tidak sekuat elit lama, tapi mereka cukup kuat untuk memimpin perubahan dan menggantikan posisi lama itu."


Pak Herman mengangguk sambil terkekeh. "Benar juga. Dulu, yang katanya mewakili rakyat malah akhirnya jadi penguasa baru. Polanya terus berulang."


Riri termenung, mencoba mencerna. "Jadi revolusi itu cuma soal ganti orang, bukan benar-benar ganti sistem?"


Marlon tersenyum tipis. "Banyak yang seperti itu. Tapi tentu ada revolusi yang benar-benar membawa perubahan. Hanya saja, sering kali perubahan itu hanya terjadi di permukaan, sementara yang berkuasa tetaplah mereka yang punya akses dan pengaruh lebih besar."


Romo mengusap dagunya. "Kalau begitu, kita kembali ke pertanyaan awal tadi. Siapa yang paling diuntungkan dari setiap kekacauan?"


Marlon mengangguk. "Persis. Siapa yang tetap berdiri kokoh setelah semuanya berantakan? Siapa yang aset dan pengaruhnya justru bertambah? Jawabannya ada di sana."


Pak Herman menarik napas panjang, lalu menatap mereka dengan senyum misterius. "Anak muda zaman sekarang memang cepat tanggap. Kalau kalian sudah bisa berpikir seperti ini, sebaiknya jangan terlalu vokal di media sosial. Bisa-bisa nanti malah masuk daftar yang harus ‘dihilangkan’."


Semua tertawa, tapi dalam tawa itu ada kesadaran bahwa dunia tidak sesederhana yang diajarkan di buku sejarah.


Riri menatap Marlon dan Romo, lalu berkata dengan penuh pertimbangan:


Riri: "Aku teringat sebuah pepatah yang pernah kubaca, meskipun aku tidak yakin asal-usulnya. Pepatah itu berbunyi, 'Dragon slayer becomes the dragon.' Artinya, seseorang yang awalnya berjuang melawan tirani atau kejahatan, lama-kelamaan bisa menjadi seperti musuh yang mereka lawan."


Marlon: "Menarik, Riri. Pepatah itu menggambarkan bagaimana kekuasaan dapat mengubah seseorang."


Riri: "Benar, Marlon. Ini memperkuat pendapatmu sebelumnya tentang revolusi yang sering kali hanya mengganti satu kelompok elit dengan kelompok elit lainnya, tanpa perubahan nyata bagi rakyat."


Romo: "Jadi, intinya, kita harus selalu waspada terhadap perubahan yang tampaknya baik, karena bisa jadi hanya pergantian peran tanpa perbaikan sejati."


Pak Herman: "Betul sekali. Sejarah penuh dengan contoh seperti itu. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu kritis dan tidak mudah terbuai oleh janji-janji manis perubahan."


Mereka semua mengangguk setuju, menyadari betapa pentingnya memahami dinamika kekuasaan dan perubahan dalam masyarakat.


Di ruang tamu rumah Pak Herman yang sederhana namun nyaman, mereka masih duduk mengelilingi meja dengan laptop terbuka, menampilkan rekaman dari pasar tadi pagi. Obrolan tentang revolusi, kekuasaan, dan sejarah akhirnya mereda setelah diskusi panjang yang cukup membakar kepala mereka.


Pak Herman, yang sejak tadi mendengarkan dengan antusias, tiba-tiba tertawa kecil.


Pak Herman: "Baiklah, cukup sudah obrolan beratnya. Nanti kepala kita malah makin panas. Kalian terlalu serius membahas negara, padahal yang bisa kita perbaiki itu yang ada di depan mata dulu. Daripada meributkan siapa penguasa yang menang atau kalah, lebih baik kita urus siapa yang bisa jualan lebih laku di pasar!"


Marlon, Riri, dan Romo saling pandang, lalu tertawa bersama. Suasana pun kembali mencair.


Pak Herman: "Nah, sekarang kita balik ke tugas kita tadi. Kalian sudah merekam keadaan pasar, kan? Coba sekarang jelaskan, dari yang kalian lihat, bagaimana keterlibatan Seven Deadly Sins dan Seven Heavenly Virtues di dalamnya."


Marlon menghela napas, lalu mulai berpikir keras. Ia menatap layar laptop, melihat rekaman seorang pedagang yang berusaha menjual dagangannya lebih murah dari pesaingnya.


Deduksi Seven Deadly Sins dalam Pasar

Marlon: "Baik, kalau kita bicara Seven Deadly Sins, aku bisa melihat setidaknya beberapa yang sangat nyata di pasar tadi."


Greed (Keserakahan) – "Sudah jelas, ada pedagang yang bilang, ‘mereka semua ambil barang dari saya, jadi saya pasti paling murah.’ Ini bisa benar, bisa juga manipulasi. Tapi ada kesan bahwa ia ingin memonopoli pasar dengan memastikan hanya dia yang punya kendali harga."


Envy (Iri Hati) – "Ketika satu pedagang memberi diskon, saingannya langsung memberi diskon lebih besar. Ini contoh nyata bagaimana iri hati bisa memicu perang harga, yang dalam jangka panjang bisa merugikan mereka sendiri."


Wrath (Kemarahan) – "Ada sedikit ketegangan antar pedagang yang saling bersaing. Mungkin tidak sampai berkelahi, tapi dari nada suara dan ekspresi, terlihat ada kebencian yang terselubung. Mereka tersenyum di depan pelanggan, tapi di belakang bisa saja mereka saling menusuk."


Sloth (Kemalasan) – "Di salah satu rekaman, ada pedagang yang hanya duduk menunggu pembeli datang, sementara yang lain aktif menawarkan barangnya. Akibatnya, lapaknya lebih sepi dibanding yang lain."


Gluttony (Kerakusan) – "Premanisme dan rentenir yang keliling pasar bisa masuk ke sini. Mereka mengambil keuntungan berlebihan dari para pedagang kecil yang sebenarnya sudah kesulitan bertahan."


Lust (Nafsu Berlebih) – "Mungkin tidak langsung terlihat dalam transaksi jual beli, tapi dalam interaksi di pasar, ada beberapa momen di mana pedagang laki-laki menggoda pembeli wanita, atau bahkan sesama pedagang saling menggoda. Ini bisa jadi hanya sekadar bercanda, tapi bisa juga bentuk eksploitasi."


Pride (Kesombongan) – "Beberapa pedagang bersikeras bahwa barang mereka yang terbaik dan paling murah, bahkan ketika jelas-jelas ada yang lebih baik di sebelahnya. Kesombongan ini bisa jadi hal yang baik untuk percaya diri, tapi bisa juga membuat mereka enggan berinovasi atau belajar dari pesaing."


Pak Herman mengangguk-angguk, lalu menatap Romo dan Riri.


Pak Herman: "Menarik. Tapi bagaimana dengan Seven Heavenly Virtues? Apakah kebajikan juga ada di dalam pasar yang penuh persaingan ini?"


Deduksi Seven Heavenly Virtues dalam Pasar

Romo, yang sejak tadi merenung, akhirnya angkat bicara.


Romo: "Ada, Pak. Meskipun pasar terlihat keras, bukan berarti semua yang terjadi di sana adalah keburukan."


Charity (Kedermawanan) – "Kami melihat ada pedagang yang menyisihkan sebagian barang dagangannya untuk diberikan kepada pengemis atau pelanggan setia yang kurang mampu. Ini contoh nyata bagaimana kebajikan tetap bisa bertahan di tengah persaingan."


Diligence (Kerajinan) – "Ada beberapa pedagang yang sangat gigih, mereka bangun lebih pagi, menata barang dengan rapi, dan aktif menawarkan dagangan. Ini menunjukkan bahwa kerja keras masih menjadi kunci utama bertahan di pasar."


Patience (Kesabaran) – "Pedagang yang baik tidak marah ketika ada pelanggan yang menawar terlalu rendah. Mereka tetap melayani dengan ramah, meskipun tahu pelanggan itu mungkin tidak akan membeli."


Humility (Kerendahan Hati) – "Ada pedagang yang tidak merasa perlu menjelekkan pesaingnya. Dia hanya fokus menjual barang dengan kualitas terbaik dan harga yang wajar. Ini menunjukkan bahwa tidak semua orang terjebak dalam kesombongan."


Kindness (Kebaikan Hati) – "Ada yang memberikan sedikit tambahan gratis kepada pelanggan setianya. Mereka menyebutnya sebagai ‘bonus rezeki.’ Meskipun kecil, ini bisa membangun hubungan baik antara pedagang dan pembeli."


Temperance (Pengendalian Diri) – "Ada beberapa pedagang yang meskipun tahu mereka bisa mengambil keuntungan lebih besar, mereka memilih untuk menjual dengan harga yang adil. Mereka menghindari keserakahan yang bisa merugikan pelanggan dalam jangka panjang."


Chastity (Kesucian Hati) – "Mungkin ini lebih sulit dilihat secara langsung, tapi dalam interaksi sosial, ada pedagang yang menjaga sikap dan perkataannya dengan baik, tidak mencoba memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi yang tidak pantas."


Setelah Romo selesai menjelaskan, mereka semua terdiam sebentar, mencerna analisis yang baru saja mereka buat.


Pak Herman tersenyum puas.


Pak Herman: "Nah, sekarang kalian lihat sendiri. Dunia ini tidak sesederhana baik dan buruk. Pasar yang tadi kita lihat mungkin tampak damai di permukaan, tapi di dalamnya ada dinamika yang sangat kompleks. Ada dosa, ada kebajikan. Keduanya saling tarik-menarik, menciptakan keseimbangan yang tidak kasat mata."


Marlon mengangguk. "Dan tugas kita sekarang adalah memahami keseimbangan itu. Tidak menghakimi terlalu cepat, tapi juga tidak naif melihat dunia ini."


Riri tersenyum. "Sepertinya perjalanan ini akan lebih menarik dari yang kita duga."


Pak Herman tertawa. "Tentu saja! Dan ini baru pasar. Bagaimana kalau kita menyelidiki tempat lain? Siap-siap saja kepala kalian makin panas!"


Mereka semua tertawa, sementara di layar laptop, video pasar masih terus berputar, seakan menyimpan lebih banyak cerita yang siap diungkap.


Kembali ke Dunia Imajinasi – Pasar dalam Dua Skenario

Marlon, Riri, dan Romo menutup mata, membiarkan imajinasi mereka membawa mereka kembali ke pasar. Kali ini, suasana diubah oleh dua skenario ekstrim—pasar yang hanya diisi oleh Seven Deadly Sins dan pasar yang hanya diisi oleh Seven Heavenly Virtues.


Skenario 1: Pasar yang Dikuasai oleh Seven Deadly Sins

Begitu mereka membuka mata dalam imajinasi mereka, pasar berubah menjadi arena perang dagang yang penuh dengan persaingan brutal. Namun, di balik semua ketegangan itu, ekonomi justru bergerak sangat cepat.


Pride (Kesombongan)

→ Seorang pedagang berdiri dengan angkuh di tengah lapaknya, mengklaim bahwa hanya dagangannya yang terbaik. Dengan percaya diri, dia memasang harga tinggi, dan dengan strategi pemasaran yang agresif, orang-orang mulai tertarik membeli.


Greed (Keserakahan)

→ Pedagang lain melihat barang tetangganya laris, langsung menaikkan harga atau menimbun barang dagangan untuk menciptakan kelangkaan agar harga naik lebih tinggi. Pasar menjadi penuh intrik, tetapi permintaan tetap tinggi karena orang berlomba-lomba mendapatkan barang sebelum kehabisan.


Wrath (Kemarahan)

→ Seorang pembeli yang kecewa karena harga naik tiba-tiba marah, menuntut harga yang lebih murah. Pedagang yang tidak mau rugi membalas dengan emosi, menciptakan perdebatan panas di pasar, menarik perhatian lebih banyak orang dan justru meningkatkan jumlah pelanggan yang datang.


Envy (Iri Hati)

→ Seorang pedagang melihat tetangganya sukses dengan diskon besar-besaran. Tidak mau kalah, dia pun memberikan diskon yang lebih besar. Kompetisi ini memaksa harga menjadi lebih murah dan pembeli semakin aktif berbelanja, memutar roda ekonomi lebih cepat.


Lust (Nafsu Berlebih)

→ Di sudut pasar, ada pedagang yang menggunakan strategi pemasaran ‘visual’ untuk menarik perhatian pelanggan, baik dari cara berpakaian atau teknik merayu. Hal ini menciptakan daya tarik emosional yang mendorong orang untuk membeli lebih banyak.


Gluttony (Kerakusan)

→ Seorang pelanggan dengan rakus membeli makanan dalam jumlah banyak karena tergoda oleh iklan berlebihan. Orang lain yang melihatnya takut kehabisan dan ikut-ikutan membeli dalam jumlah besar, menciptakan panic buying.


Sloth (Kemalasan)

→ Di tengah hiruk-pikuk itu, ada juga pedagang malas yang tidak mau berusaha keras. Namun, justru karena pasar yang bergerak cepat, dia tetap mendapatkan pelanggan karena barangnya dibutuhkan, meskipun pelayanannya buruk.


Kesimpulan? Pasar menjadi brutal dan penuh dengan intrik, tapi justru ekonomi berkembang pesat. Orang berlomba-lomba menjadi yang terbaik, menciptakan inovasi dan trik dagang baru. Namun, ketegangan sosial sangat tinggi dan tidak ada stabilitas dalam jangka panjang.


Skenario 2: Pasar yang Didominasi oleh Seven Heavenly Virtues

Mereka kembali menutup mata dan membayangkan pasar di mana semua orang hanya mengamalkan kebajikan. Awalnya terasa indah—semua orang ramah, saling membantu, dan penuh dengan senyum. Namun, lama-kelamaan, sesuatu yang aneh terjadi.


Humility (Kerendahan Hati)

→ Semua pedagang rendah hati dan tidak ingin membanggakan barang dagangan mereka. Akibatnya, tidak ada persaingan promosi, dan pembeli kebingungan memilih barang yang terbaik.


Charity (Kedermawanan)

→ Setiap pedagang berlomba-lomba memberikan barang dengan harga murah atau bahkan gratis. Dalam beberapa hari, mereka mulai merugi karena stok habis tanpa ada keuntungan yang cukup.


Chastity (Kesucian)

→ Tidak ada yang berusaha menggoda pelanggan dengan teknik pemasaran yang mencolok. Hasilnya, orang-orang tidak tertarik untuk berbelanja dalam jumlah besar, menyebabkan omzet turun drastis.


Patience (Kesabaran)

→ Para pedagang dengan sabar menunggu pelanggan datang tanpa melakukan strategi marketing. Tanpa insentif dan persaingan, tidak ada dorongan bagi mereka untuk meningkatkan kualitas layanan atau mempercepat proses transaksi.


Kindness (Kebaikan Hati)

→ Setiap pedagang terlalu baik hati, menerima semua permintaan pelanggan bahkan yang tidak masuk akal. Ini menyebabkan mereka sering rugi dan kehilangan modal usaha.


Temperance (Pengendalian Diri)

→ Tidak ada yang mau menaikkan harga, bahkan ketika permintaan sedang tinggi. Ini menyebabkan ekonomi pasar berjalan sangat lambat karena tidak ada dorongan untuk berinvestasi atau berkembang.


Diligence (Kerajinan)

→ Meskipun ada pedagang yang rajin dan tekun, karena semua orang terlalu baik dan tidak ada persaingan, tidak ada insentif untuk meningkatkan produktivitas. Ekonomi stagnan, dan banyak usaha akhirnya bangkrut karena tidak ada keuntungan.


Kesimpulan? Pasar terasa sangat harmonis dan damai, tapi tidak ada persaingan atau inovasi. Pedagang tidak bisa bertahan lama karena terus menerus memberi tanpa mengambil untung. Akhirnya, ekonomi lumpuh karena tidak ada motivasi untuk berkembang.


Kembali ke Realitas

Pak Herman meminta mereka membuka mata.


Pak Herman:

"Nah, bagaimana rasanya?"


Marlon menghela napas "Jadi, kalau pasar hanya diisi oleh keserakahan dan persaingan, ekonomi memang maju, tapi masyarakat bisa hancur karena terlalu banyak konflik. Sebaliknya, kalau pasar hanya diisi oleh kebajikan, orang-orang harmonis, tapi para pedagang akan bangkrut karena tidak ada kompetisi."


Riri mengangguk "Itulah yang terjadi di dunia nyata. Kita memang membutuhkan keseimbangan antara dosa dan kebajikan."


Romo berpikir sejenak sebelum menambahkan "Jadi sebenarnya, pasar yang sehat itu bukan soal menghilangkan dosa atau menegakkan kebajikan secara total, tapi bagaimana kita bisa mengatur agar keduanya tetap ada dalam kadar yang seimbang."


Pak Herman tertawa kecil dan mengangguk. "Nah, itu dia intinya! Semua itu ada gunanya, selama kita tahu bagaimana mengendalikannya. Seven Deadly Sins mungkin terdengar buruk, tapi tanpa mereka, dunia akan mandek. Begitu pula Seven Heavenly Virtues, kalau terlalu dominan, malah bisa menghancurkan sistem yang sudah berjalan."


Mereka semua terdiam, merenungkan bagaimana keseimbangan antara dosa dan kebajikan bukan hanya soal moral, tetapi juga soal bagaimana dunia bekerja.


Pak Herman menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai, mengaduk kopi yang mulai mendingin. “Jadi gimana, Rom? Masih bingung?” tanyanya sambil tersenyum kecil.


Romo menghela napas panjang, menatap kosong ke depan. “Aku mulai bingung, Pak. Sejak kecil aku diajarkan kalau Islam itu penuh dengan kebaikan. Dalam berniaga pun, harus jujur, harus adil, harus mengutamakan kebajikan. Tapi setelah kita lihat di pasar tadi…” Romo menggantungkan kalimatnya, mengingat kembali rekaman-rekaman yang mereka ambil. “Kalau semua orang cuma mengandalkan kebajikan, para pedagang bisa hancur sendiri. Kalau begitu, di mana batasnya?”


Dia menatap Marlon dan Riri, mencoba mencari jawaban di mata mereka. “Apa harus 70% kebajikan dan 30% dosa? Atau ada komposisi lain yang lebih pas?”


Pak Herman terkekeh pelan. “Pertanyaan bagus.” Ia menyeruput kopinya sejenak. “Ini masalah klasik antara idealisme dan realitas. Di pesantren, kamu diajarkan nilai-nilai moral yang absolut. Jujur ya jujur, adil ya adil. Tapi dunia ini bukan dunia ideal, Rom. Kalau semua pedagang selalu jujur tanpa strategi, mereka bakal dilibas persaingan. Tapi kalau semua orang cuma mikirin untung tanpa peduli moral, dunia ini bakal jadi tempat yang mengerikan.”


Marlon mencondongkan tubuhnya, matanya berbinar seperti baru menemukan teka-teki yang menarik. “Ini mirip sama konsep filsafat ekonomi,” katanya antusias. “Ada dua pendekatan ekstrem: deontologi dan utilitarianisme. Deontologi kayak yang diajarkan di pesantren, percaya bahwa moral harus ditegakkan tanpa kompromi. Jujur ya jujur, adil ya adil. Sedangkan utilitarianisme lebih fokus ke hasil—apakah tindakan itu memberi manfaat paling besar buat banyak orang?”


Ia menoleh ke Romo yang masih tampak berpikir keras. “Di pasar, kalau semua orang cuma berpegang teguh sama deontologi, banyak pedagang nggak bakal bertahan. Tapi kalau semua orang utilitarian banget, kecurangan bisa merajalela. Jadi yang penting sebenarnya keseimbangan.”


Riri yang sedari tadi mendengarkan akhirnya angkat bicara. “Dalam psikologi, ada konsep cognitive dissonance—ketika seseorang punya keyakinan moral tertentu, tapi realitas nggak sesuai sama itu.” Ia menatap Romo dengan lembut. “Mungkin sekarang kamu lagi ngalamin itu, Rom. Nilai yang kamu yakini benar, tapi pas kamu lihat praktik di lapangan, ada ketidaksesuaian. Itu wajar. Ini sering terjadi pada orang-orang idealis yang pertama kali terjun ke dunia nyata.”


Romo terdiam sejenak. Ia menyadari ada konflik dalam dirinya. “Jadi…” katanya perlahan. “Kalian bilang kalau ajaran yang aku pelajari nggak bisa diterapkan sepenuhnya di dunia nyata?”


Pak Herman menggeleng, tersenyum penuh pengertian. “Bukan begitu, Rom. Ajaran Islam itu sudah sempurna. Yang perlu kita pahami adalah bagaimana cara menerapkannya di dunia yang nggak sempurna.”


Marlon tersenyum tipis, bersandar ke kursinya. “Mungkin yang harus kita cari bukan sekadar persentase antara virtue dan sin, tapi gimana mereka saling mengontrol satu sama lain.” Ia menatap Romo dalam-dalam. “Kesombongan bisa jadi dorongan buat sukses, tapi kalau terlalu tinggi, jadinya merugikan orang lain. Keserakahan bisa jadi motivasi buat berkembang, tapi kalau nggak dibatasi, bisa jadi eksploitasi. Sebaliknya, kebaikan hati bisa bikin bisnis lebih manusiawi, tapi kalau kebanyakan, malah bikin kita dimanfaatkan. Semua ada tempatnya, semua ada batasnya.”


Riri mengangkat alisnya, menambahkan dengan semangat. “Ini mirip hukum ekonomi juga, ya? Keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Kalau barang terlalu murah karena kedermawanan, pasar bisa hancur karena pedagang rugi. Tapi kalau harga terlalu tinggi karena keserakahan, orang nggak mampu beli dan ekonomi juga bisa macet. Keseimbangan ini yang harus dijaga.”


Romo masih terdiam, mencoba mencerna semua yang baru saja mereka bahas.


“Aku masih bingung,” katanya jujur. “Kalau keseimbangan itu yang penting, gimana cara kita nentuin batasannya? Ada rumusnya?”


Pak Herman terkekeh. “Kalau ada rumusnya, dunia ini udah damai dari dulu.”


Mereka semua tertawa kecil. Romo mulai mengerti bahwa dunia tidak sesederhana hitam dan putih, dan idealisme yang ia pegang harus menemukan jembatan dengan kenyataan yang lebih kompleks.


“Aku rasa, Islam itu kayak kompas moral,” kata Riri tiba-tiba. “Ia nunjukin arah yang benar, tapi cara kita jalan ke sana harus disesuaikan sama medan yang kita hadapi.”


Romo tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada ruang untuk bertanya, tanpa harus takut kalau semua yang ia yakini selama ini akan runtuh.


Di ruang tamu rumah Pak Herman, empat orang itu duduk melingkar. Sisa kantong belanjaan dari pasar tadi masih tertata di meja, sebagian sudah disusun di warung kecil milik Pak Herman. Aroma kopi yang baru diseduh menguar di udara, menambah kehangatan diskusi mereka.


Riri menyeruput kopinya sejenak sebelum membuka pembicaraan. "Kalian pasti pernah dengar kutipan terkenal dari Karl Marx: ‘Agama adalah candu bagi masyarakat.’"


Romo langsung menyela, ekspresinya jelas menunjukkan ketidaksenangan. "Itu pandangan yang keliru. Agama bukan candu. Agama justru memberi arah hidup dan nilai-nilai moral yang membangun peradaban."


Pak Herman ikut mengangguk. "Betul. Kalau agama disebut candu, itu artinya agama hanya sekadar hiburan yang bikin orang melupakan masalah tanpa benar-benar menyelesaikannya. Padahal, agama mengajarkan solusi, memberikan semangat untuk bekerja, berbagi, dan hidup dalam keadilan."


Riri tidak langsung membalas, membiarkan mereka mengeluarkan pendapatnya terlebih dahulu.


"Kalau agama cuma candu, kenapa justru banyak gerakan sosial besar yang lahir dari nilai-nilai agama?" lanjut Romo. "Lihat saja perlawanan terhadap kolonialisme, revolusi-revolusi besar di dunia, bahkan gerakan kemanusiaan di berbagai negara. Banyak yang berakar pada ajaran agama."


Pak Herman mengangkat alis. "Justru agama itu sering jadi bahan bakar perlawanan, bukan sekadar pelarian. Saya nggak setuju kalau dibilang candu."


Riri menatap mereka satu per satu, lalu meletakkan cangkir kopinya. "Aku paham kenapa kalian tidak setuju. Tapi coba dengar dulu konteks sejarahnya, kenapa Marx sampai berkata seperti itu."


Ia melanjutkan, "Dalam karyanya 'A Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right' tahun 1844, Marx menulis:​

'Agama adalah keluhan dari makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tidak berhati, dan jiwa dari kondisi yang tidak berjiwa. Ia adalah opium bagi masyarakat.'


"Di sini, Marx menggambarkan agama sebagai respons terhadap penderitaan dan ketidakadilan sosial yang dialami masyarakat pada zamannya. Agama memberikan penghiburan dan harapan dalam situasi sulit, mirip dengan fungsi opium yang meringankan rasa sakit."


Pak Herman dan Romo saling pandang, lalu mengangguk.


"Jadi begini," Riri melanjutkan, "Marx tidak sedang menyerang agama secara langsung. Ia melihat kondisi masyarakat di Eropa pada abad ke-19. Saat itu, banyak orang dari kelas bawah yang hidup dalam kemiskinan, tertindas oleh sistem feodal dan kapitalisme awal. Mereka tidak berani melawan atau menuntut perubahan karena berpikir bahwa penderitaan mereka adalah takdir dari Tuhan."


Riri mengambil jeda, memastikan semua mendengarkan.


Riri berhenti sejenak, memberi waktu bagi Romo dan Pak Herman untuk mencerna penjelasannya. Keduanya tampak merenung, jelas bahwa mereka mempertimbangkan perspektif yang baru saja disampaikan.​


Setelah beberapa saat, Riri melanjutkan, "Marx mengamati bahwa di beberapa bagian Eropa saat itu, banyak orang menerima kondisi hidup yang sulit dengan pasrah, meyakini bahwa penderitaan mereka adalah kehendak Tuhan. Sikap ini, yang mencerminkan nilai-nilai seperti kesabaran dan kerendahan hati, membuat mereka enggan untuk berjuang mengubah nasib."​


Ia menambahkan, "Marx berpendapat bahwa agama, dalam konteks ini, berfungsi sebagai 'candu' yang menenangkan rasa sakit akibat penindasan, tetapi juga dapat menghambat upaya untuk mengatasi akar permasalahan sosial. Dengan kata lain, agama memberikan kenyamanan sementara tanpa menyelesaikan sumber penderitaan itu sendiri."


"Mereka bersabar, menerima keadaan, dan berharap surga akan menjadi balasan bagi kesabaran mereka. Padahal, di dunia nyata, mereka terus dieksploitasi. Nah, karena fenomena inilah Marx menyebut agama sebagai candu—karena memberikan ketenangan sementara, tapi tidak menyelesaikan akar masalah ketidakadilan sosial."


Romo menyandarkan tubuhnya di kursi, merenung. "Jadi yang dia maksud, agama bisa jadi candu kalau disalahgunakan atau kalau pemeluknya terlalu pasrah?"


"Kurang lebih seperti itu," jawab Riri. "Marx tidak bilang agama selalu buruk, tapi ia melihat bagaimana agama saat itu digunakan sebagai alat untuk menjaga status quo. Bukan agama yang salah, tapi bagaimana agama dimanfaatkan oleh penguasa untuk menenangkan rakyat tanpa benar-benar mengubah nasib mereka."


Romo mengangguk perlahan, ekspresinya menunjukkan pemahaman yang mendalam. "Jadi, menurut Marx, agama bisa menjadi penghibur dalam penderitaan, tetapi juga berpotensi membuat orang terlena dan tidak berusaha mengubah keadaan?" tanyanya.​


Riri tersenyum tipis. "Tepat sekali, Romo. Namun, penting untuk memahami bahwa kritik Marx ditujukan pada bagaimana agama digunakan dalam konteks sosial tertentu, bukan pada esensi agama itu sendiri. Dia melihat bahwa agama dapat dimanfaatkan oleh pihak berkuasa untuk mempertahankan status quo dan meredam aspirasi perubahan dari masyarakat tertindas."


Pak Herman menyilangkan tangan. "Hmm... kalau begitu, masuk akal kenapa dia bilang seperti itu."


Riri tersenyum. "Makanya, kita harus melihat kutipan Marx ini dalam konteks sejarahnya. Bukan sekadar menolak mentah-mentah."


Pak Herman yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. "Menarik. Ini memberikan perspektif baru tentang bagaimana kita memahami peran agama dalam masyarakat, terutama dalam konteks sosial dan ekonomi."​


Percakapan itu membawa mereka pada refleksi mendalam tentang hubungan antara spiritualitas, perjuangan sosial, dan bagaimana nilai-nilai agama dapat mempengaruhi dinamika perubahan dalam masyarakat.


Hening sejenak. Mereka semua terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Diskusi yang semula penuh bantahan kini berubah menjadi perenungan yang dalam.


Marlon menatap kosong ke atas langit-langit rumah Pak Herman, matanya berbinar seperti seseorang yang baru saja menemukan petunjuk penting dalam perburuan harta karun. Napasnya sedikit memburu, dan senyumnya perlahan muncul.


"Ya Tuhan… Aku rasa aku menemukan sesuatu!" serunya, hampir melompat dari duduknya.


Riri yang duduk di sampingnya mengernyit. "Hah? Apa lagi?"


Pak Herman meletakkan gelas kopinya. "Kamu kelihatan kayak nemu duit sejuta di kantong celana bekas."


"Tunggu, tunggu!" Marlon mengangkat tangannya, meminta semua orang diam sejenak. "Aku rasa… aku baru saja menyusun benang merah yang selama ini kususun di kepalaku!"


Romo mengangkat alis. "Benang merah apa?"


Marlon menarik napas dalam, lalu mulai menjelaskan dengan penuh semangat.


"Seven Deadly Sins dan Seven Heavenly Virtues… Itu semua bukan sekadar konsep moral atau ajaran agama. Itu sudah ada dalam diri manusia sejak lahir! Setiap orang punya potensi untuk menjadi rakus, penuh amarah, malas, sombong… Tapi di sisi lain, kita juga punya potensi untuk rendah hati, sabar, dermawan, dan seterusnya."


Ia menatap mereka satu per satu, memastikan semua menyimak.


"Lalu apa yang menentukan apakah seseorang lebih condong ke arah dosa atau kebajikan? Ilmu, pengalaman hidup, tindakan, dan pola pikir! Semua itu hanya mempertegas ke arah mana seseorang bergerak!"


Riri menyandarkan dagunya ke tangan. "Hmm… Jadi maksudmu, manusia pada dasarnya netral?"


"Ya!" Marlon menunjuk ke dirinya sendiri. "Bayangkan bayi yang baru lahir. Dia nggak tahu apa-apa, tapi dia sudah punya benih keserakahan—lihat saja cara bayi menangis minta susu tanpa peduli orang tuanya sedang sibuk atau tidak. Tapi dia juga punya benih kebaikan—lihat bagaimana bayi bisa tertawa dan memberi kebahagiaan tanpa syarat kepada orang tuanya."


Pak Herman terkekeh. "Hahaha, menarik. Jadi kita ini semacam biji yang bisa tumbuh jadi pohon beracun atau pohon yang berbuah manis, tergantung pupuk yang kita kasih?"


"Persis!" Marlon menunjuk Pak Herman dengan penuh semangat. "Makanya, aku rasa konsep dosa asal dan dosa turunan itu benar!"


Romo menatap Marlon dengan ekspresi skeptis. "Tunggu, tunggu. Jelaskan itu."


Marlon mengambil napas, seakan sedang membangun klimaks dalam penjelasannya.


"Dosa asal itu seperti sifat bawaan kita sebagai manusia. Kita lahir dengan potensi Seven Deadly Sins karena kita manusia, makhluk biologis yang punya insting bertahan hidup, merasa lapar, marah, iri, dan sebagainya. Sedangkan dosa turunan? Itu adalah hasil dari lingkungan dan pengalaman hidup kita yang mengarahkan kita ke satu sisi lebih dominan dari yang lain!"


Ia bersandar ke belakang, matanya berbinar puas. "Jadi, manusia itu bukan sepenuhnya suci saat lahir, tapi juga bukan sepenuhnya berdosa. Kita semua cuma membawa benih dari dua sisi itu… dan hidup adalah perjalanan memilih mau menyiram yang mana."


Hening sejenak.


Pak Herman mengusap dagunya. "Wah, menarik. Berarti nggak ada manusia yang benar-benar suci, ya? Bahkan orang paling baik pun pasti masih punya sisi sins dalam dirinya."


Romo menyilangkan tangan. "Tapi itu juga berarti… tidak ada manusia yang benar-benar jahat. Bahkan yang kita anggap penjahat pun mungkin masih punya virtues yang tersisa dalam dirinya."


Riri tersenyum. "Aku suka kesimpulan ini."


Marlon tertawa lega. "Hah! Rasanya kayak baru nemu peta harta karun dalam kepalaku!"


Pak Herman mengangkat cangkir kopinya. "Hahaha, kalau gitu, selamat buat penemuannya, Profesor Marlon!"


Mereka semua tertawa, sedikit melepaskan ketegangan dari diskusi sebelumnya. Namun, dalam hati masing-masing, pemikiran Marlon tadi masih berputar—membuka perspektif baru yang belum pernah mereka sadari sebelumnya.


Marlon masih dalam kondisi penuh semangat, pikirannya terus bekerja, merangkai satu konsep ke konsep lainnya seperti detektif yang baru saja menemukan pola tersembunyi dalam kasus besar.


"Tapi tunggu dulu, ini belum selesai!" serunya, membuat yang lain kembali fokus padanya. "Aku mulai sadar… selama ini kita terlalu fokus pada besar atau kecilnya dosa. Tapi yang lebih penting bukan itu. Yang lebih krusial adalah: dosa apa, dan asalnya dari mana."


Romo mengernyit. "Maksudmu?"


Marlon merapatkan kedua tangannya, berpikir sejenak sebelum menjelaskan.


"Lihat begini… Banyak orang mengajarkan dosa itu dalam skala besar-kecil. Dosa besar masuk neraka, dosa kecil ya… mungkin dicatat tapi nggak langsung bikin tamat riwayat. Tapi itu pendekatan yang terlalu simplistik! Kita nggak pernah diajarkan kenapa seseorang terdorong melakukan dosa tertentu."


Riri mulai menangkap maksudnya. "Jadi bukan hanya soal boleh atau tidak boleh, tapi soal memahami akar dari tindakan itu?"


"Exactly!" Marlon menunjuk Riri, matanya berbinar. "Contoh… seseorang berbohong. Secara umum, berbohong itu dosa, iya kan? Tapi pertanyaannya: kenapa dia berbohong? Apakah karena takut dihukum? Apakah karena dia ingin terlihat lebih baik? Apakah karena dia serakah dan ingin keuntungan lebih? Setiap alasan itu berasal dari dosa asal yang berbeda!"


Pak Herman menyesap kopinya. "Menarik… Jadi kalau tahu sumbernya, kita bisa mencari solusi yang lebih tepat?"


Marlon mengangguk bersemangat. "Tepat sekali, Pak! Kalau seseorang berbohong karena takut dihukum, kita bisa mengajarkan keberanian dan rasa tanggung jawab. Kalau seseorang berbohong karena serakah, kita bisa mengajarkan rasa cukup dan berbagi. Bukan sekadar melarang!"


Romo mulai berpikir lebih dalam. "Jadi, kalau ada orang marah-marah, jangan langsung dibilang dosa, tapi cari tahu dulu… Apakah dia marah karena memang sedang dizalimi, atau karena kesombongan dan egonya tersakiti?"


"Persis!" Marlon menunjuk Romo. "Kita harus menjelaskan dosa dengan lebih rinci, bukan sekadar 'jangan lakukan ini karena neraka menanti'. Harus lebih dalam lagi: 'jika kamu ingin melakukan ini, coba renungkan dulu, dosa asal mana yang membuatmu terdorong melakukan ini'. Karena kalau kita tahu dosa asalnya, mencari solusinya jadi jauh lebih mudah."


Riri menyandarkan kepalanya ke kursi. "Ini masuk akal. Kalau kita cuma menakut-nakuti, orang mungkin takut sementara, tapi dorongan itu tetap ada. Mereka nggak benar-benar paham kenapa mereka ingin melakukan sesuatu… Mereka hanya tahu itu dilarang."


Pak Herman mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Ini… bisa jadi cara baru dalam mendidik, ya? Bukan dengan ketakutan, tapi dengan pemahaman."


Romo termenung sejenak, lalu menghela napas panjang. "Ini bikin aku berpikir ulang soal cara orang mengajarkan agama… Mungkin selama ini memang ada yang perlu diperbaiki dalam metode dakwah."


Marlon tersenyum puas. "Dan itu, saudaraku, adalah peta baru dalam memahami dosa dan kebaikan!"


Pak Herman terkekeh. "Hahaha, kalau begini terus, kalian bertiga bisa jadi profesor semua!"


Mereka semua tertawa, tapi dalam hati, masing-masing dari mereka tahu bahwa ini bukan sekadar obrolan biasa. Ini adalah sesuatu yang bisa mengubah cara mereka melihat dunia.


Ruang tengah rumah Pak Herman masih dipenuhi sisa-sisa obrolan panjang mereka. Gelas-gelas kopi yang tinggal separuh, beberapa kertas catatan kecil di meja, dan udara yang mulai terasa lebih berat setelah pembahasan ekonomi yang begitu kompleks.


Marlon menyandarkan punggungnya ke sofa, menghela napas panjang. Lalu, dengan nada yang lebih serius, ia menatap Romo.


"Romo, boleh aku jujur?" tanyanya.


Romo, yang sejak tadi sibuk memainkan sendok di dalam gelasnya, menoleh. "Tentu saja. Ada apa, Mar?"


Marlon merapatkan kedua tangannya, jari-jarinya saling bertaut. "Aku sangat jarang datang ke pengajian. Bukan tanpa alasan. Mungkin tidak semua pendakwah, tapi aku merasa mayoritas pendakwah di negara ini tidak mau didebat dan diajak diskusi."


Romo mengernyit. "Maksudmu?"


"Aku merasa… banyak ustaz lebih suka menyampaikan sesuatu secara satu arah. Mereka mengajarkan agama dengan model dogma, bukan dialog. Dan yang lebih parah, umatnya pun terbiasa dengan itu. Mereka menganggap mempertanyakan sesuatu dalam agama adalah tanda kurang iman, padahal… kalau mempertanyakan akidah itu wajib seperti kata Riri, bukankah itu justru tanda keimanan?"


Riri menimpali, "Itu yang sering aku pikirkan juga. Jika kita tidak boleh mempertanyakan, bagaimana bisa kita benar-benar memahami?"


Pak Herman yang sedari tadi bersandar di kursinya tertawa kecil. "Hahaha… ini menarik. Aku orang tua, tapi aku suka cara kalian berpikir. Silakan lanjut."


Marlon kembali menatap Romo. "Dan yang aku kurang suka, Rom… materi agama yang didakwahkan menurutku sering kali tidak berimbang. Contohnya, hubungan anak dan orang tua. Kita sering sekali mendengar detail kewajiban anak kepada orang tua agar tidak durhaka. Tapi… jarang sekali aku mendengar ceramah yang benar-benar membahas kewajiban orang tua kepada anak secara detail."


Romo terdiam, lalu menjawab dengan hati-hati, "Memang ada hadits-hadits yang menyebutkan kewajiban orang tua kepada anak, tapi mungkin penyampaiannya yang kurang sering dibahas."


Marlon mengangguk. "Iya, dan itu yang membuatku heran. Kenapa keseimbangan dalam dakwah sering tidak ada? Padahal, kalau dipikir-pikir, kewajiban orang tua kepada anak itu lebih besar. Mereka yang memilih punya anak, bukan anak yang memilih lahir ke dunia ini."


Romo menghela napas. "Jadi… kau ingin mengatakan bahwa dakwah kita cenderung berat sebelah?"


"Kurang lebih begitu," kata Marlon. "Aku pernah membaca perkataan Elon Musk: 'My children didn't choose to be born; I chose to have children. They owe me nothing; I owe them everything..' Kalau dipikir-pikir… ada benarnya juga, kan? ini sepertinya bukan perkataan asli dari Musk, tapi banyak yang mengaitkannya dengan dia"


Riri menambahkan, "Jadi maksudmu, tanggung jawab orang tua itu bukan hanya sekadar memberi makan dan menyekolahkan anak, tapi ada kewajiban moral yang lebih besar?"


Marlon mengangguk. "Iya. Aku coba menyimpulkan sesuatu. Kita sering diajarkan bahwa anak itu rezeki dari Tuhan. Tapi kalau dipikir-pikir, memiliki anak itu kan keputusan orang tua, bukan murni 'hadiah' dari Tuhan."


Romo mengernyit. "Maksudmu?"


Marlon tersenyum tipis. "Kita bukan Siti Maryam, Rom. Kita tidak bisa tiba-tiba punya anak tanpa menikah atau tanpa proses biologis. Paling tidak, seseorang harus berhubungan seks dulu sebelum punya anak. Artinya, ketika seseorang memutuskan untuk berhubungan seks, secara tidak langsung mereka juga mengambil risiko untuk memiliki anak. Jadi, kalau anak itu lahir, itu bukan hanya semata-mata rezeki, tapi juga konsekuensi dari keputusan mereka sendiri."


Pak Herman tertawa kecil. "Wah, kalau semua orang berpikir begini, bisa banyak orang tua yang kena mental nih."


Romo menghela napas panjang. Ia mencoba mencerna perkataan Marlon. Di satu sisi, ia tidak bisa menyangkal logika yang digunakan. Tapi di sisi lain, ada nilai-nilai dalam agama yang ingin ia pertahankan.


"Tapi Mar," katanya akhirnya, "agama tetap mengajarkan bahwa anak adalah titipan Tuhan. Kalau kita menganggap anak hanya sebagai konsekuensi biologis, bukankah itu menjadikan mereka sekadar produk dari keputusan kita? Lalu, bagaimana dengan konsep berkah dan takdir?"


Marlon tersenyum tipis. "Nah, itu dia, Rom. Aku tidak mengatakan bahwa anak bukan rezeki, tapi aku hanya ingin menyoroti sisi lainnya. Kalau kita menganggap anak sebagai rezeki, kadang ada orang tua yang merasa berhak menuntut balas jasa dari anaknya. Padahal, kalau kita balik cara pandangnya, justru orang tua yang berutang segalanya kepada anak. Bukan anak yang harus mengabdi, tapi orang tua yang harus memastikan anaknya bisa hidup dengan baik. Karena mereka sendiri yang memilih untuk melahirkan anak itu ke dunia."


Romo terdiam. Ada bagian dari dirinya yang ingin membantah, tapi ada bagian lain yang mulai mengerti apa yang dimaksud Marlon.


Riri menatap Romo dengan penasaran. "Kau mulai ragu, ya?"


Romo menatap kosong ke meja, berpikir dalam-dalam. "Bukan ragu… Tapi aku mulai merasa ada yang perlu dikaji ulang dalam cara kita memahami konsep keluarga dalam agama. Mungkin… memang ada beberapa hal yang lebih kompleks dari yang diajarkan selama ini."


Pak Herman tersenyum. "Hahaha, kalau begini terus, kita bisa bikin sekolah filsafat sendiri nih!"


Mereka semua tertawa kecil, tapi dalam hati, Romo tahu bahwa diskusi ini baru permulaan dari pemikiran yang lebih besar.


Di ruang tengah yang hangat, Marlon menyandarkan tubuhnya ke sofa, matanya menatap langit-langit seolah mencari jawaban. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara dengan nada serius.​


Marlon: "Aku semakin curiga, Romo. Mungkin alasan mengapa materi tentang hubungan orang tua dan anak jarang diungkapkan dalam dakwah adalah untuk mempertahankan status quo. Mereka mungkin ingin menjaga wajah mereka sendiri. Kalau topik ini sering dibahas, aku yakin hampir 90% orang tua di Indonesia, bahkan mungkin dunia, akan dinilai bukan sebagai orang tua yang baik."


Romo terdiam, merenungkan kata-kata Marlon. Pak Herman yang duduk di seberangnya mengangguk pelan, menunjukkan ketertarikannya pada arah pembicaraan ini.​


Marlon: "Menurut penelitian, Indonesia memiliki angka 'fatherless' yang cukup tinggi. Data dari UNICEF pada tahun 2021 menunjukkan bahwa sekitar 20,9% anak-anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah. Itu berarti hampir 3 juta anak kehilangan figur ayah dalam hidup mereka."


Romo mengernyit, mencoba mengingat kembali pelajaran tentang kewajiban orang tua terhadap anak dalam Islam. Ia merasa ada banyak yang perlu dikaji ulang dan disampaikan lebih jelas kepada umat.​


Romo: "Dalam ajaran Islam, sebenarnya ada banyak kewajiban orang tua terhadap anak yang mungkin kurang disampaikan secara mendalam dalam dakwah kita."


Pak Herman: "Seperti apa contohnya, Romo?"


Romo: "Misalnya, memberikan nama yang baik dan nasab yang jelas, memberikan ASI, memenuhi kebutuhan materi seperti makanan dan pakaian, memberikan pendidikan yang layak, mengajarkan nilai-nilai sosial, menikahkan anak dengan pasangan yang saleh atau salehah, serta bersikap sabar dan memaafkan anak."


Marlon: "Tapi, Romo, seberapa sering poin-poin itu benar-benar dibahas secara mendalam di mimbar-mimbar? Yang sering kita dengar justru kewajiban anak terhadap orang tua. Seolah-olah, beban moral selalu ditimpakan pada anak."


Pak Herman: "Mungkin ada ketidakseimbangan dalam penyampaian materi dakwah kita. Fokus yang terlalu berat pada satu sisi bisa membuat kita abai terhadap sisi lainnya."


Romo mengangguk pelan, menyadari bahwa mungkin selama ini ada ketimpangan dalam penyampaian ajaran. Ia merasa perlu ada perubahan dalam cara mendidik dan menyampaikan materi kepada umat, agar keseimbangan dalam hubungan orang tua dan anak dapat terwujud sesuai dengan nilai-nilai Islam.​


Marlon bersandar di kursinya, menatap ke arah Romo dan Pak Herman dengan ekspresi serius. Riri yang duduk di sebelahnya menyesap teh hangat, seolah sudah menebak bahwa Marlon akan melontarkan sesuatu yang berat.


"Kalian sadar nggak," Marlon membuka pembicaraan dengan nada pelan tapi menusuk, "kalau manusia itu nggak diciptakan untuk menjadi makhluk yang jujur?"


Romo mengernyit. "Maksudmu apa? Jujur itu bagian dari fitrah manusia. Semua agama mengajarkan kejujuran sebagai nilai utama. Bahkan dalam Islam, kejujuran adalah ciri utama nabi."


Pak Herman tertawa kecil, tetapi bukan karena geli—lebih ke arah gelisah. "Kau benar-benar suka melemparkan teori gila, Marlon. Kalau manusia memang nggak diciptakan untuk jujur, lalu kenapa kejujuran justru dihargai dan dijunjung tinggi dalam setiap peradaban?"


Marlon menyilangkan tangan, menikmati ekspresi terkejut keduanya. Ia memang sudah menduga ini.


"Itu dia," katanya, matanya berbinar penuh semangat. "Justru karena manusia bukan makhluk yang secara alami jujur, maka kejujuran menjadi sesuatu yang sangat berharga. Kalau jujur itu sifat alami manusia, kenapa Tuhan perlu memberikan ganjaran yang besar bagi mereka yang jujur? Kenapa kita harus diajarkan soal kejujuran sejak kecil, kalau itu memang sudah ada dalam diri kita?"


Romo terdiam sejenak. Ia berusaha mencari jawaban, tetapi Marlon melanjutkan sebelum ada sanggahan.


"Manusia bukan makhluk jujur. Manusia itu makhluk sosial," lanjutnya. "Dan sebagai makhluk sosial, kita harus bisa bertahan dalam kelompok. Kadang, kejujuran justru menjadi ancaman bagi keharmonisan kelompok."


Pak Herman melipat tangan di dada, ekspresinya kini serius. "Lanjutkan. Aku penasaran ke mana arah pikiranmu ini."


Marlon tersenyum, lalu mulai menjelaskan.


"Bayangkan kehidupan manusia di era awal peradaban, ketika kita masih berburu dan tinggal di gua. Dalam satu kelompok pasti ada hierarki—pemimpin, pemburu, peramu. Pemimpin, karena kekuatannya, punya privilese lebih dibandingkan anggota lain. Nah, di sini mulai muncul dilema kejujuran.


Bayangkan ada seorang anggota kelompok yang merasa pembagian hasil buruan tidak adil. Kalau dia jujur dan mengungkapkan ketidakpuasannya, apa yang akan terjadi?"


Riri ikut menyahut, mengerti ke mana Marlon ingin membawa mereka. "Dia bisa diusir, atau malah dibunuh."


Marlon mengangguk. "Tepat. Jadi dia memilih untuk diam, menahan diri, berbohong demi menjaga stabilitas kelompok. Di sinilah awal mula kejujuran mulai hilang dari manusia. Karena dalam kelompok sosial, terlalu jujur justru bisa menghancurkan hubungan, bahkan nyawa."


Romo menarik napas dalam. "Tapi itu kan kasus ekstrem. Dalam ajaran agama, jujur adalah prinsip yang harus dipegang teguh, apapun risikonya."


Marlon tersenyum miring. "Kalau begitu, kenapa dalam agama pun ada konsep taqiyah dalam Islam, atau dispensasi kebohongan dalam keadaan darurat? Misalnya, kalau nyawa seseorang terancam, dia boleh berbohong. Itu artinya, kejujuran tetap memiliki batas dalam realitas sosial."


Pak Herman mengusap dagunya, berpikir keras. "Jadi menurutmu, kejujuran itu bukan bawaan manusia, tapi sesuatu yang harus dipaksakan dan diajarkan?"


Marlon mengangguk mantap. "Betul. Kalau kejujuran memang sudah ada dalam diri kita sejak lahir, Tuhan nggak perlu memberikan hukuman berat untuk orang yang berbohong. Tapi kenyataannya? Dalam hampir semua agama, kejujuran selalu mendapat ganjaran besar. Artinya, manusia memang cenderung untuk tidak jujur, sehingga harus diberi motivasi kuat agar mau berlaku jujur."


Romo menggelengkan kepala perlahan. "Teorimu ini... membuatku tidak nyaman. Aku mengerti logikanya, tapi ada sesuatu dalam diriku yang ingin menyangkalnya."


Pak Herman tertawa kecil. "Itu karena kau ingin tetap berpegang pada nilai-nilai ideal, Romo. Padahal, kalau kita bicara realitas, kejujuran memang sering kali lebih sulit daripada kebohongan."


Riri, yang sejak tadi mendengarkan, menambahkan, "Aku rasa ini juga ada hubungannya dengan konsep dosa. Dosa bukan hanya tentang baik dan buruk, tapi tentang godaan. Kalau sesuatu memang sudah ada dalam diri kita sejak lahir, kenapa harus ada aturan yang melawannya? Justru karena kita cenderung berbuat dosa, maka agama berusaha mengontrolnya dengan hukuman dan ganjaran."


Marlon menatap Romo dengan penuh harap. "Jadi bagaimana, Romo? Masih yakin manusia itu makhluk yang jujur secara alami?"


Romo menghela napas. Ia tidak bisa menyangkal bahwa ada logika dalam ucapan Marlon. Tapi di sisi lain, ada nilai-nilai yang ia pegang sejak kecil yang membuatnya sulit menerima ide ini sepenuhnya.


"Aku... tidak tahu, Marlon," jawabnya akhirnya. "Aku butuh waktu untuk mencerna ini semua."


Pak Herman mengangkat cangkir tehnya. "Itu yang aku suka dari diskusi seperti ini. Tidak ada yang langsung mendapatkan jawabannya, tapi setidaknya, kita mulai mempertanyakannya."


Romo masih mencoba mencerna teori Marlon tentang kejujuran yang bukan sifat alami manusia. Pak Herman pun tampak berpikir keras, sementara Riri diam-diam menikmati kekacauan pikiran mereka berdua. Tapi Marlon belum selesai.


"Lebih gilanya lagi," kata Marlon dengan mata berbinar, "dosen filsafatku pernah bilang bahwa sopan santun itu sebenarnya alat untuk menghilangkan kejujuran dan kebenaran."


Pak Herman yang sedang menyeruput teh hampir tersedak. "Apa?! Sopan santun menghilangkan kejujuran? Itu omong kosong!"


Romo mengerutkan kening. "Aku bisa memahami kalau kejujuran itu sulit dalam kehidupan sosial, tapi sopan santun itu kan sesuatu yang baik. Itu ajaran yang ditanamkan dalam agama dan budaya. Bagaimana bisa sesuatu yang baik malah menghilangkan kebenaran?"


Marlon terkekeh. Dia suka melihat ekspresi mereka yang kebingungan.


"Coba pikirkan baik-baik," katanya, lalu bersandar dengan santai. "Berapa kali kita terpaksa berbohong demi sopan santun? Berapa kali kita menahan diri untuk tidak mengatakan kebenaran karena takut dianggap tidak sopan? Contoh paling sederhana, ketika seseorang bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu tentang pidato saya tadi?’, dan kita menjawab, ‘Bagus kok,’ padahal dalam hati kita merasa pidatonya membosankan."


Pak Herman mengangkat alis. "Tapi itu kan bagian dari etika sosial. Kalau kita terlalu jujur, kita bisa menyakiti perasaan orang lain."


"Benar," kata Marlon, "tapi justru itu poinnya. Sopan santun diciptakan untuk membuat hidup lebih nyaman, bukan untuk menegakkan kebenaran. Orang-orang lebih memilih dihibur dengan kebohongan daripada ditampar oleh kebenaran. Itulah kenapa kejujuran sering kali bertentangan dengan etika sosial."


Romo semakin gelisah. "Tapi kalau begitu, apa maksudnya? Apakah kita harus membuang sopan santun demi kejujuran? Dunia akan kacau kalau semua orang mengatakan yang sebenarnya tanpa filter!"


Marlon tersenyum tipis. "Aku tidak bilang begitu. Aku cuma ingin kita sadar bahwa sopan santun dan kejujuran sering kali bertentangan. Dan lebih dari itu, kita harus tahu kapan harus jujur dan kapan harus ‘menyesuaikan’ kebenaran agar tidak menimbulkan konflik yang tidak perlu."


Pak Herman menghela napas panjang. "Jadi selama ini kita diajari untuk sopan, tapi sebenarnya diajari untuk berbohong dengan cara yang bisa diterima?"


Marlon mengangguk. "Kurang lebih begitu."


Pak Herman yang sejak tadi mendengarkan dengan tenang, tiba-tiba tertawa kecil. "Heh, kalau dipikir-pikir, masuk akal juga. Dulu waktu saya masih muda dan jualan, kalau saya terlalu jujur ke pelanggan, bisnis bisa mati. Misalnya ada barang yang kualitasnya biasa aja, tapi tetap harus bilang ‘bagus’ biar laku. Kalau saya bilang ‘Jujur saja, ini barangnya biasa aja, Mas,’ ya siapa yang mau beli? Mau nggak mau, saya harus membungkus kebenaran dengan kata-kata yang lebih enak didengar."


Romo mengerutkan kening, merasa semakin tidak nyaman. "Tapi bukankah dalam Islam, kejujuran itu nilai utama? Bahkan dalam berdagang pun ada prinsip kejujuran?"


Marlon tersenyum miring. "Iya, itu yang diajarkan di kitab. Tapi dalam praktiknya? Sering kali yang jujur malah hancur, yang pintar membungkus kata-kata yang bertahan. Jangan salah paham, Romo, aku tidak membela kebohongan. Aku cuma mengatakan bahwa realitas sosial tidak selalu bisa dikotakkan dengan idealisme agama atau moral."


Pak Herman mengangguk pelan, tatapannya menerawang. "Saya jadi ingat... Ada seorang teman lama yang bekerja di perusahaan besar. Dia dulu orang yang sangat jujur, nggak mau neko-neko. Tapi justru karena kejujurannya itu, dia nggak naik jabatan. Dia pernah menolak memanipulasi laporan keuangan perusahaan, akhirnya dia disingkirkan. Yang menggantikannya? Orang yang lebih ‘pandai berbicara’ alias lebih pandai menutup-nutupi sesuatu."


Romo terdiam. Pak Herman menghela napas panjang. "Hadeuh... Semakin lama, semakin bikin pusing otak ini. Jadi kita ini sebetulnya lebih diajarkan untuk sopan santun daripada jujur?"


Marlon menepuk meja pelan. "Tepat! Sopan santun sering kali menjadi alat untuk membungkam kejujuran. Dan ini bukan hanya soal bisnis atau pekerjaan. Dalam kehidupan sehari-hari pun terjadi. Anak-anak diajarkan untuk sopan kepada orang tua, tapi jarang diajarkan bahwa mereka juga boleh menyampaikan ketidaknyamanan mereka. Seorang bawahan harus sopan pada atasan, tapi kalau atasan salah, sulit bagi mereka untuk bersuara. Orang harus sopan kepada orang yang lebih tua, meskipun orang tua itu salah besar. Lalu di mana ruang untuk kebenaran?"


Pak Herman mengusap wajahnya. "Ini... bikin saya merefleksikan diri juga. Saya dulu selalu menuntut anak saya untuk sopan. Tapi sekarang saya sadar, berapa banyak dari kesopanan mereka itu asli, dan berapa banyak yang hanya karena takut sama saya?"


Romo bersandar di kursinya, kepalanya terasa penuh. "Aku mulai merasa bahwa semakin kita membahas hal ini, semakin banyak konsep yang harus kurevisi dalam pikiranku."


Riri yang sejak tadi diam akhirnya menimpali dengan nada santai, "Selamat datang di dunia filsafat, Romo. Semakin dalam kau menggali, semakin kau sadar bahwa tidak ada jawaban yang benar-benar mutlak."


Romo merasakan ada sesuatu yang mengguncang pemikirannya. Seolah-olah Marlon sedang mengupas sesuatu yang selama ini dianggapnya mutlak, tapi kini terlihat rapuh. Apakah benar bahwa sopan santun justru sering kali menekan kejujuran? Apakah benar bahwa kejujuran bukan sifat alami manusia? Dan kalau begitu, di mana batasannya?


Senja mulai merayap di langit, meninggalkan jejak warna oranye keemasan di antara awan yang mulai meredup. Suasana di halaman rumah Pak Herman terasa tenang. Rumah itu sederhana, berdinding kayu dengan teras kecil di depannya. Sebuah lampu kuning temaram menggantung di atas pintu, memberi kehangatan tersendiri di tengah udara sore yang mulai dingin. Di samping rumah, ada kebun kecil dengan beberapa pot tanaman dan kursi kayu tempat mereka duduk tadi. Aroma tanah yang lembab bercampur dengan wangi teh manis yang baru saja diseduh oleh Pak Herman.


Marlon merentangkan lengannya, meregangkan tubuh setelah lama berdiskusi. Ia melirik Riri yang sibuk merapikan tasnya.


“Yasudah, Rom,” kata Marlon akhirnya, “kita pulang dulu. Besok kita ke sini lagi buat ketemu Bu Siti.”


Riri menepuk bahu Romo pelan, senyum kecil tersungging di wajahnya. “Iya, kita biarkan kau merenung dalam kesunyian, wahai filsuf muda.”


Romo tetap diam, tatapannya kosong menatap cangkir teh di tangannya. Kepalanya masih penuh dengan perdebatan yang tadi mereka bahas. Sejak tadi ia mencoba mencari celah untuk mempertahankan argumennya, tapi semakin dipikirkan, semakin ia merasa ada yang kurang.


Pak Herman yang duduk di kursi kayu tua di sudut teras, tersenyum melihat wajah Romo yang tampak begitu serius. “Hati-hati, Nak,” katanya, “kalau terlalu banyak berpikir, nanti kepalamu kebakaran.”


Riri tertawa, lalu menoleh ke Pak Herman. “Pak, kalau Romo sampai kebakaran, tolong siramin air kenyataan hidup, ya?”


Marlon menyahut, matanya berbinar nakal. “Atau sekalian Pak, kasih tahu dia kalau hidup tuh bukan cuma teori di buku filsafat.”


Pak Herman tergelak, kepalanya mengangguk-angguk. “Haha! Bisa, bisa. Kalau perlu, saya kasih kursus kilat tentang kehidupan, biar nggak cuma lihat dari kejauhan.”


Romo akhirnya menghela napas, sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas. Dalam hati, ia tahu bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan teori saja—dan mungkin, inilah yang Marlon dan Riri coba sampaikan padanya sejak tadi.


Marlon menyeringai sebelum melangkah pergi. “Tolong dididik ya, Pak. Jangan dikasih teori doang, kasih juga praktik lapangan.”


Riri menambahkan, suaranya ceria, “Selamat menempuh ujian kehidupan, Romo! Jangan lupa contekan dari Pak Herman!”


Pak Herman tersenyum bijak, menepuk bahu Romo. “Santai aja, Nak. Hidup ini memang nggak sesederhana hitam dan putih. Tapi juga nggak seseram yang kamu kira.”


Marlon dan Riri melangkah pergi, menyusuri jalan kecil di depan rumah dengan langkah ringan, sesekali terdengar tawa kecil di antara mereka.


Romo menatap punggung kedua temannya yang semakin menjauh. Dalam hatinya, ia berpikir: Mereka tahu dunia ini tidak sesederhana teori. Mereka tidak hanya menghafal kebenaran, tapi mencari dan menjalaninya. Dan aku… aku masih sibuk mencari makna di dalam kata-kata.


Angin sore kembali berembus pelan. Romo menarik napas dalam, lalu menoleh ke arah Pak Herman yang masih duduk santai.


“Baik, Pak,” katanya akhirnya, “mari kita bicara… tentang kenyataan.”


Pak Herman tersenyum. “Nah, begitu lebih bagus. Mari kita mulai.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HRM INTERNATIONAL

Definisi HRM (Manajemen Sumberdaya Manusia) Internasional Manajemen sumberdaya manusia internasional adalah proses mempekerjakan, mengembangkan dan memberi penghargaan orang di dalam organisasi internasional atau global. Hal ini melibatkan manajemen manusia di seluruh dunia, tidak hanya manajemen orang-orang ekspatriat/manca-negara saja. Sebuah perusahaan internasional adalah perusahaan yang operasi-operasinya berlangsung pada cabang-cabang luar negeri, yang mengandalkan pada kepakaran bisnis atau kapasitas produksi dari perusahaan induk. Perusahaan-perusahaan internasional dapat bersifat sangat tersentralisasi dengan kendali/ kontrol ketat. Perusahaan multinasional adalah perusahaan yang mana sejumlah besar bisnis di dalam berbagai negara dikelola sebagai sebuah kesatuan dari perusahaan pusat. Tingkat otonominya akan sangat beragam. Perusahaan-perusahaan global menawarkan produk-produk atau layanan-layanan yang dirasionalkan dan distandarisasi untuk memungkinkan produksi atau pr...

Kompensasi

   Kompensas  Pengertian Kompensasi             Pemberian kompensasi yang tepat akan berpengaruh positif terhadap karyawan, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kompensasi menjadi tujuan utama untuk sebagian besar karyawan yang bekerja di dalam suatu perusahaan. Untuk memperoleh gambaran mengenai kompensasi berikut ini akan dikemukakan definisi-definisi mengenai kompensasi menurut beberapa ahli : Menurut Dessler (2007 : 46) Kompensasi karyawan adalah